Kenapa Harus Les Musik?

Selama 10 tahun lebih saya bekerja di pendidikan musik, terutama kursus/ les musik, kebanyakan orang-tua (aku juga salah satunya) memasukkan anak mereka di tempat les dengan tujuan: (1) biar ada kegiatan, (2) biar bisa main alat musik, (3) siapa tahu besok bisa ‘ngelesin’ (bahasa kerennya dari “mengajar sebagai guru les), (4) dulu orangtuanya tidak bisa les, sekarang anaknya saja yang mau, dan lain-lainnya. Tidak ada alasan benar atau salah karena setiap orang punya kebutuhan yang berbeda-beda. Namun terkadang ada kontradiksi antara tujuan les dengan hasil akhir yang diharapkan atau lebih tepatnya “dituntut” dari orang-tua ke anaknya.

Orang-tua yang memiliki tujuan tersebut, dalam prosesnya terkadang justru lebih tidak sabaran daripada gurunya sendiri (ada pemikiran ini disebabkan karena guru yang dibayar, dan orangtua yang membayar — tapi marilah kita tidak melihat ke arah situ, karena saya percaya dua-duanya memiliki tujuan yang mulia: ingin anak/muridnya berkembang). Banyak anak berhenti atau dihentikan les musiknya karena orang tua berkata bahwa anak tersebut “tidak ada perkembangan” yang membuat saya sedih. Bagaimana seorang anak yang tadinya sama sekali tidak bisa main, lalu sudah bisa memainkan beberapa lagu, dibilang “tidak ada perkembangan”? Bagaimana anak yang tadinya sama sekali tidak tahu nama nada, lalu bisa membaca notasi, itu dikatakan “tidak berkembang”? Saya bukan psikolog, tapi saya banyak mendengar dari pakar dan praktisi psikolog tentang orang-tua tidak boleh judging anak dengan “tidak ada perkembangan”. Bahkan dalam ranah pendidikan, kita menggunakan kata “belum”, yang merujuk pada suatu proses yang sedang berjalan. Kita sebagai orang tua (termasuk saya!) perlu belajar menghargai usaha anak; melihat dari apa yang dia belum bisa lakukan dan perubahannya, bukan sebagai hakim ketok-palu yang memutuskan bersalah/ tidak bersalah, bisa/ tidak bisa. Tentunya untuk bisa menganalisa dan mengevaluasi progress anak, terlebih dahulu kita perlu paham dengan mengingat atau mencatat perkembangan anak, misalnya di bulan Januari, lalu membandingkannya dengan bulan Juni. Tidak mungkin tidak ada hal baru yang ia pelajari! 🙂

Jarang sekali ada orang-tua yang memasukkan anaknya les musik dengan tujuan ingin menjadi musisi profesional (ada tetapi hanya 1 di antara 10 orang). Jika tujuan orang tua sekedar memberikan kegiatan, biar anak bisa main musik, dan semacamnya; bukankah seharusnya orangtua juga mencocokkan ekspektasi mereka dengan tujuan mereka? Contohnya: tidak ada perkembangan biasanya lebih berhubungan dengan bagaimana orangtua kesal karena melihat anaknya tidak pernah berlatih di rumah. Latihan adalah keharusan dalam belajar apapun, termasuk musik. Guru akan mendorong muridnya untuk berlatih agar menguasai materi, dengan cara halus sampai tegas, tergantung guru masing-masing (nanti kapan kita akan bahas yang ini ya!). Namun aktifitas anak di rumah kembali kepada sejauh mana orang-tua bersedia untuk mendampingi dan memotivasi anaknya berlatih. Jika orang-tua merasa ‘lelah’ karena sulit menyuruh anak latihan, ini bukanlah alasan untuk menghentikannya les! Kembali lah pada tujuan semula, untuk apa anak kita les musik? Kenapa harus les musik?

Bulan yang lalu saya sedang intens mempelajari Teori Pemrosesan Informasi, yang berfokus tentang cara otak manusia mengingat informasi. Meskipun hal ini masih menjadi kajian neuroscience hingga sekarang, karena prosesnya tak terlihat; tetapi dikatakan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) bahwa otak manusia memiliki tiga level ingatan: inderawi, jangka pendek, dan jangka panjang. Semakin sering kita mengulang-ulang informasi, maka ingatan tersebut akan semakin kuat (itulah sebabnya kenapa kita butuh latihan!). Proses pengolahan informasi ini terjadi di bagian otak yang berbeda-beda tetapi satu kesatuan. Pada umumnya orang mengetahui otak kiri yang berkaitan dengan kemampuan berpikir analitis, verbal, dan logis; sementara otak kanan berkaitan dengan kreatifitas, emosional, dan visual (Centre of Educational Neuroscience). Otak kiri lebih aktif bekerja ketika kita memikirkan suatu hal-hal logis, misalnya soal matematika. Otak kanan bekerja lebih aktif dalam menggambar atau melukis. Lalu apa kaitan musik dengan ini?

Perhatikan perkembangan cara mendidik sekolah-sekolah di era sekarang ini: anak-anak sudah tidak dipaksa untuk “menghafalkan” seperti zaman dulu orang-tuanya belajar. Pendidikan sekarang lebih mengedepankan kompetensi, salah satunya adalah keterampilan kognitif. Kognitif berbicara tentang cara berpikir manusia. Saat memproses suatu informasi, otak manusia menerima data dari sistem sensorik alias panca-indera seperti mata, telinga, hidung, dan lainnya. Musik adalah bidang yang memberikan pengalaman multisensory, di mana hampir seluruh panca indera kita bekerja-sama untuk memprosesnya Neisser, 1967 dalam Qi-Zhang, 2018). Hal ini masuk akal karena misalnya: ketika seorang anak belajar bermain piano, ia harus mengolah notasi di depan mata dengan kemampuan logisnya (berhitung) sambil bersamaan ia harus memberikan dinamika seperti keras-lembut (emosional). Ketika seorang anak menyanyikan sebuah lagu bahasa asing dengan ekspresif tanpa menggunakan teks contekan (padahal teksnya panjang tetapi dia bahagia) secara tidak langsung ia sedang menggunakan otak kanan dan kirinya dengan seimbang.

Ada alasan yang sangat bermanfaat di balik “les musik” yaitu musik sebagai bidang yang menstimulus hampir seluruh bagian otak. Awal mula “Mozart Effect” muncul karena penelitian Francis Raucher dan Gordon Shaw tahun 1993 yang membuktikan bahwa mahasiswa yang belajar sambil mendengarkan “Sonata for Two Pianos in D Major, K. 448” menunjukkan peningkatan nilai saat ujian, meskipun tidak bertahan dalam waktu lama, efeknya hanya sementara — dari sinilah bermunculan banyak metode pengembangan kecerdasan dengan musik klasik. Walaupun efek musik klasik masih diteliti hingga sekarang, ada banyak riset yang menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran musik secara umum memang membawa peningkatan pada fungsi otak manusia. Anak yang belajar musik menunjukkan peningkatan IQ dan hasilnya bertahan lama (Schellenberg, 2006 dalam Nicolich, 2008). Latihan musik dapat mempercepat perkembangan otak dan membantu kemampuan literasi (Spray, 2015). Davies (2012) mengemukakan bahwa musik menciptakan koneksi neuron yang lebih kuat, sehingga mempermudah otak kita untuk mengambil kembali informasi yang telah disimpan. Penelitian-penelitian semacam ini lah yang menjadikan landasan mengapa musik dimasukkan sebagai kurikulum inti di berbagai negara.

Saya sempat mencoba mengikuti sebuah free-test secara online di www.personalitymax.com bersama beberapa teman saya dengan latar-belakang pendidikan, pekerjaan dan kebiasaan masa kecil yang berbeda-beda, range usia 25–35 tahun. Meskipun ini bukan rujukan yang bisa digunakan secara ilmiah, tetapi dari sharing antara kami, dapat disimpulkan bahwa hasil tes ini sesuai dengan apa yang kami alami.

Philo (nama samaran) adalah teman saya yang sejak kecilnya tidak pernah belajar musik dan tidak memiliki aktifitas musikal dalam sehari-harinya. Hasil tesnya adalah dominan otak-kiri yang cukup signifikan: 64% vs 36%. Philo memang orang yang cukup kuat dalam data-data logis, tetapi ia sering mengalami kendala karena dianggap terlalu ‘kaku’, baik dalam sosial maupun kegiatan-kegiatan yang membutuhkan jiwa seni, seperti mendesain atau menulis.

Image for post
Philo’s Left/Right Brain

Beda cerita lagi dengan Monstera (nama samaran) seorang akuntan yang waktu kecil pernah belajar musik dan suka bernyanyi, sampai hafal berbagai lagu barat. Otak kirinya dominan 58% vs 42%.

Image for post
Monstera’s Left/Right Brain

Sekarang mari kita beralih ke sample no.3 bernama Caladium yang semenjak kecilnya belajar musik dan bercita-cita menjadi arsitek; meskipun sekarang akhirnya menjadi musisi sekaligus entrepreneur. Otak kanannya dominan 53% vs 47% otak kiri.

Image for post
Caladium Left/Right Brain

Lalu bagaimana dengan otak saya? Di bawah ini adalah hasil tes saya yang bukan sulap, bukan sihir, dan bukan retake tes berkali-kali biar pas ya! (mana sempat?). Hasilnya “Even-Brained”.

Image for post
Ristis Left/Righ Brain

Hal yang mau saya soroti di sini BUKAN lebih bagus mana otak kiri atau kanan seimbang, sama sekali bukan; karena otak manusia bekerja dengan misterius dan menggunakan seluruh bagian otaknya untuk fungsi sehari-hari, tidak ada yang lebih bagus yang mana. Namun masalah fungsi otak ini dapat menjadi alasan penting KENAPA HARUS LES MUSIK. Ada manfaat yang musik bisa lakukan terhadap otak anak-anak kita lebih daripada bidang lain. Apapun pilihan karir anak kita nantinya, musik dapat menjadi satu sarana untuk ia mengembangkan potensi di dalam dirinya. Tidak melulu harus menjadi musisi atau sekedar bisa main alat musik, tetapi lebih kepada bagaimana anak kita akan belajar berpikir kritis untuk memecahkan masalah kehidupan, bagaimana mengelola emosi untuk berkomunikasi dan bekerjasama, serta bagaimana berpikir kreatif untuk menciptakan inovasi. Kemampuan-kemampuan itulah yang dibutuhkan seorang anak untuk “survive” di masa depan.

Jika anak kita suka musik dan inisiatif untuk berlatih, bersyukurlah, terus berikan ia apresiasi dan buka lebar-lebar pintu kesempatan untuk dia ikut lomba, membuat proyek, dan semacamnya. Berbahagialah jika anak kita ingin mencoba berbagai macam alat musik, artinya dia memiliki minat yang tinggi di situ; hanya kita perlu ajarkan tentang konsistensi. Sementara jika anak kita ‘malas latihan’, kita tidak perlu kesal, karena kita perlu mengingat kembali apa tujuan kita. Biarkan ia setidaknya punya 1 x 45 menit dalam seminggu untuk kegiatan musikal yang diawasi oleh pakar (guru dan instansi musik), satu kegiatan yang jelas-jelas akan berdampak pada perkembangan otaknya. Selama ia masih mau berangkat untuk les, itu adalah hal yang bagus. Jika ia mulai malas untuk berangkat les, mari kita lihat faktor penyebabnya, apakah itu karena fisik (terlalu lelah), disturbance (ada hal yang lebih menarik: game), atau psikologis. Jangan kan anak-anak, kita yang orang dewasa saja sering merasakan “malas”; bedanya kita sudah lebih terlatih untuk bertanggung-jawab. Nah, giliran kita yang memberikan teladan dan mengajarkan hal ini kepada mereka. Persistence, sebuah nilai hidup bahwa “jika kamu sudah memulai sesuatu, kamu harus gigih untuk menyelesaikannya”. Orangtua, guru, dan murid harus sama-sama belajar untuk menjadi pejuang. We are not quitters!

Terakhir, jika orang-tuanya punya obsesi masa muda les musik tidak kesampaian, tidak perlu anak yang menggantikan, karena musik tetap punya manfaat bagi orang tua hingga lanjut usia. Banyak terapi yang sekarang dikembangkan khusus untuk orang lanjut usia. Orangtuanya boleh ikut les dan mendapatkan manfaat positif belajar musik! 🙂

Please leave a message or a response below to share your thoughts with me 🙂

Image for post

Davies, M. A. (2012, July 25). Learning … the Beat Goes on. Childhood Education. doi:https://doi.org/10.1080/00094056.2000.10522096

Nicolich, J. (2008). Music’s Inflfluence on Cognitive Development. St. John Fisher College. Retrieved from https://fisherpub.sjfc.edu/education_ETD_masters

R.C. Atkinson, R. S. (1968). Human Memory: A Proposed System And Its Control Processes. In The Psychology of Learning and Motivation (pp. 89–195). New York: Academic Press.

Spray, A. (2015, July 21). The science of why music improves our memory and verbal intelligence. The Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/musical-training-can-accelerate-brain-development-and-help-with-literacy-skills-44946

Zhang, Q. (2018, March 23). Application of Music Education in Brain Cognition. Educational Sciences: Theory & Practice. doi:http://dx.doi.org/10.12738/estp.2018.5.09