The Kissing Booth 2 (2020) Review

Lemme recap the 1st film for you! The Kissing Booth, film pertamanya adalah salah satu dari film teen rom-com yang membuatku merasakan euforia setelah menontonnya. Senang karena melihat para pemerannya yang enak dipandang mata. Joey King sebagai Elle yang bersahabat dengan Lee (Joel Courtney) karena lahir di tanggal yang sama dan orang tua mereka bersahabat baik. Tentu ceritanya bisa ditebak, karena Elle akhirnya jatuh hati dengan kakak Lee, Noah (Jacob Elordi) yang super HOT, idola banyak wanita. Perasaan mereka terungkap gara-gara mereka membuka “Kissing Booth” alias stan jasa ciuman untuk proyek sekolah Elle & Lee (yang tidak mungkin terjadi di Indonesia ~ dan sekarang di seluruh dunia, karena pandemi covid-19 ini!). Elle melanggar satu dari aturan persahabatannya dengan Lee; tetapi mereka akhirnya bisa berdamai, bahkan Lee menemukan pacar sendiri Rachel (Meganne Young) berkat “Kissing Booth” juga. Di akhir film, Elle melepas Noah yang berangkat kuliah ke Harvard.

Di sekuelnya, The Kissing Booth 2, Elle sedang insecure karena LDR (Long Distance Relationship) dengan Noah. Ketika Noah menawarinya untuk lanjut kuliah di Harvard, Elle senang tapi galau karena ia dan Lee punya janji sejak kecil untuk kuliah bersama di UC Berkeley. Demi mendapatkan uang tunai untuk biaya kuliah, Elle mengikuti kompetisi Dance Dance Revolution (DDR) dengan bantuan teman barunya, Marco (Taylor Zakhar Perez) yang tidak kalah ganteng dari Noah. Di sisi lain, Elle tidak menyadari bahwa ia menjadi pengganggu dalam hubungan Lee dengan Rachel.

Film pertamanya memang tidak terlalu kuat dalam segi cerita, tetapi berhasil membangkitkan rasa “gemas” karena bumbu-bumbu percintaan remaja yang disertai dengan kecorobohan mereka yang lucu (seperti Elle pakai rok kesempitan, dan Elle yang ngumpet di bawah ranjang Noah); tetapi film kedua ini justru kehilangan “greget”nya. Ceritanya sendiri memang sesuai dengan perkembangan umur karakternya, di mana Elle sedang berusaha mencari jati diri untuk menentukan kuliahnya; dan Noah yang menghadapi dunia kuliah yang tidak sama seperti SMA.

Di film kedua ini, Elle menjadi lebih “berisik” daripada film pertamanya, dan itu mengganggu. Film kedua terlalu bersusah-payah menyambung cerita dengan film pertama dan meniru kejutan-kejutan yang sama, sehingga otomatis sudah tidak seru lagi. Terlalu dipaksakan dan aneh ketika “Stan Ciuman” kembali diadakan, tetapi akhirnya juga hanya sebagai properti untuk menunjang kampanye LGBT, yang ceritanya sendiri tidak ada hubungannya dengan cerita utama! Sebut saja adegan teman Elle (yang aku sendiri sampai tidak ingat siapa namanya, karena tokohnya sebenarnya tidak penting!) yang comes up saat di Kissing Booth; adegan yang terlihat garing dan palsu.

Pemilihan DDR sebagai ajang kompetisi yang mengesampingkan “Kissing Booth” sendiri juga terasa kurang relevan dengan kondisi sekarang. Meskipun tidak dipungkiri, dance mereka sangat keren, para remaja pasti terpesona sama Taylor Z Peres. Bumbu yang baru dalam film kedua ini, tetapi membuat sutradara kehilangan fokus. Sejak kapan The Kissing Booth berubah menjadi film dance? Banyak adegan yang “nanggung” karena usaha penulis & sutradara untuk keluar dari klise tetapi malah membuat gelora film ini hilang. Durasi 131 menit juga terlalu panjang (lebih panjang 20 menit dari film sebelumnya).

Contoh Adegan yang “nanggung”.

The Kissing Booth 2 akan terasa menyenangkan ditonton jika memang kamu memiliki emotional attachment dengan para tokohnya dari prekuelnya atau suka melihat yang manis-manis. Bagaimana hati kita tidak meleleh, melihat Jacob Elordi seperti ini?

Selain eye candy ini, ada sisi positif yang bisa dipelajari dalam film ini, bahwa 1) kita harus kontrol emosi, belajar mendengarkan orang lain agar kita tidak terjebak dalam asumsi kita sendiri. 2) belum tentu yang kita anggap baik untuk orang lain, lalu kita tutupi, tidak akan membawa masalah lebih besar.

Kuberikan rating 6/10!

Hospital Playlist Review

Hospital Playlist dikerjakan oleh sutradara dan penulis Reply Series (Reply 1997, Reply 1994, Reply 1988). Namun karena aku belum pernah menonton semuanya, jadi aku tidak terlalu familiar dengan karya mereka. Ini pengalaman pertamaku mengikuti serial drama yang modelnya seperti ini: multi-stories tapi mengalir alami seolah tidak ada cerita utamanya. Walau tidak ada klimaksnya, serial ini jauh dari monoton. Awalnya memang aku kebingungan dengan banyaknya karakter (susah tau, ngafalin nama korea!). Tokoh utamanya ada 5 orang; belum lagi para pemeran pembantu yang berada di sekitar mereka yang memiliki porsi adegan sendiri; jadi jumlah karakternya benar-benar BANYAK. Seni yang luar biasa dari penulis & sutradaranya untuk bisa membuat serial drama dengan pemeran sebanyak itu (seperti di dunia nyata) tapi tetap berhasil membuat penonton terkesan dengan semua karakternya.

Meskipun awalnya sempat bingung dengan banyaknya tokoh, tetapi semakin ke belakang, aku semakin terhanyut dengan kehidupan 5 tokoh cerita, yaitu:

  1. Lee Ik-Joon (Cho Jung-Seok): tipikal orang supel yang bisa bergaul dengan siapa aja, selalu membuat suasana hidup dengan kekonyolannya
  2. Ahn Jeong-Won (Yoo Yeon-Sook): dokter berhati malaikat
  3. Kim Jun-Wan (Jung Kyoung-Ho): favorit aku!!! Kata-katanya selalu tajam (tapi benar). Namun di balik itu dia punya kepedulian tinggi, hanya tidak menunjukkannya.
  4. Yang Seok-Hyeong (Kim Dae-Myung): introvert tapi yang mempersatukan teman-temannya
  5. Chae Song-Hwa (Jeon Mi-Do): satu-satunya wanita di kelompok ini dan almost perfect
Kim Jun-Wan yang selalu pakai pakain forma dari antara mereka berlima!

Pemilihan latar belakang dunia kedokteran memang daya tarik. Kita jadi tambah pengetahuan di bidang kedokteran (sayangnya footnote tulisan korea di layar tidak diterjemahkan, jadi aku pakai acara googling segala!). Apalagi para dokter ini punya hobi nge-band dan setiap latihan mereka selalu membawakan lagu yang asyik-asyik. [trus Kim Jun-Wan keren banget main gitarnya]. Cari di mana:  kumpulan dokter spesialis, masih muda, cakep-cakep, pintar main musik pula?!  

Apalagi kalau Kim Jun-Wan lagi main gitar… *_*

Lagu yang aku suka dalam film ini adalah: I Knew I Love (Jeon Mi Do), Aloha (Cho Jung Seok), Me to You, You To Me (Mido and Falasol). Pastikan kalian mendengarkan lagu-lagu ini ya, bagus! Sungguh mengapresiasi para pemain dan pembuat filmnya yang mau repot-repot menyajikan latihan band mereka sampai terasa asli (bahkan ada view seperti dari camera handphone/ gopro).

Film ini memang bukan jenis yang bisa diterima oleh semua orang dengan gembira, selain karena durasi 1,5 jam/ episode yang (mungkin) terlalu panjang; juga karena banyak penonton serial Korean Drama lebih suka drama romantis; sementara film ini ceritanya lebih ke kehidupan sehari-hari. Tidak ada adegan yang membuat berdebar-debar, terlalu menegangkan, atau sangat-amat menyedihkan. Intinya tidak ada dramatisir keadaan.

Hal yang membuatku sangat menyukai film ini adalah atmosfer yang menyenangkan! Senang rasanya melihat persahabatan mereka berlima yang terasa hangat dan terkadang lucu (beneran bikin ketawa terbahak-bahak!); serta perjuangan para dokter dengan para pasien yang menyentuh hati. Kisah cinta yang ada di film ini mungkin mudah ditebak, tetapi kesabaran penulis dan sutradara untuk menahan kisahnya sampai akhir bisa dibilang strategi bagus. Adegan flash-back ditampilkan di momen yang tepat dan masuk akal. Setelah menyelesaikan episode 12, aku juga langsung memutar kembali episode 1; dan semuanya tetap terasa menyegarkan karena banyak detail yang sebelumnya tidak aku pahami.

Hospital Playlist sukses menduduki peringkat ke-9 film terpopuler dalam sejarah TV Kabel di Korea. Season 2 katanya akan disiarkan tahun 2021. Semoga segera rilis ya! Masih banyak cerita yang menggantung, nih.

The King: Eternal Monarch Review

Minoz (fans Lee Min-Ho) pasti girang setengah mati ketika menonton serial drama korea yang satu ini. Penulis, sutradara, produser atau siapapun dalam tim produksi ini pasti salah satu fans berat Lee Min-Ho juga; selain pasti bertujuan memanfaatkan kepopulerannya untuk menjaring penonton. Banyak adegan yang mengeksploitasi kegantengan Lee Min-Ho, terkadang “keterlaluan” bagi penonton yang bukan fans-nya. Dalam film ini, ia berperan sebagai Raja bernama Lee Gon dalam dunia paralel, Kerajaan Korea; bukan Republik Korea Selatan seperti yang ada di dunia ini. Ia tidak perlu bersusah-payah berakting karena perannya sebagai Raja nyaris sempurna: fisik menawan, kaya-raya, jenius matematika, dan baik hati. Jika aktingnya dalam film ini dikritik, sebenarnya bukan salahnya, karena karakter Lee Gon sendiri memang dangkal untuk sekelas penulis Kim Eun-Sook. 

Nama Kim Eun-Sook terkenal sebagai penulis serial drama korea yang selalu sukses. Sebut saja Descendants of the Sun, The Heirs yang juga dibintangi oleh Lee Min-Ho, dan Goblin, di mana pemeran utamanya sama dengan film ini: Kim Go-Eun. Meski wajahnya tidak secantik artis korea pada umumnya (sepertinya tidak operasi plastik), Kim Go-Eun selalu menunjukkan performa akting yang sarat emosi. Ketiga nama yang sudah disebutkan: Lee Min-Ho, Kim Go-Eun, dan Kim Eun-Sook seharusnya menjadi jaminan bahwa The King: Eternal Monarch akan menjadi Mega-Hit, menggeser kehebohan serial drama milik stasiun sebelah: Crash Landing On You. Sayangnya, jaminan ini meleset. 

The King: Eternal Monarch terlalu “maksa” untuk menggabungkan tema kerajaan (kuda dan pedang) dengan fiksi ilmiah seperti dunia paralel dan perjalanan waktu. Kita paham sih, bahwa kerajaan memang erat kaitannya dengan kuda dan pedang; tetapi banyak adegan yang terasa terlalu dipaksakan untuk ada “kuda” dan “pedang”nya. Apalagi setting waktu kejadiannya adalah di era sekarang ini, tahun 2020. Sebut saja ketika semua bergegas naik helicopter dan mobil; masa iya Raja sempat menyusul naik kuda? Mana logika perhitungan jarak dan waktunya?

Ide yang menarik tentang dunia paralel juga menjadi sia-sia karena penuturan jalan cerita yang dibuat terlalu rumit. Plot cerita yang berpindah-pindah dunia dan timeline; bukannya membuat penasaran, malah jadi bingung. Seharusnya penceritaannya dibuat linear, supaya penonton bisa lebih menikmatinya tanpa perlu latihan otak. Akibat penonton sibuk berpikir dan mencerna bagaimana jalan ceritanya, mereka tidak sempat menjalin ikatan emosi dengan para tokohnya. Bahkan dua tokoh utamanya: Lee Gon dan Jong Tae-Ul juga tiba-tiba saja sudah jatuh cinta setengah mati tanpa ada kejadian-kejadian yang membuat cinta mereka bertumbuh. Di episode 1–4, Tae-Ul masih detektif yang tegar, lalu tiba-tiba di episode 5, ia berubah menjadi bucin. Manis sih melihat chemistry di antara mereka; tetapi memang terasa ada yang kurang karena proses jatuh cinta mereka langsung “skip” ke fase cinta mati. Malahan sejujurnya, kisah cinta Kim Sin-Jae dan Jong Tae-Ul terasa lebih menarik. 

Jumlah karakter dalam The King: Eternal Monarch juga terlalu banyak. Waktunya tidak cukup untuk membuat penonton ingat dengan mereka. Bagi penonton yang tidak terbiasa dengan nama Korea, pasti sulit untuk mengidentifikasi “yang mana orangnya” ketika nama tertentu disebut dalam dialog. Meskipun demikian, tokoh yang tidak disangka-sangka mencuri perhatian adalah Woo Do-Hwan yang memerankan Jo Young & Jo Eun-Sup. Fansnya langsung bertambah; bahkan banyak yang meneruskan menonton The King: Eternal Monarch hanya karena dia. 

Kesimpulannya, The King: Eternal Monarch adalah film yang membahagiakan Minoz karena banyak “fans service”. Sebuah karya dengan pemikiran yang kompleks (berkat Kim Eun-Suk), kepuasan mata karena editing video dan efek visual yang tidak murah, dan Soundtrack yang bagus-bagus semuanya; melodinya ear-catchy dan menyentuh hati. Namun tidak bisa dibilang “bagus” karena penuturan cerita yang membingungkan, dunia fiksi yang terlalu “bohong”, dan hubungan antar karakter utama yang terlalu instan. @ristiirawan rates 7/10.

Peringatan Konten: The King: Eternal Monarch mengandung adegan kekerasan seperti pertarungan tangan kosong atau menggunakan pistol dan pedang, serta pembunuhan. Adegan sensual tidak terlalu banyak, hanya c*uman. 

13 Reasons of Why (Season 4) Review

“Thirteen Reasons of Why” adalah sebuah film serial yang mengangkat hampir semua isu negatif yang ada di dunia remaja Amerika. Aku sudah pernah mengulas Season 1-3, dan menobatkan serial ini sebagai “A-List” dari serial drama remaja Netflix yang sedemikian banyak. Season 1 diangkat dari sebuah novel, sementara Season selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Netflix. Tidak heran jika kualitas cerita Season 1 jauh di atas semua Season.

Aku bersyukur Netflix memutuskan untuk mengakhiri kisah fenomenal Clay Jensen dan teman-temannya di Season 4. Rasanya kisah tentang masa SMA tidak perlu dibaut sampai berlarut-larut. Tokoh-tokohnya berhak untuk lulus SMA. Itu adalah hal yang alamiah. Ekspektasi tinggi tentang Season 4 ini membuatku agak kecewa setelah menontonnya. Season 1 memang “Masterpiece” yang akan selalu membekas di benak penonton; beda dengan Season 4.

Konflik dalam 13RY memang semakin brutal di Season 3; dari suicide hingga pembunuhan. Rasanya tidak sehat menonton bagaimana dunia remaja bisa sekejam itu. Wajar jika 13RY banyak mendapat kritik karena dianggap terlalu kelam dan dapat memberikan inspirasi yang salah bagi para ABG yang jiwanya masih labil. Namun konflik yang ada di 13RY selalu seru untuk didiskusikan dan dibicarakan, apalagi tidak hanya menyangkut kekerasan fisik, tetapi juga kesehatan jiwa. Banyak isu mental illness dalam film ini, terutama kesehatan mental Clay Jensen, sebagai tokoh utama, yang terus memburuk dari Season 1, hingga puncaknya di Season 4.

Selanjutnya aku ingin menyampaikan “uneg-uneg”ku yang membuatku kecewa dengan film ini dan memberinya rating 6.

jadi…

SPOILER ALERT SPOILER ALERT SPOILER ALERT!!!!!!!

Pertama, menurutku 13RY Season 4 ini agak menurun intensitasnya dalam membawakan cerita. Walaupun memang ada beberapa episode yang menegangkan, seperti percobaan adanya bencana di sekolah. Tetapi sisanya, selama 10 episode, lebih banyak adegan-adegan yang tidak penting. Apalagi gaya penceritaan yang melompat dari tokoh satu ke tokoh yang lain tidak semulus Season sebelumnya. Seharusnya Season 4 ini tidak perlu dibuat 10 episode; daripada bertele-tele.

Selain itu, karakter yang sudah berkembang dengan baik dari Season 1-3, malah disia-siakan. Sebut saja Zach Dempsey, yang menjadi karakter sentral, malah di Season 4 ini dibiarkan cuma mengacau begitu saja. Buat apa memberikan durasi sebegitu banyaknya hanya untuk menunjukkan kalau Zach sedang dalam fase membuang-buang hidupnya?

Sejak awal aku juga sudah curiga kalau Justin akan jadi orang yang “mati” dalam Season 4 ini, karena awalnya terlalu tampak indah. Dia pulang dari rehabilitasi, terlihat gemuk dan sehat, lalu… memutuskan Jessica. Bagian ini yang paling tidak cocok dengan karakter Justin selama ini. Seperti yang kita tahu, Justin selalu diceritakan mampu berbuat apa saja demi Jessica. Bahkan hingga akhirnya di Season 4 juga ia kembali seperti semula. Lalu buat apa dipaksa pada awalnya untuk memutuskan Jessica? Sepertinya yang nulis bingung mau buat konflik apa.

Belum lagi tokoh lainnya, seperti Winston yang aku kira akan jadi salah satu karakter yang kompleks dan membuat cerita jadi berbobot. Ternyata ia berubah hanya menjadi pengejar cinta dan rahasia yang terlihat bodoh. Kemunculan Diego Torres sebagai “atlet” baru mungkin bisa diterima; walau terasa aneh karena tidak pernah ada di Season sebelumnya.

Karena Diego tidak pernah disorot di Season sebelumnya, aku sulit berempati ketika ia mengatakan bahwa ia mencintai Monty, dan sebagainya. Demikian pula dengan kemunculan karakter Estela sebagai adik Monty yang tidak jelas apa kontribusinya dalam jalan cerita, selain menambah-nambahi daftar karakter baru. Mungkin harapannya biar penonton tidak bosan.

Masalahnya, dengan begitu banyaknya karakter yang melekat di benak penonton, penulis film ini seperti kebingungan membagi peran yang adil bagi mereka semua. Tentunya semua ingin karakter yang mereka ciptakan dari Season 1 mendapatkan peran yang bermakna. Sayang sekali implementasinya malah berantakan. Dialog-dialognya juga banyak yang ngalor-ngidul tidak jelas dan memaksakan propaganda LGBT. Tiba-tiba bermunculan banyak pasangan gay dalam film ini.

Jessica yang sangat dominan dalam film ini justru kehilangan pesonanya. Jika dalam season sebelumnya ia bermetamorfosis dari gadis penakut jadi pemberani; dalam season ini ia terus-menerus dipaksakan untuk terlihat pemberani —- dan jadinya tidak keren. Karakter Ani yang pemerannya menerima cyber-bullying (ironis) juga terlihat “diselamatkan” oleh penulis agar tidak dibenci lagi oleh pemirsa; tetapi justru membuat karakternya jadi tidak penting dan lemah. Satu-satunya tokoh selain Clay Jensen, yang perkembangan karakternya paling masuk akal dan konsisten adalah Tony Padilla; dengan pergumulannya antara mempertahankan warisan keluarganya atau memperjuangkan masa depannya.

Hal yang tidak masuk akal dalam cerita ini justru dari Clay Jensen sendiri. Bisa dimengerti bahwa ia banyak kehilangan ingatan karena seolah-olah ia menjadi orang lain di saat itu.

Tetapi yang tidak masuk akal adalah sutradara film ini tidak mau susah-susah untuk menjelaskan kepada penonton apa yang sebenarnya Clay lakukan. Terutama di adegan gua, yang sampai sekarang tidak logis bagaimana Clay bisa punya cukup waktu antara keluar dari gua, mengumpulkan hadiah, mengganggu temanya di gubug, menyiksa Breecher, memporak-porandakan tenda tanpa ketahuan Ibu & Gurunya. Meskipun sesi konseling Clay dan dr. Elman adalah hal yang menarik bagi beberapa orang yang suka dengan isu kesehatan mental; tetapi harusnya bisa ditulis dengan lebih baik. 

Banyak adegan dalam film ini yang terlihat kasar cutting & editing videonya, seperti sinetron Indonesia saja. Sungguh hasil yang mengecewakan untuk 13RY. Untung audio film ini cukup mendukung; tidak terlalu dominan, tetapi memberikan efek yang berguna untuk menambah “gereget”.

Secara keseluruhan, 13RY Season 4 tidak terlalu brutal seperti Season 1-3, mungkin karena ini seperti “hadiah perpisahan” bagi para fansnya. Isu baru tentang teknology & privacy juga ide yang sebenarnya cukup bagus.

Akting para pemerannya sudah berkembang dibandingkan Season 1. Terutama Brandon Flynn sebagai Justin, yang aktingnya berhasil membuatku meneteskan air mata. Semua pemeran berhasil membawakan karakternya dengan baik. Jika penampilan mereka buruk, itu bukan karena akting mereka yang kurang bagus; tetapi karena penulisan cerita yang payah.

Akhir kata, Season 4 sudah selesai. Selamat tinggal, Clay Jensen, Jessica Davis, Tony Padilla, Alex Standall, Zach Dempsey, Tyler Down dan Justin Foley. Terimakasih sudah menemani selama 4 Season.

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?

Resensi Film: The Huntsman: Winter’s War (2016)

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)”

The-Huntsman-Winters-War-Billboard-Art.jpg

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)” . Masih diperankan oleh Chris Hemsworth sebagai Eric, Sang Pemburu, kali ini fokus ceritanya bukan pada putri putih salju, melainkan flash-back cerita romansa Eric dengan Sara (Jessica Chastain), sesama pemburu. Cerita berlanjut dari flash-back menuju peristiwa pasca kalahnya Ratu Jahat, Ravenna (Charlize Theron); yaitu munculnya permasalahan baru: Cermin Ajaib ternyata mengandung kejahatan, bikin stress Snow White, dan harus diamankan ke suatu tempat bernama “Sanctuary”. Namun dalam perjalanan, cermin ajaib dicuri! Eric awalnya enggan menolong Snow White untuk menemukan Cermin tsb, tapi ketika mengetahui musuh lamanya, Queen Freya (Emily Blunt) yang membunuh istrinya akan menjadi lebih bahaya jika mendapatkan Cermin Ajaib; akhirnya Eric bersedia menerima misi menemukan cermin tsb.

“The Huntsman: Winter’s War” didukung dengan animasi, make-up, dan kostum yang indah; jadi pasti kita akan betah duduk manis dan mengagumi semuanya. Sayangnya, cerita film ini tidak ditulis dengan baik. Plot cerita yang klise, dialog yang monoton, menjadikan film ini terasa “murah”, meskipun sudah dibintangi oleh para artis mahal. Sebut saja duet Ratu: Emily Blunt & Charlize Theron yang membuat mata kita tidak bisa lepas dari mereka (flawless make-up + amazing gown!). Sebaliknya, pemeran utama, Chris Hemsworth tidak kelihatan keren sama sekali (lebih karena pembentukan karakter yang lemah). Bahkan akan membuat kita heran: kenapa The Huntsman harus menjadi tokoh utama dari cerita ini? Lebih parahnya lagi, kenapa harus ada kata “Winter’s War” di judulnya, yang ternyata sama-sekali kita tidak disuguhi adegan perang yang bagus? Intinya, merasa di-PHP (lebih tepatnya: diberi harapan palsu) oleh judul yang dipasang. Bisa dibilang, harapan kita sudah terlalu tinggi saat mendengar judul dan melihat trailernya — tapi ternyata tak seindah yang terlihat pada awalnya. LOL!

Masih masalah di karakter, antagonis film ini, yaitu Queen Freya, memiliki terlalu banyak kemiripan dengan Queen Elsa di Frozen. Meskipun memang mereka (mungkin) berasal dari dongen yang sama, hal ini sedikit mengganggu; karena ide dari film ini jadi terasa tidak terlalu orisinil. Walaupun begitu, think positively, selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari sebuah film. Di luar premise yang dikumandangkan oleh film ini sejak awal, bahwa “Cinta tidak membuatmu lemah, melainkan memberikanmu kekuatan”; ada makna yang lebih tepat: Jangan biarkan hatimu menjadi pahit — atau dalam kasus ini: dingin. Meskipun kita dikecewakan oleh seseorang atau suatu hal, jangan “generalisasi”, alias menganggap semua akan sama; karena pada akhirnya, bukannya kita akan puas karena berhasil balas dendam; malah semakin terluka. @ristiirawan

6 out of 10 stars!

 

 

Resensi Film: Deadpool (2016)

Beberapa tahun belakangan ini, banyak super-hero yang menyerang baik dari kubu Marvel maupun DC. Berasal dari dunia yang sama, yaitu Marvel; Deadpool termasuk kubu X-Men yang “diasuh” oleh 20th Century Fox. Dengan banyaknya film super-hero bermunculan, persaingan pun sudah bukan lagi masalah jagoan siapa yang lebih hebat keahliannya atau visual-audio efek studio mana yang lebih bombastis; melainkan bagaimana seorang sutradara mampu menghadirkan sosok pahlawan yang berbeda — dare to be different.

Sutradara Tim Miller cukup percaya diri dengan membiarkan karakter Deadpool/Wade Wilson, yang diperankan oleh Ryan Reynolds, muncul sebagai sosok yang cerewet tiada taranya. Meski pergaulannya cenderung kelam, Wade punya cinta yang sangat besar terhadap Vanessa (Morena Baccarin). Maka, Deadpool muncul sebagai “love story”, alias kisah mengenai perjuangan cinta seorang pria. Demi cintanya inilah, Wade rela dijadikan kelinci percobaan oleh Ajax (Ed Skrein) yang ingin menciptakan pasukan super. Sayangnya, untuk mengaktifkan gen mutan yang disuntikkan dalam tubuh Wade; Wade harus disiksa sedemikian-rupa sehingga wajah dan tubuhnya menjadi seperti monster. Di sinilah, “love story” berubah menjadi HOROR.

Semakin horor dengan rating “R” yang dipasang, artinya banyak adegan sadis di film ini. Penonton yang mengira akan menyaksikan stereo-type super-hero, pasti akan terperangah menyaksikan kekerasan yang dibalut oleh humor sarkasme di film ini. Sedikit mengingatkan kita akan film Kick-Ass. Selain adegan sadis, banyak kata-kata jorok dan kasar. Jadi, sangat jelas sekali kalau Deadpool memang tampil berbeda dari kubu lain. Jika kubu lain menyajikan film superhero yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, Deadpool jelas tidak.

Sisi positifnya, Deadpool terasa segar dan menghibur bagi penonton yang sudah mulai jengah dengan banyaknya superhero yang bermunculan. Meski harus diakui, karena perbedaan budaya, tidak semua penonton dapat memahami humor yang dilemparkan oleh Deadpool. Bagi fans X-Men sendiri, ada beberapa humor “jujur” yang membuat kita tertawa terbahak-bahak, salah satu contohnya adalah ketika Colossus mengajak Wade bertemu Professor X, dan ia berkoar “McAvoy atau Stewart?”. Seperti yang fans tahu, Stewart adalah pemeran Prof. X lama, sementara McAvoy adalah Prof. X masa muda yang mulai muncul di X-Men:First Class.

Humor dan dialog yang terasa panjang ini memang merebut perhatian penonton, sehingga plot cerita yang disuguhkan pun agak tidak diperhatikan. Suatu kelebihan dan kekurangan, karena sebenarnya plot ceritanya biasa-biasa saja. Opening Credit yang lucu, penggunaan alur flash-back di paruh awal film juga membuat film ini semakin menarik. Promosi yang memancing rasa penasaran publik tidak sia-sia, karena pada akhirnya Deadpool memang menyajikan suatu film super-hero yang tidak terduga. Nilai 8/10.

 

Resensi Film: The Finest Hour (2016)

Resensi FIlm: The Finest Hour (2016)

The Finest Hour, film yang diangkat dari kisah nyata, mengajarkan arti ketaatan, tanggung-jawab, dan keberanian yang sesungguhnya. Filmnya disusun dengan baik, sampai-sampai dua tokoh di fim ini: Bernie Webber (Chris Pine) & Ray Sybert (Casey Affleck) terlihat sungguh keren. Sukses membangkitkan rasa kagum dari penonton.

Bernie Webber sendiri adalah seorang penjaga pantai yang bernyali kecil. Bagusnya film ini, sutradara Craig Gillespie tidak membuang waktu menceritakan sejarah Bernie mentah-mentah, tapi menyisipkannya ke dalam dialog-dialog para figuran. Penonton bisa mengira Bernie bernyali kecil, karena pernah gagal dalam menyelamatkan sebuah kapal, sehingga ia terus dihantui rasa bersalah. Bernie menemukan seorang gadis, Miriam (Holliday Granger) yang luar biasa dominan, tidak seperti wanita pada umumnya.

Ketika sebuah badai hebat menghantam mereka, ada 2 kapal tank yang terbelah menjadi dua. Namun karena beberapa faktor, seluruh bantuan terfokus pada 1 kapal saja. Kapten Daniel Cluff (Eric Bana) yang diragukan karena orang baru, memerintahkan Bernie untuk berangkat menyelamatkan kapal tank yang lain. Misi ini dinilai mustahil dilakukan, tetapi Bernie tetap patuh dan berangkat untuk menyelamatkan kapal tank tersebut, hanya bermodalkan dukungan 3 orang lain (yang sebenarnya tidak sepenuhnya mendukung).Di sisi lain, tank yang tanpa bantuan itu berusaha mengulur waktu di bawah pimpinan Sybert, yang bukan orang favorit seantero kapal. Apa boleh buat, karena mereka kehilangan kapten mereka. Lewat sosok Sybert inilah kita melihat bagaimana kerennya seorang yang “biasa saja”, bisa menjadi “luar biasa”, karena dia benar-benar mengenal bidangnya, dalam hal ini kapal yang ia cintai. Sybert berhasil mengulur waktu, dan Bernie yang awal mulanya dicap sebagai orang tak bernyali, justru membuktikan bahwa di tengah cibiran dan kemustahilan, ia tetap teguh dan menyelamatkan belasan nyawa.

Bisa dibayangkan, cukup sulit pasti membuat film yang settingnya hanya di laut dalam kegelapan badai. Tetapi The Finest Hour tampil cukup meyakinkan, meskipun tampaknya tidak ada satupun karakter di film ini yang takut tenggelam atau bisa mabuk (mungkin karena mereka pelaut?) meski sudah digoncangkan ombak sedemikian hebat. Setting tempat yang relatif sedikit ini juga mungkin sempat menimbulkan kebosanan bagi penonton yang tidak betah menyaksikan film dengan pemandangan itu-itu saja. Bagian awal filmnya juga terasa agak bertele-tele. Selain itu, ada beberapa adegan yang seharusnya bisa dibuat lebih mengharukan, tetapi momennya terlewat karena kurang diperhatikan. Pembagian durasi untuk plot ceritanya kurang merata. Nilai 7/10 @ristiirawan.

Resensi Film: Fathers & Daughters (2015)

Buat yang “father-less” atau kangen sama Papanya, kalau nonton film ini pasti nangis bombay. Makna yang terkandung di dalamnya juga cukup menohok: bagi seseorang yang kehilangan figur Bapa, pasti ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa ditutup begitu saja.

Ceritanya sederhana, tapi berkat akting Russell Crowe, Amanda Seyfried serta Kylie Rogers, filmnya jadi hidup dan cukup menyentuh hati. Setting waktunya campuran antara masa kini dan flash back; hanya dengan berfokus pada dialognya kita bisa menyadari pergantian waktu yang ada. Seorang penulis terkenal, Jake Davis (Russell Crowe) kehilangan istrinya dalam sebuah kecelakaan. Selain kehilangan istrinya, ia juga menderita sakit psikis. Ia harus berjuang untuk tetap memiliki hak asuh anaknya, Katie (Kylie Rogers/Amanda Seyfried), melawan sakit psikisnya, kebobrokan ekonomi dan saudara iparnya sendiri yang ingin mengadopsi Katie.

Fokus film ini ada dua, yang pertama adalah perasaan seorang Ayah yang harus berjuang menanggung semuanya sendiri; dan perasaan seorang anak yang (akhirnya) tumbuh besar dengan kerinduan kepada Ayahnya yang tidak pernah kesampaian. Film ini menunjukkan bagaimana keluarga memberikan efek besar bagi seseorang dalam mencari cintanya di masa depan dengan cara melankolis. Cerita sampingan, pekerjaan Katie sebagai seorang psikolog yang menangani anak yatim piatu juga menjadi sisi yang pas untuk menunjukkan bagaimana Katie menilai Ayahnya secara tidak langsung. Sayang sekali, chemistry antara Katie dan Cameron malah kurang terbangun; sehingga kurang tersampaikan ke penonton mengapa Katie akhirnya bisa menyadari ia mencintai Cameron — selain karena Cameron mengidolakan Ayahnya dan juga penulis. Selain itu, ada hal2 yang seharusnya bisa dibangun klimaksnya sehingga lebih dramatis. Nilai 7/10 @ristiirawan

 

.

Resensi Film: The 5th Wave (2016)

Tagline meyakinkan, trailer mempesona, artis utama terkenal; tapi.. semuanya hanya bertahan sampai “4th wave” alias gelombang ke-4. The 5th wave ternyata adalah sebuah cerita tentang kiamat yang membosankan, dan sepertinya dibuat khusus untuk anak-anak dan remaja. Ide ceritanya sendiri terlalu mirip dengan The Host karya Stephanie Meyer.

Bercerita bahwa muncul sebuah kapal luar angkasa yang super besar dan mengitari bumi; lantas kapal tsb mengeluarkan gelombang pertama, yang mematikan seluruh listrik & mesin di bumi. Gelombang ke-2 adalah tsunami. Gelombang ke-3 adalah wabah flu burung. Gelombang ke-4 adalah mereka seperti parasit yang bisa masuk dan mengendalikan manusia. Dengan ke-4 gelombang yang nyaris membuat manusia punah, maka manusia yang tersisa sangat ketakutan dengan gelombang ke-5 — yang entah apa.

*SPOILER ALERT!!!* *SPOILER ALERT!!!* *SPOILER ALERT!!!*

Lanjutan ceritanya, Cassie (Chloe Grace-Moretz) yang mengungsi di kamp bersama Ayah dan adiknya akhirnya diselamatkan oleh Angkatan Darat yang memboyong anak-anak duluan demi alasan keselamatan. Ternyata malah Angkatan Darat tsb menyerang dan membunuh semua pengungsi, aneh bukan? Jika belum cukup mencurigakan dan membongkar cerita; lantas anak-anak tersebut disuntik oleh pelacak dan dilatih untuk menjadi prajurit. Anak-anak? jadi prajurit? Masuk akal kah manusia yang putus asa sempat-sempatnya melatih anak-anak untuk berperang?

Nah, ketika semua plot terbuka, bahwa pelacak tsb justru yang membuat mereka melawan manusia yang tidak dihinggapi parasit; ceritanya jadi semakin tidak masuk akal. Alasan mereka menggunakan anak-anak adalah karena mudah dimanipulasi. Pertanyaan besarnya: Jika alien tsb dengan canggih mampu mendatangkan gelombang elektromagnet, tsunami, wabah burung, bahkan sampai menyusup; untuk apa susah-susah menggunakan anak-anak untuk melawan manusia yang tersisa? Tidak cukup hebatkah mereka?

Dalam hal cerita, The 5th Wave masih kalah jauh dengan Stephanie Meyer. Bahkan dramanya saja cukup memuakkan. Ketika seorang gadis sudah hampir mati, muncullah pria ganteng yang memiliki kemampuan super karena ia adalah separuh alien. Tidak adakah alur cerita yang lebih tidak mudah tertebak? Efek visualnya sebenarnya tidak terlalu buruk; tapi dengan cerita yang tidak bermutu, film ini jadi terasa hambar. Nilai 4/10 @ristiirawan.