Review: The Old Guard (2020)

Netflix sering memberikan kesempatan menyutradarai film layar lebar untuk pertama-kalinya kepada sutradara-sutradara berbakat. The Old Guard adalah film layar lebar Gina Prince-Bythewood yang pertama. Hasilnya diterima dengan baik oleh khalayak ramai. Awalnya aku ragu apakah film action berdurasi 2 jam ini bisa mempertahankan daya tariknya sepanjang film.

Charlize Theron sebagai Andromache of Scythia

Charlize Theron jelas adalah magnet dari The Old Guard. Penampilan fisiknya cocok dan aksinya KEREN BANGET! (Umurnya 45 tahun lho..) Ia berperan sebagai Andy, seorang pemimpin tim berisi orang-orang yang berhenti bertambah tua, bisa menyembuhkan diri sendiri (seperti Deadpool), dan otomatis hidup abadi. Selain hidup abadi, tim yang hanya terdiri dari 4 orang ini sangat terampil di lapangan. Tentu saja, karena mereka punya ratusan atau ribuan tahun untuk menimba pengalaman. Suatu saat, mereka dijebak oleh pihak yang ingin menjadikan mereka sebagai bahan percobaan di Laboratorium. Ketika mereka sibuk melarikan diri, malahan muncul satu orang abadi lagi yang harus mereka rekrut.

Gina Prince-Bythewood memberikan sentuhan yang bagus bagi film yang disadur dari komik karya Greg Rucka ini. Banyaknya film tentang manusia berkekuatan super pada dekade ini telah membuat masyarakat tidak mudah terkagum-kagum lagi dengan Superhero. Sang Sutradara tidak sekedar memamerkan kekuatan super para tokohnya dengan adegan aksi yang memukau, tetapi juga memberikan banyak porsi untuk para pemeran bisa menunjukkan akting emosi mereka. Kisah hidup tiap karakternya disisipkan dalam dialog-dialog yang ditata dengan rapi dari awal-akhir film untuk membuat penonton mengenal “penderitaan” mereka sebagai manusia abadi. Sisi emosional ini lah yang membuat The Old Guard bernilai lebih sebagai film aksi.

Sayangnya karakter antagonisnya terlalu jelas “jahatnya”, kurang meninggalkan kesan yang dalam; sangat kontras dengan para jagoan kita. Alur ceritanya juga mudah ditebak, pasti happy ending, sehingga intensitas atau ketegangan film tidak terlalu terasa. Walaupun banyak adegan aksi yang bagus, tetap saja tidak terasa “ngeri”, karena yah… kita sudah tahu bahwa mereka tidak bisa mati. Tambahan yang menarik justru ada di kredit ketika kita menyaksikan kolase foto orang-orang yang pernah mereka selamatkan… ternyata membawa perubahan baik bagi umat manusia. The Old Guard memang berpotensi menjadi franchise dan sekuelnya akan dinantikan banyak orang, karena memang kisah mereka masih ada banyak sekali yang belum tergali; terutama tentang Quynh; yang kisahnya paling membekas dalam ingatanku (tragis soalnya..)

The Old Guard memang pantas diberikan rating “R” oleh MPAA karena banyak kekerasan dan bahasa kasar di dalamnya. Berhubung tokohnya immortal, jadi banyak ditunjukan luka tersayat sampai isi perut yang berantakan. Banyak juga orang yang mati dalam film ini. Namun jika kita sudah terbiasa menonton film “gore” ala Superhero seperti Kick-Ass dan Deadpool, apa yang disajikan The Old Guard masih bisa kita tonton sambil makan.

Resensi Film: Deadpool (2016)

Beberapa tahun belakangan ini, banyak super-hero yang menyerang baik dari kubu Marvel maupun DC. Berasal dari dunia yang sama, yaitu Marvel; Deadpool termasuk kubu X-Men yang “diasuh” oleh 20th Century Fox. Dengan banyaknya film super-hero bermunculan, persaingan pun sudah bukan lagi masalah jagoan siapa yang lebih hebat keahliannya atau visual-audio efek studio mana yang lebih bombastis; melainkan bagaimana seorang sutradara mampu menghadirkan sosok pahlawan yang berbeda — dare to be different.

Sutradara Tim Miller cukup percaya diri dengan membiarkan karakter Deadpool/Wade Wilson, yang diperankan oleh Ryan Reynolds, muncul sebagai sosok yang cerewet tiada taranya. Meski pergaulannya cenderung kelam, Wade punya cinta yang sangat besar terhadap Vanessa (Morena Baccarin). Maka, Deadpool muncul sebagai “love story”, alias kisah mengenai perjuangan cinta seorang pria. Demi cintanya inilah, Wade rela dijadikan kelinci percobaan oleh Ajax (Ed Skrein) yang ingin menciptakan pasukan super. Sayangnya, untuk mengaktifkan gen mutan yang disuntikkan dalam tubuh Wade; Wade harus disiksa sedemikian-rupa sehingga wajah dan tubuhnya menjadi seperti monster. Di sinilah, “love story” berubah menjadi HOROR.

Semakin horor dengan rating “R” yang dipasang, artinya banyak adegan sadis di film ini. Penonton yang mengira akan menyaksikan stereo-type super-hero, pasti akan terperangah menyaksikan kekerasan yang dibalut oleh humor sarkasme di film ini. Sedikit mengingatkan kita akan film Kick-Ass. Selain adegan sadis, banyak kata-kata jorok dan kasar. Jadi, sangat jelas sekali kalau Deadpool memang tampil berbeda dari kubu lain. Jika kubu lain menyajikan film superhero yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, Deadpool jelas tidak.

Sisi positifnya, Deadpool terasa segar dan menghibur bagi penonton yang sudah mulai jengah dengan banyaknya superhero yang bermunculan. Meski harus diakui, karena perbedaan budaya, tidak semua penonton dapat memahami humor yang dilemparkan oleh Deadpool. Bagi fans X-Men sendiri, ada beberapa humor “jujur” yang membuat kita tertawa terbahak-bahak, salah satu contohnya adalah ketika Colossus mengajak Wade bertemu Professor X, dan ia berkoar “McAvoy atau Stewart?”. Seperti yang fans tahu, Stewart adalah pemeran Prof. X lama, sementara McAvoy adalah Prof. X masa muda yang mulai muncul di X-Men:First Class.

Humor dan dialog yang terasa panjang ini memang merebut perhatian penonton, sehingga plot cerita yang disuguhkan pun agak tidak diperhatikan. Suatu kelebihan dan kekurangan, karena sebenarnya plot ceritanya biasa-biasa saja. Opening Credit yang lucu, penggunaan alur flash-back di paruh awal film juga membuat film ini semakin menarik. Promosi yang memancing rasa penasaran publik tidak sia-sia, karena pada akhirnya Deadpool memang menyajikan suatu film super-hero yang tidak terduga. Nilai 8/10.

 

Resensi Film: The Hateful Eight (2015)

Sesuai dengan opening credit, The Hateful Eight adalah film ke-8 Quentin Tarantino. Melihat nama sutradaranya saja, bisa dipastikan banyak kekerasan & nudity yang akan tersaji. Namun karena saya menyaksikannya di film Indonesia, ada beberapa bagian yang memang dipotong sensor; jadi tidak ada nudity di film ini; hanya tersisa adegan darah muncrat ke mana-mana (very Tarantino!).

The Hateful Eight dibukan dengan 1 scene gambar yang sama, dan ini membuat penonton mempunyai waktu untuk berfokus pada Original Soundtrack dari Ennio Morricone, yang luar biasa keren. Mendengar musiknya saja, sudah membuat perasaan tidak enak. Film ini dibagi menjadi beberapa chapter, dengan setting waktu setelah perang sipil di Amerika. Banyak issue mengenai kemanusiaan yang terkandung dalam dialog-dialog panjang.

Dimulai dari sebuah kereta kuda, dikemudikan O.B. (James Parks), berpenumpang seorang pemburu bayaran John Ruth (Kurt Russell), yang membawa tangkapannya, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) yang bernilai tinggi. John Ruth adalah pemburu bayaran yang unik, dia selalu menangkap buronannya hidup-hidup, meskipun ia sangat paranoid bahwa orang lain akan merebut tangkapannya. Dalam perjalanan awalnya, ia bertemu dengan 2 orang yang terpaksa ia tampung di kereta: Mayor Marquis (Samuel L. Jackson), seorang veteran negro yang menjadi pemburu bayaran; dan Mannix (Walton Goggins), yang mengaku calon sheriff baru di Red Rock.

Karena badai yang begitu hebat, mereka terpaksa singgah di Minnie’s Haberdashery; di mana di dalamnya sudah ada 4 orang lain: Bob (Demian Bichir) — yang mengaku sebagai orang yang “dititipi” tempat tersebut oleh pemilik aslinya; Oswaldo Mobray (Tim Roth), algojo resmi yang diundang ke Red Rock; Joe Gage (Michael Madsen), seorang koboi yang mau pulang untuk natal dengan ibunya; General Smithers (Bruce Dern), veteran perang yang sudah tua. Suasana menjadi runyam, karena ternyata 1 atau 2 orang lebih di antara mereka adalah komplotan dari Daisy, yang berniat membebaskan Daisy dengan cara apapun.

Tarantino memang berhasil menulis naskah film ini dengan sangat luar biasa. Lokasi yang dipakai pun hanya di 1 tempat, tapi tidak membosankan karena penonton terlalu penasaran untuk memahami apa yang terjadi. Kekurangan film ini ada di chapter-chapter awal, di mana Tarantino dengan sangat perlahan membangun karakter yang ada dengan dialog-dialog panjang yang tidak semua orang tahan untuk mengikutinya. Bagi Anda yang menyukai film drama, mungkin tidak keberatan dan merasa “masuk akal” jika Tarantino menghabiskan paruh awal film ini hanya untuk pembicaraan yang membangun image dan hubungan antara 3 tokohnya: John Ruth – Marquis – Mannix. Sementara bagi Anda yang kurang menyukai film drama, mungkin hanya akan menguap dan baru terbangun lagi di paruh akhir film; ketika tembakan mulai muncul. Nilai: 8/10.

Unanswered Question:
1. Jika dihitung-hitung lagi, pada akhirnya jumlah orang yang ada di situ bukan 8 orang. Jadi apakah judulnya hanya karena ini film ke-8?
2. Ada seekor kucing di di Minnie’s Haberdashery yang kemudian menghilang entah ke mana (tidak diceritakan).

Resensi Film: Star Wars VII: The Force Awakens (2015)

Sebagai penggemar Star Wars tentu happy banget akhirnya ada Star Wars VII. Star Wars layar lebar yang paling tua usianya, yaitu Star Wars IV diproduksi tahun 1977. Tak heran jika banyak orang yang binging, “Kapan Star Wars I-VI nya?” dan tidak tahu-menahu sejaranya.

Let me help you, buat kalian yang belum pernah menonton Star Wars sama sekali, sinopsis pendek ini bisa membantu kalian:

Jedi adalah semacam ksatria yang mendapatkan tenaga dari The Force. Mesk begitu, ada sisi gelap dari The Force yang semakin lama semakin kuat. Ada nubuat yang mengatakan akan ada 1 anak yang membawa keseimbangan pada The Force. Yang dikira nubuat itu adalah Anakin Skywalker, yang diajar oleh Obi-wan Kenobi. Ternyata, Anakin Skywalker malah berpindah ke sisi gelap, dan menjadi Darth Vader. Darth Vader berhasil menghancurkan Republik dan mendirikan Kekaisaran, serta membunuh semua Jedi yang ada. Diam-diam, Amidala (istri Anakin) punya 2 anak kembar, yaitu Leia dan Luke yang dipisah dan disembunyikan hingga dewasa. Luke Skywalker akhirnya ditemukan dan dilatih oleh Obi-Wan tua, dan Master Yoda (sebelum akhirnya mati), untuk mengalahkan Darth Vader dan gurunya, Sith. Princess Leia adalah pemimpin pemberontakan, dan bertemu dengan Han Solo, pekerja upahan yang licik dan suka menipu; tetapi baik hati. Singkat cerita, Luke berhasil menggerakkan hati nurani Darth Vader yang akhirnya membunuh Sith. Sebagai Jedi terakhir, Luke beritikad untuk membangun dan melatih kembali kaum Jedi.

Demikian sinopsis pendek agar bisa “nyambung” nonton Star Wars VI. Star Wars VI sendiri melanjutkan cerita, bahwa ternyata salah satu murid Luke berkhianat, membunuh semua Jedi. Luke yang terpukul kemudian mengasingkan diri; dan semua kubu berlomba2 menemukan Luke Skywalker.

tfa_poster_wide_header-1536x864-959818851016.jpg

Selain droid R2-D2 dan C3PO yang selalu ada dari Star Wars I-VI, ada personil lama yang masih ada dalam Star Wars VII, yaitu Han Solo (Harrison Ford), Princess/General Leia (Carrie Fisher), dan Luke Skywalker (Mark Hamill). Karakter baru yang muncul juga berhasil mencuri perhatian, Rey (Daisy Ridler) yang asal-usulnya masih menjadi pertanyaan, Finn (John Boyega), dan Poe Dameron (Oscar Isaac). Antagonis Kylo Ren (Adam Driver) meski tidak segahar Darth Vather, juga tampil berkarisma. Namun dari semuanya, justru tokoh baru yang paling memukau adalah droid baru, BB-8.

Secara segi cerita, Star Wars VII memiliki sangat banyak kemiripan dengan film pendahulunya. Silsilah keluarga yang runyam, 3 kubu yang berperang, tokoh yang berkhianat ke sisi gelap, tokoh utama yang misterius, senjata perang raksasa yang mampu menghancurkan planet,  perang angkatan udara yang penuh dengan tembakan laser, aneka alien berbagai macam rupa dalam satu bar, pemburu bayaran, dsb. Bedanya, di film terbaru ini tokoh utamanya adalah seorang gadis; dan senjata perang raksasanya bisa menghancurkan langsung lebih dari 1 planet.

Bagi beberapa orang, mungkin akan mencerca Star Wars VII karena kemiripan cerita yang terlalu banyak; tetapi who cares?! Bagi fansnya, bisa melihat Star Wars dibuat dengan teknologi masa kini, sudah merupakan kepuasan sendiri. Sementara bagi penonton baru, akan tetap menyukainya, karena tidak tahu film pendahulunya. Star Wars VII juga tetap tampil menghibur dengan humor yang spontan dan ringan. Jangan lupakan musik ilustrasi dari John Williams yang fenomenal.

Nilai: 8/10. @ristiirawan

Resensi Film: Bridge of Spies (2015)

BOS-1-Sht-v13-sml

Jujur saja, menonton film ini di show Pk. 21.00 memang beresiko tertidur di paruh awal film (durasinya lumayan lama pula). Too bad, karena film ini benar-benar karya Steven Spielberg yang bagus. Realistis dan menggambarkan kekuatan negosiasi. Jenis film seperti ini memang tidak mudah untuk disukai penonton awam, karena isinya hanya dialog.

Mengambil setting waktu saat perang dingin antara Amerika dengan Soviet, film ini menceritakan bagaimana seorang pengacara bernama James Donovan (Tom Hanks) diberikan tugas untuk membela mata-mata Rusia, Rudolf Abel (Mark Rylance) pada pengadilan di Amerika, sesuai dengan prinsip negara mereka untuk memberikan pengadilan yang adil, di mana setiap orang mendapatkan haknya untuk dibela. Bukannya sekadar menjalankan tugas agar segera bisa lepas dari kasus ini, Donovan malah semakin masuk ke dalam urusan antar negara Amerika dengan Soviet, bahkan Jerman Timur. Ia bertugas untuk bernegosiasi a agar Abel dapat ditukar dengan pilot Amerika, Francis Gray Powers (Austin Stowell) yang ditahan oleh Soviet. Masalah semakin runyam, ketika Donovan ingin membebaskan Frederic Pryor (Will Rogers) dari tahanan Jerman Timur.

Lupakan adegan-adegan action, karena meskipun film ini adalah film masa perang, tetapi tidak ada adegan tembak-tembakan yang berarti. Walaupun begitu, bukan berarti film ini tidak seru. Karena justru di sinilah letak kehebatan film ini. Hanya dengan akting wajah serta dialog, Bridge of Spies mampu menjembatani penonton ke dunia “politik” yang tidak pernah dikira. Tidak banyak film yang menceritakan bagaimana kekuatan diplomasi berada di balik banyak hal yang terjadi. Pujian memang harus ditujukan kepada Tom Hanks, yang sekali lagi menunjukkan performa yang luar biasa. Penonton bisa ikut merasakan suka-duka seorang Donovan, tanpa harus perasannya dituliskan atau dibicarakan. Cukup dengan melihat raut wajah & gerakan tubuhnya. Kekurangan film ini mungkin hanya pada sisi audio, sound effect, property, setting tempat yang terkesan biasa-biasa saja.

Secara keseluruhan, film ini memiliki makna yang dalam. Mengingatkan kita untuk bersungguh-sungguh mengerjakan pekerjaan kita dengan hati. Tidak masalah apa yang dikatakan orang lain, yang penting kita tahu apa yang kita kerjakan. Loyalitas dan nasionalisme pun menjadi poin tersendiri di film ini, di mana tidak semua hal bisa dibeli oleh uang. Nilai 8 dari 10. @ristiirawan

Resensi Film: Hotel Transylvania 2 (2015)

Minggu-minggu ini memang banyak film bagus yang tayang di bioskop Indonesia. Dari The Martian, The Intern, Sicario, The Walk. Pilihan mau nonton film yang serius, agak mencekam, atau inspiratif, semuanya ada. Nah, hiburan yang paling lucu datang dari Hotel Transylvania 2. Meskipun animasi, film ini IMO tidak cocok ditonton anak-anak kecil, karena banyak kata-kata dan gambar yang kasar/seram (contohnya: lagu nina bobok yang liriknya jadi sadis).

Hotel-Transylvania-2-1-600x889

Lanjutan dari Hotel Transylvania, masih disutradarai oleh Genndy Tratakovsky, Mavis (Selena Gomez), putri dari Dracula (Adam Sandler) akhirnya menikah dengan Jonathan (Andy Samberg). Dracula juga antusias setelah cucunya, Dennis (Asher Blinkoff) lahir. Ia yakin bahwa Dennis akan menjadi vampir berikutnya. Namun ketika usianya hampir 5 tahun (saat bagi vampir untuk muncul taring), dan tidak ada tanda-tanda bahwa Dennis adalah seorang vampir; Dracula mulai cemas. Apalagi Mavis melihat bahwa Hotel Transylvania tidak menjadi tempat yang aman untuk membesarkan anak, dan hendak pindah ke dunia manusia. Maka dimulailah misi Dracula dan teman-temannya untuk menstimulasi Dennis agar menjadi vampir.

Cerita Hotel Transylvania sebenarnya sederhana dan mudah ditebak. Tetapi cerita semakin bertambah manis, ketika dialog tersusun dengan baik, dan chemistry antar karakternya sangat kuat. Unsur kekeluargaan pun sangat kental. Belum lagi setiap karakter mendapatkan porsi yang pas, sehingga semuanya berkesan. Bahkan, boleh dibilang karakter-karakter sekundernya yang justru lebih mencuri perhatian daripada tokoh utama. Seru saja ketika menonton bagaimana para monster ini sudah terkontaminasi dunia manusia, sehingga lupa rasanya untuk “seram”. Sebut saja, ada mumi yang encok (ngakak), manusia serigala yang doyan main frisbee; dll. Kekurangan yang terbesar dari film ini mungkin adalah soundtrack yang kurang mendukung. Meskipun mengangkat tema kekinian, tetapi ada beberapa area yang audionya seharusnya bisa lebih mengena. Secara keseluruhan, film ini bagus ditonton untuk orang yang lancar mendengar & membaca; alias tidak cocok untuk anak-anak kecil. Nilai 8/10 (OMG, kenapa semua film yg kutonton akhir-akhir ini aku kasih nilai 8 semua ya?). @ristiirawan

Resensi Film: The Walk (2015)

Sederhananya, nonton orang akrobat berjalan di kawat/tali, dan orang tsb diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt; dua hal itu saja sudah menarik. Film dokumenternya “Man on Wire” menerima banyak penghargaan, dan kali ini sutradara Zemeckis kembali membuat layar lebarnya, dengan audio dan visual yang keren.

the-walk-joseph-gordon-levitt

Phillipe Petit adalah orang Prancis yang memiliki mimpi dan ambisi untuk memasang kawat di antara dua gedung raksasa World Trade Center dan berjalan di atasnya. Awalnya ia hanya terpesona dengan sirkus setempat di bawah asuhan Papa Rudy (Ben Kingsley), lalu akhirnya ia diusir dari rumah dan hidup di jalanan. Meskipun begitu, ia memiliki prinsip bukan pengemis, melainkan artis yang sangat menjunjung nilai seni. Mimpi dan ambisinya membuat orang lain terpesona dan menjadi kaki-tangannya, Annie (Charlotte Le Bon) musisi yang juga adalah kekasihnya, lalu fotografer resminya, Jean-Louis (Clement Sibony). Tak lama kemudian kaki tangannya pun bertambah, dari guru matematika Jeff (Cesar Domboy), orang Prancis yang tinggal di New York Jean-Pierre (James Badge Dale). Mereka pun membuat strategi, berikut penelitian dan penyelidikan untuk memasang kawat agar Phillipe bisa melakukan pertunjukan ilegalnya.

Selain visual yang indah (apalagi view ketika Phillipe di atas kawat), dan audio yang juga tidak kalah mendukung, kekuatan utama film ini memang terletak pada Joseph Gordon-Levitt yang sejak awal sudah membacakan narasi dengan logat Prancis dengan khas. JGL berhasil menghidupkan sosok Phillipe Petit dengan mempesona. Pesan sebagai seorang artis yang sangat mengutamakan idealisme akan segi artistik juga tersampaikan dengan baik. Orang yang mengejar impiannya tampak begitu hidup. Sayangnya, porsi bagi karakter yang lain tidak terlalu banyak, sehingga hubungan antara Phillipe dengan timnya terasa biasa saja. Bahkan adegan perselisihan antara Phillipe-Annie juga terasa datar. Seharusnya bisa lebih baik, apabila Zemeckis mau lebih mendramatisir beberapa poin hubungan antara Phillipe dengan orang sekelilingnya. Secara keseluruhan, film ini inspiratif dan indah, nilai 8/10 @ristiirawan

Are you an artist? Then go and watch this movie 🙂

“Show the world if anything is possible”

the-walk-2015-movie-poster

Resensi Film: The Intern (2015)

ClickHandler.ashx

The Intern adalah film drama tentang pekerjaan, bisnis, dan pernikahan. Ceritanya sederhana, sesuai dengan realita kehidupan, dengan alur yang santai, pelan, tetapi diperankan oleh aktor & aktris yang hebat, naskah dialog yang bagus, dan pemandangan yang enak dilihat mata.

Meski agak beraliran feminis, film yang ditulis & disutradarai oleh Nancy Meyers ini menempatkan Robert De Niro sebagai Ben, kakek berusia 70 tahun. Ia duda, telah menjalani pernikahan yang bahagia dengan istrinya, punya anak & cucu, pensiun loyal yang cukup sukses. Namun karena ia tidak terbiasa pengangguran, ia merasa ada yang kurang dari hidupnya, ia butuh “dibutuhkan”. Kebetulan ada perusahaan online shop yang dipimpin Jules Ostin (Anne Hathaway) yang membuka lowongan magang senior. Ben rela menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, dan berhasil berkawan dengan kolega yang usianya jauh lebih muda. Jules yang awalnya ragu dengan Ben, justru menjadi dekat dengan Ben, terutama ketika Ben selalu hadir untuknya dalam masalah pekerjaan maupun masalah dengan suaminya, Matt (Andres Holm).

Topik yang diangkat oleh The Intern adalah kehidupan kaum senior, serta kehidupan keluarga di mana istri adalah pekerja, sementara suami menjadi pihak yang stay at home dan mengurus rumah tangga. Tanpa terlalu kasar menyindir atau memojokkan pihak tertentu, film ini menyampaikan pandangan masyarakat dan apa yang kemungkinan dihadapi oleh para senior dan keluarga modern ini. Selain topik yang cukup menarik itu, yang memberikan kehidupan bagi film ini adalah akting dari para pemeran. Anne Hathaway, seperti biasa, mampu menunjukkan sosok wanita modern yang energik, super-multi-tasking, kritis, dan punya prinsip. Tidak hanya Anne Hathaway & Robert De Niro yang bagus, bahkan para pemeran pembantu seperti Jason (Adam DeVine), Davis (Zack Pearlman), Lewis (Jason Orley), Becky (Christina Scherer) memiliki chemistry yang kuat dan menghibur secara natural.

Film ini enak dilihat. Meski tidak ada klimaksnya, tetapi penonton tetap duduk manis dan sabar mengikuti ke mana cerita bergulir. Meski tokoh utamanya adalah Robert De Niro & Anne Heathaway, tapi fokus cerita yang didasarkan pada hubungan antar mereka bisa melebar dengan baik. Kombinasi antara topik pekerjaan, bisnis, dan pernikahan. Dalam bisnis, tidak selamanya founder tetap bisa mengelola perusahaannya yang berkembang dengan baik; tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa founder tetap adalah jiwa dari perusahaan itu, yang paling tahu apa dan bagaimana perusahaan itu berjalan — meskipun butuh bantuan orang lain.

Pesan tentang pernikahan yang disampaikan pun cukup bagus: jika kita mencintai seseorang, kita tidak akan memaksa orang itu untuk berubah atau mengorbankan sesuatu yang dia cintai demi ego kita pribadi. Tidak meminta orang yang kita cintai untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya. Make sense? Jika keduanya saling mencintai, maka yang perlu dirubah bukan orang lain, tapi diri sendiri. That’s love. I love this movie, so I give 8 of 10 stars. @ristiirawan

Resensi Film: The Martian (2015)

Recommended 🙂

the-martian-600x450

Matt Damon kembali jadi astronot di The Martian. Untungnya, tidak seperti karakternya yang jahat di Interstellar, kali ini Matt Damon adalah Mark Watney, seorang astronot baik hati yang tidak sengaja tertinggal di Planet Mars. Ia harus hidup seorang diri, menggunakan kecerdasannya dan teknologi yang ada di situ untuk bertahan hidup sampai bantuan (kalau jadi) datang. Sounds so deseperate?

Kebanyakan penonton datang dengan persiapan mental untuk menonton film luar angkasa yang membuat cemas, seperti pendahulunya: Interstellar & Gravity. Tetapi apa yang disajikan Ridley Scott berdasarkan buku Andy Weir justru menghibur. Berbeda dengan kebanyakan film sci-fi yang sering membuat kita pusing mencoba mencerna hitungan matematis-kimiawi-biologis-dst-dsb; The Martians bisa menyajikannya dengan ringan.

91324

Pemandangan yang ada bukan tipe yang enak dilihat mata. Coba saja lihat Planet Mars yang tandus terus-menerus, tetapi secara ajaibnya, semangat para karakter yang di filmnya bisa menular ke penonton. Karakter Mark Watney mampu membuat penonton di dalam film maupun di luar film menyukainya. Penonton turut antusias melihat kentangnya bisa tumbuh atau tidak, tertawa oleh lagu disko yang diputar, bersedih melihat perubahan berat badannya, dan turut berharap ia dapat selamat.

Meskipun begitu, memang film ini terkesan tidak realistis dari segi sifat manusia. Seolah semua manusia di film ini pada dasarnya baik hati. Bagaimana dua bangsa yang kurang akrab bisa bekerja sama hanya untuk menyelamatkan 1 orang, serta bagaimana semua orang bisa mengorbankan ego untuk menyelamatkan temannya. Tetapi mungkin memang itulah harapan tersembunyi yang berusaha disampaikan oleh penulis cerita ini.

The Martian membuktikan bahwa sebuah film outer-space-sci-fi tidak selamanya berat dan membuat depresi. Sekaligus, membuktikan bahwa Matt Damon memang aktor yang luar biasa keren. Layak ditonton oleh berbagai kalangan dan usia, overall 8/10.

PHIIVE4Rs7PJMO_1_l

Resensi Film: The Man From U.N.C.L.E (2015)

The Man From U.N.C.L.E berhasil tampil beda dari film-film agen rahasia lainnya karena pemilihan setting waktu. Berangkat dari serial TV jaman dulu, film yang disutradarai Guy Ritchie ini tetap memilih setting tahun 1960an. Setting & properti ini lah yang membuat film ini terlihat mewah, tanpa terlalu berat untuk dinikmati.

Bercerita tentang 2 agen rahasia yang berbeda kubu, yaitu Napoleon Solo (Henry Cavill) dari CIA dan Illya Kuryakin (Armie Hammer) dari KGB. Mereka mau tidak mau dipersatukan oleh perintah dari atasan, yang bertujuan sama: menemukan Prof. Teller, ayah dari Gaby (Alicia Vikander) yang ditahan oleh mantan NAZI untuk mengembangkan bom nuklir. Solo & Kuryakin yang saling membenci kini harus menahan ego masing-masing demi kesuksesan misi ini.

Secara cerita, bisa dibilang The Man From UNCLE ini tidaklah istimewa. Plotnya biasa saja dan mudah ditebak. Namun chemistry tokoh-tokoh di film ini menjadi kunci utama kenapa film ini asyik untuk ditonton. Cavill & Hammer mampu beradu akting dengan sepadan. Ketika digabung dengan Vikander, mereka mampu menjadi 3 tokoh utama yang kompak. Dari segi musuh, Victoria (Elizabeth Debicki) dengan script dialog yang baik mampu muncul sebagai wanita 1 paket: cantik, cerdas, dan ambisius. Bahkan dr. Sanders (Jared Harris) sebagai sosok freak di sini juga mampu mencuri perhatian.

Adegan action yang ada sebenarnya juga tidak terlalu bombastis. Teknologi yang digunakan, karena pemilihan setting waktu, juga tidak bisa secanggih film agensi lainnya. Intensitasnya juga tidak terlalu tinggi, dalam artian tidak ada rasa berdebar-debar karena takut apa yang akan terjadi. Tetapi semua ini berhasil ditutup dengan naskah dialog yang menghibur. Sebut saja adegan kocak yang menempel di ingatan, yaitu saat Solo di dalam truk sambil makan dengan santai, sementara Kuryakin sedang berkejar-kejaran di atas perahu. Nilai 8/10 cocok untuk film ini karena menyenangkan untuk ditonton. @ristiirawan

NB. Ada sccene yang muncul di akhir film, tayangan-tayangan dokumen anggota U.N.C.L.E.

Henry-Cavill-Armie-Hammer-Alicia-Vikander-in-The-Man-From-UNCLE-2015-movie