Resensi Buku: The Fault In Our Stars by John Green (spoiler alert!)

Sebelum terlalu banyak spoiler yang kubuka, intinya adalah buku ini adalah satu dari buku kisah percintaan remaja yang tidak ada zombie, vampire, dan mutan di dalamnya. Yang ada hanyalah kisah tentang gadis yang paru-parunya bermasalah dengan laki-laki yang hanya berkaki satu. Meskipun mengangkat kisah tentang kanker dan terinspirasi dari tokoh nyata alm. Esther Earl, kisah ini adalah fiksi — seperti yang ditulis dengan sangat jelas oleh John Green (“This book is a work of fiction. I made it up”).  Saya baca e-book bahasa inggrisnya, dan menemukan bahwa buku ini lebih enak dibaca dalam terjemahan aslinya, karena banyak kata-kata lucu yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berasa aneh. Contohnya: “cancer perks”, terjemahan Indonesia : kemudahan kanker? tunjangan kanker? (waduh!). Selain isi buku, cover buku yang didesain oleh Rodrigo Corral juga mampu menarik perhatian. Covernya sederhana tapi memiliki kesan yang kuat. Gambar awan dan perpaduan warna biru-putih-hitam.

2014-06-28 10.55.24

Kisah ini diceritakan dari sudut pandang Hazel Grace, seorang remaja yang mengidap (awalnya) kanker thyroid tetapi sudah menyebar ke paru-paru, sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters, seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris kesalahan cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten.

Di bawah ini akan banyak spoiler, jadi kalau belum baca bukunya, lebih baik jangan melanjutkan baca review ini.
SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!

Kata-kata “The Fault In Our Stars” hanya muncul sekali di dalam buku, ketika Hazel Grace mengutip Shakespeare, “The fault, dear Brutus, is not in our stars, but in ourselves, that we are underlings”. Artinya “Kesalahan, Brutus sayang, bukan di bintang-bintang kita, tetapi pada diri kita sendiri, bahwa kita adalah bawahan.”

Apa yang membuat kisah ini terasa “nyata” — meskipun hanya fiksi — dan dapat membuat pembacanya menangis tersedu-sedu?

1. Ada kisah di dalam kisah

John Green dengan cerdas menyisipkan kisah di dalam kisah. Ketika kita membaca kisah Hazel-Augustus, mereka juga sedang membaca buku lain, kisah lain dalam AIA & The Price Of Dawn. Kita dapat memahami “penasaran”nya Hazel Grace terhadap AIA, karena kita juga ikut penasaran ketika menemukan penjelasan AIA berhenti di tengah kalimat. Secara psikologis, John Green mengajari kita menyukai bukunya, seperti Hazel-Augustus menyukai buku-buku mereka. Bahkan ada pesan tersembunyi, ketika Peter Van Houten menolak menceritakan kehidupan tokoh-tokoh lain setelah Anna meninggal; sama seperti mungkin John Green menyampaikan pendapatnya tentang kisah setelah The Fault In Our Stars ini tamat.

2. Siapa menyangka Augustus Waters akan mati duluan?

Sejak awal kita “ditipu” bahwa Hazel akan mati duluan. Bahkan memang dalam ceritanya, Hazel mengira ia yang akan mati duluan. Kita sudah bersiap-siap kalau Hazel mati. Kita jadi tidak sabar ketika Hazel tidak jujur terhadap perasaannya ke Gus. Sedihnya, John Green sukses memutar-balikkan cerita dengan membunuh Augustus Waters.

3. Karakter Augustus Waters & Hazel Grace

Augustus Waters adalah orang yang luar biasa baik dan manis, diragukan apakah masih ada orang seperti itu di dunia ini. Tetapi John Green mampu mengimbangi karakter ini dengan menciptakan Hazel Grace. Atau sebaliknya. Pada bagian akhir yang paling menyedihkan adalah bahwa Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan dari akhir buku itulah semuanya menjadi cocok. Mengapa Augustus bisa menyukai Hazel dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.

Well done, John Green. You have crushed our heart — successfully. 9/10.

My favorite lines from The Fault In Our Stars:

1. Then he pulled me to him and, his face inches from mine, resolved, “I’ll fight it. I’ll fight for you. Don’t you worry about me, Hazel Grace. I’m okay, I’ll find a way to hang around and annoy you for a long time”. I was crying. But even then he was strong, holding me tight that I could see the sinewy muscles of his arms wrapped around me as he said, “I’m sorry. You’ll be okay. It’ll be okay. I promise,” and smiled his crooked smile.

2. “I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”

3. “I don’t ever want to do that to you,” I told him.
“Oh, I wouldn’t mind, Hazel Grace. It would be a privilege to have my heart broken by you.”

4. “Animals are just too cute?” Gus asked.
“I want to minimize the number of deaths I am responsible for,” I said.

 

Comic 8 (2014)

20140210-124515.jpg

Film produksi Falcon Pictures yang disutradarai oleh Anggy Umbara ini telah menghibur penonton bioskop Indonesia, yang jengah dengan genre-genre komersial. Dengan mengangkat genre action-comedy, digabung dengan twist psikologis serta desain visual retro, Comic 8 telah membawa angin segar untuk perfilman Indonesia.

Bercerita tentang 3 orang amatir, yaitu Fico Fachriza, Babe Cabiita, Bintang Timur yang merampok bank. Di saat bersamaan, 3 orang gangster profesional, yaitu Ernest Prakasa, Arie Kriting, Kemal Pelvi juga merampok bank tsb dengan senjata api beneran. Belum kelar persaingan mereka, ternyata ada 2 orang aneh, Mongol Stres dan Mudy Taylor yang jago berkelahi, juga merampok bank yang sama. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung menjadi Dewan Perwakilan Rampok berdasarkan petunjuk dari Indro Warkop dan Candil yang tidak sengaja berada di bank itu. Ternyata, apa yang terjadi tidaklah seperti yang terlihat, ada campur tangan dari Pandji Pragiwaksono, Agung Hercules, dan Nikita Mirzani. Mereka harus bernegosiasi dengan kapten Nirina Zubir & perwira Boy William.

Comic8-Nirina-Boy-William

Stand-up comedy memang sedak marak di Indonesia, jadi mengangkat tema itu adalah pilihan yang tepat. Apalagi ketika para pemerannya hanya perlu menjadi diri mereka sendiri, sehingga untuk segi akting tidak mengalami kendala besar. Bahkan tim Pandji-Hercules-Nikita sebagai orang yang tidak berakting sebagai diri sendiri, berhasil menunjukkan performa catchy di mata penonton. Nirina Zubir karena menjadi satu-satunya orang yang “waras” dalam film ini malah jadi terlihat tidak alamiah, tenggelam di dunia “gila” comic 8. Bahkan VJ Boy William akan meraih banyak penggemar baru dari film ini. Departemen casting film ini telah mengerjakan PRnya dengan sangat baik.

Dalam comic 8, banyak isu-isu nasional yang dijadikan sindiran dengan sangat mengena, seperti analogi para anggota perampok yang akhirnya bersatu dalam DPR demi keuntungan bersama, suatu sindiran keras bagi pemerintah Indonesia. Belum lagi sindiran yang lainnya, yang berhubungan dengan banyak ras di Indonesia tapi dapat diolah menjadi sesuatu yang lucu dengan adil, tanpa menyinggung beberapa etnis. Meski turut mengajak coboy junior bermain dalam film ini, yang akan mengundang banyak anak-anak menontonnya, film ini TIDAK BAIK ditonton anak-anak, karena banyak kata-kata kasar dan kotor terucap, serta beberapa adegan dan dialog dewasa.

Ide cerita yang dituangkan salam skrip oleh Fajar Umbara termasuk plot cerita yang cerdik, karena penonton diajak meloncat dari timeline ke timeline berikut untuk memahami cerita tanpa kebingungan. Karakter tiap karakter dapat diselami dengan baik. Apalagi ketika twist pertama mulai dibuka, boleh diakui bahwa sutradara dan timnya telah membuat film ini menjadi lebih berbobot. Namun sungguh disayangkan, twist terakhir diselesaikan kurang baik. Seharusnya bisa menjadi twist yang sempurna, seandainya tim produksi tidak memaksakan untuk menyindir maraknya hipnotis. Meskipun dapat dimaklumi karena genre film ini adalah komedi, tapi penyelesaian praktis yang disajikan malah menghancurkan twist yang disusun — suatu pembodohan. Selain itu, ada beberapa adegan dialog yang terlalu berkepanjangan, membuat durasi jadi terasa lama dan malah menurunkan adrenalin. Seharusnya plot cerita bisa diperbanyak di bagian penjelasan twist, bukannya memperpanjang dialog komedian yang sudah mendominasi sepanjang film.

Setting tempat, make-up, dan properti cukup baik, meski beberapa masih tampak sangat palsu, terutama pendeteksi logam di depan gereja. Untuk sinematografinya bisa dibilang sangat baik, dan berhasil lepas dari streotype film Indonesia lainnya. Namun yang aneh adalah adegan tembak-tembakan sangat heboh, tapi tidak ada orang yang terluka. Seolah-olah semua orang di dalam film itu tahan peluru. Termasuk beberapa sarang dan bekas peluru, yang tidak sinkron dengan arah datangnya peluru. Falcon pictures sendiri telah menunjukkan ambisinya dalam animasi (terlihat dari trailer logo mereka), animasi untuk grafis ala komik bisa dibilang bagus, termasuk adegan hipnotis di lab yang cukup “scary”. Hanya animasi ledakan dan shooting dalam mobil berjalan, yang masih perlu diperbaiki, karena sangat jelas terlihat hanya tempelan.

Secara keseluruhan, comic 8 telah membuktikan potensi yang dimiliki sutradara, penulis skrip, animator, casting department, aktor dan aktris, serta tim perfilman lainnya. Sajian film yang menghibur dan menjawab ekspektasi penonton dengan lebih berbobot. Pasti penonton akan menunggu karya-karya duet Umbara berikutnya. My score is 8/10.

Resensi Buku: Insurgent by Veronica Roth

Insurgent adalah buku ke-2 dari Divergent Trilogy karya Veronica Roth.

Pasca serangan oleh Erudite — dengan mengaktifkan serum, Tris terus terbayangi rasa bersalah atas kematian Will. Hal ini menyebabkan ia tidak mampu memegang pistol lagi. Apalagi ketika ia harus bertemu lagi dengan sahabat sekaligus pacar Will, yaitu Christina.

Selain pertarungan Tris dengan rasa bersalah dan persahabatannya dengan Christina, Tris juga dihadapkan dengan isu kepercayaan dalam hubungan cintanya dengan Tobias. Sementara itu, situasi politis semakin berbahaya, karena kaum factionless mulai terlibat. Dauntless setia dan Abnegation yang tersisa akan membutuhkan dukungan faksi Amity dan Candor, demi menghadap Erudite.

Dalam buku yang ke-2 ini, pembaca akan dibawa untuk mengenal faksi Amity dan Candor secara mendalam, setelah sebelumnya mengenal faksi Abnegation, Dauntless, dan Erudite. Sungguh menarik cara Veronica Roth menghidupkan dan melabeli ciri khas setiap faksi. Setiap faksi yang ada akan membekas di ingatan pembaca.

Karakter Tris juga semakin jelas dalam buku ini, ketika ia semakin menemukan panggilannya — yang sempat hilang di awal buku. Muncul beberapa karakter lama dan baru yang cukup kuat. Hubungan Tris dan Tobias dengan karakter lain digali lebih dalam, meskipun ada beberapa hal yang mungkin “mendinginkan” suasana dan kurang disukai oleh pembaca, namun justru membuat cerita terasa lebih realistis. Peter yang muncul lebih dominan di buku ini, membuat pembaca penasaran, karena sepertinya akan menjadi tokoh penting di buku selanjutnya (?).

Insurgent lebih kelam daripada Divergent. Cerita dibawah ke ranah yang lebih luas, terutama dengan ending yang membuka beberapa hal yang sudah ditunggu-tunggu, sekaligus membuat pembaca tidak sabar untuk membaca kelanjutannya!

My score for Insurgent is 8/10.

20130916-072023.jpg

Delirium

Ketika cinta dianggap sebagai penyakit — adalah dasar imajinasi yang menjadi esensi karya Lauren Oliver ini. Humanisme.

Ide cerita itu juga lah yang membuat pembaca penasaran untuk mengetahui : apa jadinya dunia kalau cinta adalah dosa besar?

Manusia di dunia delirium telah “disembuhkan” dari penyakit “amor deliria nervosa” (nama ilmiah penyakit cinta) yang berdasarkan riset dapat menyebabkan kematian. Tidak ada lagi romansa dalam kehidupan. Manusia harus disembuhkan setelah berusia 16 tahun, memilih pasangan, kemudian menikah, semuanya diatur oleh pemerintah. Sebelum 16 tahun, tidak boleh ada pertemuan antar lawan jenis yang belum disembuhkan. Segala sesuatu yang terlalu “berperasaan” adalah terlarang.

Sisi baik dari penyembuhan ini adalah masyarakat menjadi lebih teratur, bahkan setiap individu tidak lagi merasa gelisah, atau terhindar dari perasaan2 tidak menyenangkan lainnya. Sehingga penyembuhan bukan sekedar kewajiban, melainkan sebagai solusi dan perlindungan. Bagi yang tidak dapat atau melanggar peraturan, akan dihukum berupa penjara atau eksekusi. Yang membelot dan berada di luar disebut “invalid”. Sementara mereka yang berhubungan atau membantu “invalid” disebut “simpatisan” — dicap aib bagi orang sekitarnya.

Penggambaran efek cinta sebagai penyakit kadang-kadang terasa menggelikan; karena walaupun memang memiliki unsur kebenaran, tapi terasa janggal ketika dianggap serius. Sehingga butuh beberapa bab sebelum pembaca bisa “masuk” menyelami dunia delirium.

Untungnya selain eksplorasi dunia lewat sudut pandang tokoh utama Magdalena Haloway, ada banyak cuplikan-cuplikan yang diambil seolah-olah dari buku/kitab nyata (padahal fiktif), yang membangun dunia delirium menjadi lebih nyata.

Dalam beberapa hal, Lena — nama panggilan Magdalena Haloway, terasa kurang kuat sebagai tokoh utama. Kisah cintanya dengan Alex Sheates pun terasa kurang alamiah, tidak ada sebab kuat mengapa mereka bisa jatuh cinta (mengapa Alex harus jatuh cinta kepada Lena, ketika ia melihatnya bersama Hana?). Sementara Hana diceritakan jauh lebih menarik daripada Lena, dan memang kadang kala justru mencuri perhatian pembaca!
Selain itu ada tokoh figuran, si kecil Gracie yang mengundang simpati. Sementara untuk pihak antagonis belum ada nama dominan yang muncul, selain para Regulator.

Ada beberapa hal seram yang cukup bagus penuturannya (penjara, dsb). Sehingga kalau dijadikan film (kelak) seharusnya memiliki tone “gelap”.

Meski ada beberapa plot cerita yang bisa ditebak, tapi ada hal yang tidak disangka. Pembaca pasti penasaran dengan apa yang akan terjadi pada Lena. Semoga di buku ke2 nanti akan ada jawaban yang lebih baik.

I’m going to buy the sequel! My score for “Delirium” is 7/10.

20130916-071743.jpg

Insatiable : “just another vampire story!”

Seorang cewek yg berkemampuan cenayang, mengetahui kapan orang lain akan mati, jatuh cinta dengan pangeran romania yg ternyata adalah pemimpin kaum vampir, serta munculnya kandidat cinta lain yang adalah kaum pemburu vampir. Sounds familiar?

Dunia perbukuan dan perfilman memang sedang dilanda trend “vampir ganteng” (pasca suksesnya saga twilight). Rupanya trend ini juga menjadi salah satu yang dialami oleh Meena Harper, dan sekaligus dilakukan Sang Penulis sendiri, Meg Cabot.

Aku bertanya2, mengapa Meg Cabot menulis buku ini? Apakah ia hanya ingin turut serta dalam trend dunia? Karena meski buku ini cukup tebal, isinya sangat tidak orisinil. Boleh dibilang, ceritanya agak basi. Tidak ada yang mengejutkan, bahkan cenderung menggelikan (sayangnya bukan buku komedi). Romansanya pun terkesan biasa saja. Aku sudah hampir meninggalkan buku ini di 1/4 awal buku, kalau bukan karena gaya menulis Meg Cabot yang atraktif, sehingga tidak berat untuk diikuti.

My score is 4/10. Just another vampire story.

20130915-174123.jpg

Divergent (2012)

Divergent adalah buku satu dari trilogy yang ditulis oleh Veronica Roth, dengan genre science fiction/dystopia. Tema yang diangkat mirip dengan The Hunger Games, bercerita tentang kondisi peradaban di masa depan.

Di masa depan, manusia dibagi menjadi 5 faksi : Abnegation (yang tidak mementingkan diri sendiri), Amity (yang cinta damai), Candor (yang jujur), Dauntless (yang pemberani) and Erudite (yang pandai). Setiap faksi mewakili sifat manusia yang dianggap mulia demi menghindari keburukan manusia yang terjadi di masa lampau dan setiap faksi memiliki nilai dan adat yang sangat berbeda satu sama lain. Ketika mencapai usia 6 tahun, mereka harus mengikuti serangkaian tes yang akan menganalisa faksi yang cocok untuk mereka. Apabila mereka memilih faksi yg berbeda dari faksi awalnya, mereka harus meninggalkan keluarga mereka. Ada proses inisiasi yang berbeda-beda di setiap faksi, yang harus diikuti calon untuk lolos menjadi anggota faksi.

Tokoh utama dalam cerita ini adalah Beatrice Prior yang mendapatkan hasil tes unik, yaitu memiliki 3 kemungkinan, bahkan bisa “mengakali” tes simulasi. Orang yang mendapatkan hasil seperti Betrice disebut DIvergent, dan dianggap sesuatu yang berbahaya. Plot cerita pada buku 1 ini menceritakan asal muasal Tris (Panggilan Beatrice), pilihan serta perjuangannya untuk masuk Dauntless, hingga menemukan sahabat, kekasih, bahkan musuh.

Buku ini banyak memberikan pandangan mengenai pencarian jati diri, di mana kali ini tokoh utama wanitanya justru bukan berhati baik total dan “diijinkan” memiliki sifat egois. Dekat dengan berbagai pergumulan yang dialami oleh para remaja, buku ini akan cocok di hati pembaca muda. Sayangnya buku ini sarat dengan kekerasan, sehingga (menurutku) dapat menanamkan ajaran yang salah.

Cara penulisan Veronica Roth cukup ringan untuk dimengerti, seru untuk diikuti. Ceritanya berjalan dengan cepat, tidak menyangka bahwa beberapa masalah langsung terjadi pada buku satu. Hubungan tiap karakter terasa lebih kompleks dan realistis, meski masih kurang mengeksplor tiap karakter kepada pembaca sehingga tidak terlalu berkesan atau kurang membuat simpatik terhadap mereka.

Divergent direkomendasikan untuk mereka yang menyukai novel-novel fiksi! my score is 8/10.

20130622-225512.jpg