Sebelum terlalu banyak spoiler yang kubuka, intinya adalah buku ini adalah satu dari buku kisah percintaan remaja yang tidak ada zombie, vampire, dan mutan di dalamnya. Yang ada hanyalah kisah tentang gadis yang paru-parunya bermasalah dengan laki-laki yang hanya berkaki satu. Meskipun mengangkat kisah tentang kanker dan terinspirasi dari tokoh nyata alm. Esther Earl, kisah ini adalah fiksi — seperti yang ditulis dengan sangat jelas oleh John Green (“This book is a work of fiction. I made it up”). Saya baca e-book bahasa inggrisnya, dan menemukan bahwa buku ini lebih enak dibaca dalam terjemahan aslinya, karena banyak kata-kata lucu yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berasa aneh. Contohnya: “cancer perks”, terjemahan Indonesia : kemudahan kanker? tunjangan kanker? (waduh!). Selain isi buku, cover buku yang didesain oleh Rodrigo Corral juga mampu menarik perhatian. Covernya sederhana tapi memiliki kesan yang kuat. Gambar awan dan perpaduan warna biru-putih-hitam.
Kisah ini diceritakan dari sudut pandang Hazel Grace, seorang remaja yang mengidap (awalnya) kanker thyroid tetapi sudah menyebar ke paru-paru, sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters, seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris kesalahan cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten.
Di bawah ini akan banyak spoiler, jadi kalau belum baca bukunya, lebih baik jangan melanjutkan baca review ini.
SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!
Kata-kata “The Fault In Our Stars” hanya muncul sekali di dalam buku, ketika Hazel Grace mengutip Shakespeare, “The fault, dear Brutus, is not in our stars, but in ourselves, that we are underlings”. Artinya “Kesalahan, Brutus sayang, bukan di bintang-bintang kita, tetapi pada diri kita sendiri, bahwa kita adalah bawahan.”
Apa yang membuat kisah ini terasa “nyata” — meskipun hanya fiksi — dan dapat membuat pembacanya menangis tersedu-sedu?
1. Ada kisah di dalam kisah
John Green dengan cerdas menyisipkan kisah di dalam kisah. Ketika kita membaca kisah Hazel-Augustus, mereka juga sedang membaca buku lain, kisah lain dalam AIA & The Price Of Dawn. Kita dapat memahami “penasaran”nya Hazel Grace terhadap AIA, karena kita juga ikut penasaran ketika menemukan penjelasan AIA berhenti di tengah kalimat. Secara psikologis, John Green mengajari kita menyukai bukunya, seperti Hazel-Augustus menyukai buku-buku mereka. Bahkan ada pesan tersembunyi, ketika Peter Van Houten menolak menceritakan kehidupan tokoh-tokoh lain setelah Anna meninggal; sama seperti mungkin John Green menyampaikan pendapatnya tentang kisah setelah The Fault In Our Stars ini tamat.
2. Siapa menyangka Augustus Waters akan mati duluan?
Sejak awal kita “ditipu” bahwa Hazel akan mati duluan. Bahkan memang dalam ceritanya, Hazel mengira ia yang akan mati duluan. Kita sudah bersiap-siap kalau Hazel mati. Kita jadi tidak sabar ketika Hazel tidak jujur terhadap perasaannya ke Gus. Sedihnya, John Green sukses memutar-balikkan cerita dengan membunuh Augustus Waters.
3. Karakter Augustus Waters & Hazel Grace
Augustus Waters adalah orang yang luar biasa baik dan manis, diragukan apakah masih ada orang seperti itu di dunia ini. Tetapi John Green mampu mengimbangi karakter ini dengan menciptakan Hazel Grace. Atau sebaliknya. Pada bagian akhir yang paling menyedihkan adalah bahwa Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan dari akhir buku itulah semuanya menjadi cocok. Mengapa Augustus bisa menyukai Hazel dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.
Well done, John Green. You have crushed our heart — successfully. 9/10.
My favorite lines from The Fault In Our Stars:
1. Then he pulled me to him and, his face inches from mine, resolved, “I’ll fight it. I’ll fight for you. Don’t you worry about me, Hazel Grace. I’m okay, I’ll find a way to hang around and annoy you for a long time”. I was crying. But even then he was strong, holding me tight that I could see the sinewy muscles of his arms wrapped around me as he said, “I’m sorry. You’ll be okay. It’ll be okay. I promise,” and smiled his crooked smile.
2. “I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”
3. “I don’t ever want to do that to you,” I told him.
“Oh, I wouldn’t mind, Hazel Grace. It would be a privilege to have my heart broken by you.”
4. “Animals are just too cute?” Gus asked.
“I want to minimize the number of deaths I am responsible for,” I said.