The Kissing Booth 2 (2020) Review

Lemme recap the 1st film for you! The Kissing Booth, film pertamanya adalah salah satu dari film teen rom-com yang membuatku merasakan euforia setelah menontonnya. Senang karena melihat para pemerannya yang enak dipandang mata. Joey King sebagai Elle yang bersahabat dengan Lee (Joel Courtney) karena lahir di tanggal yang sama dan orang tua mereka bersahabat baik. Tentu ceritanya bisa ditebak, karena Elle akhirnya jatuh hati dengan kakak Lee, Noah (Jacob Elordi) yang super HOT, idola banyak wanita. Perasaan mereka terungkap gara-gara mereka membuka “Kissing Booth” alias stan jasa ciuman untuk proyek sekolah Elle & Lee (yang tidak mungkin terjadi di Indonesia ~ dan sekarang di seluruh dunia, karena pandemi covid-19 ini!). Elle melanggar satu dari aturan persahabatannya dengan Lee; tetapi mereka akhirnya bisa berdamai, bahkan Lee menemukan pacar sendiri Rachel (Meganne Young) berkat “Kissing Booth” juga. Di akhir film, Elle melepas Noah yang berangkat kuliah ke Harvard.

Di sekuelnya, The Kissing Booth 2, Elle sedang insecure karena LDR (Long Distance Relationship) dengan Noah. Ketika Noah menawarinya untuk lanjut kuliah di Harvard, Elle senang tapi galau karena ia dan Lee punya janji sejak kecil untuk kuliah bersama di UC Berkeley. Demi mendapatkan uang tunai untuk biaya kuliah, Elle mengikuti kompetisi Dance Dance Revolution (DDR) dengan bantuan teman barunya, Marco (Taylor Zakhar Perez) yang tidak kalah ganteng dari Noah. Di sisi lain, Elle tidak menyadari bahwa ia menjadi pengganggu dalam hubungan Lee dengan Rachel.

Film pertamanya memang tidak terlalu kuat dalam segi cerita, tetapi berhasil membangkitkan rasa “gemas” karena bumbu-bumbu percintaan remaja yang disertai dengan kecorobohan mereka yang lucu (seperti Elle pakai rok kesempitan, dan Elle yang ngumpet di bawah ranjang Noah); tetapi film kedua ini justru kehilangan “greget”nya. Ceritanya sendiri memang sesuai dengan perkembangan umur karakternya, di mana Elle sedang berusaha mencari jati diri untuk menentukan kuliahnya; dan Noah yang menghadapi dunia kuliah yang tidak sama seperti SMA.

Di film kedua ini, Elle menjadi lebih “berisik” daripada film pertamanya, dan itu mengganggu. Film kedua terlalu bersusah-payah menyambung cerita dengan film pertama dan meniru kejutan-kejutan yang sama, sehingga otomatis sudah tidak seru lagi. Terlalu dipaksakan dan aneh ketika “Stan Ciuman” kembali diadakan, tetapi akhirnya juga hanya sebagai properti untuk menunjang kampanye LGBT, yang ceritanya sendiri tidak ada hubungannya dengan cerita utama! Sebut saja adegan teman Elle (yang aku sendiri sampai tidak ingat siapa namanya, karena tokohnya sebenarnya tidak penting!) yang comes up saat di Kissing Booth; adegan yang terlihat garing dan palsu.

Pemilihan DDR sebagai ajang kompetisi yang mengesampingkan “Kissing Booth” sendiri juga terasa kurang relevan dengan kondisi sekarang. Meskipun tidak dipungkiri, dance mereka sangat keren, para remaja pasti terpesona sama Taylor Z Peres. Bumbu yang baru dalam film kedua ini, tetapi membuat sutradara kehilangan fokus. Sejak kapan The Kissing Booth berubah menjadi film dance? Banyak adegan yang “nanggung” karena usaha penulis & sutradara untuk keluar dari klise tetapi malah membuat gelora film ini hilang. Durasi 131 menit juga terlalu panjang (lebih panjang 20 menit dari film sebelumnya).

Contoh Adegan yang “nanggung”.

The Kissing Booth 2 akan terasa menyenangkan ditonton jika memang kamu memiliki emotional attachment dengan para tokohnya dari prekuelnya atau suka melihat yang manis-manis. Bagaimana hati kita tidak meleleh, melihat Jacob Elordi seperti ini?

Selain eye candy ini, ada sisi positif yang bisa dipelajari dalam film ini, bahwa 1) kita harus kontrol emosi, belajar mendengarkan orang lain agar kita tidak terjebak dalam asumsi kita sendiri. 2) belum tentu yang kita anggap baik untuk orang lain, lalu kita tutupi, tidak akan membawa masalah lebih besar.

Kuberikan rating 6/10!

Mystic Pop-up Bar Review (2020)

Kisah “Mystic Pop-up Bar” ini perpaduan antara “Hotel del Luna” dengan “Hi, Bye Mama!”. Lima ratus tahun yang lalu, Wol-Ju (Hwang Jung-Eum) seorang anak yang memiliki kemampuan untuk melihat mimpi, melakukan kesalahan fatal sehingga ia dihukum untuk menyelesaikan 100,000 kasus. Ia membuka Kedai Mistis agar manusia yang punya masalah bisa datang ke situ, menceritakan masalahnya pada Wol-Ju, lalu bersedia minum alkohol istimewa, dan tertidur. Wol-Ju akan masuk ke dunia mimpi dan berusaha menyelesaikan masalah yang mengganjal. Wol-Ju diawasi oleh Manager Gwi (Choi Won-Young) yang bertugas mendampinginya. Tinggal 10 kasus lagi, maka target Wol-Ju akan selesai. Namun karena perubahan jaman, Kedai Mistis semakin berkurang pengunjungnya. Wol-Ju & Manager Gwi kesulitan untuk membuat orang mau bercerita pada mereka. Lalu mereka bertemu dengan Han Kang-Bae (Yook Sung-Jae) yang punya karunia aneh. Orang yang menyentuh Kang-Bae akan selalu ingin bercerita padanya tanpa kontrol. Mereka bertiga lantas membuat perjanjian untuk sama-sama mencapai keinginan mereka. Saat menyelesaikan kasus demi kasus, Kang-Bae menemukan banyak hal yang menyingkap masa lalu dan membuat mereka saling berkaitan dalam masa kini.

Chemistry mereka bertiga boleh juga.

“Mystic Pop-up Bar” ini adalah salah satu contoh cerita yang menurutku berantakan. Awal pembukaan film ini auranya serius, diperankan oleh Wol-Ju muda (Park Si-Eun) yang mukanya BEDA. Masalahnya, tidak seperti di “Goblin” yang kita bisa menerima bahwa orang-orangnya bereinkarnasi dengan muka beda; di “Mystic Pop-up Bar” ini tidak dijelaskan mengapa muka mereka jadi berbeda, padahal mereka tidak menjalani reinkarnasi. Tidak hanya mukanya yang beda, begitu “waktu” berpindah ke masa sekarang, Wol-Ju yang diperankan oleh Hwang Jeung-Eum menjadi orang dengan karakter yang berbeda 100%, membuat aura film ini menjadi komedi abis. Aura film yang jauh berbeda semakin membuatku susah menerima bahwa ini adalah Wol-Ju yang “sama”.

Konsep dunia mimpi yang terkait dengan kehidupan alam baka juga tidak masuk di akalku karena bukan hal yang familiar bagi budaya kita. Setelah aku menyelesaikan film, aku mendapat kesimpulan bahwa “dunia mimpi” dalam film ini adalah “dunia roh”nya kita. Kebingungan tentang hal ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya sebenarnya akan terjawab dengan sendirinya jika kita terus menonton sampai selesai. Namun tidak semua orang akan bertahan karena cerita yang sulit dipahami secara akal sehat, sekalipun ini cerita fantasi. Beda dengan Hotel del Luna/ Hi, Bye Mama/ Goblin yang sama-sama fiksi tentang reinkarnasi dan dunia mistis, tetapi konsep ceritanya kuat, sehingga penonton juga bisa menerimanya dengan baik. Kita harus bersabar sampai episode 5, baru ceritanya mulai bertambah seru.

Manager Gwi, bikin kita inget sama Goblin kan?

“Mystic Pop-up Bar” juga berusaha membuat banyak lelucon, sehingga komedinya bersifat konyol, jenis yang “bodoh”. Ada yang memang lucu, apalagi dibantu dengan sound effect yang kreatif (ini sih kelebihannya Korea lho, paling mengena suara-suara lucunya). Ada juga yang berlebihan, tidak sesuai dengan alurnya, dan merusak suasana. Drama yang ada dalam film ini, seperti kasus-kasus para manusia (dan arwah) memiliki makna yang dalam, karena mengenai kehidupan dan kematian, mirip dengan “Hi, Bye Mama!” sehingga berhasil membuatku mewek.

Baek Ji-Won memerankan Ms. Andong, salah satu kasus yang berkesan.

Di balik cerita yang berantakan, selain drama yang bermutu, kelebihan film ini ada pada para pemerannya. Hwang Jeung-Eum adalah salah satu artis yang aktingnya selalu totalitas. Aku suka aktingnya dalam “She Was Pretty”. Dalam film ini juga, ia tampil dengan sangat mempesona. Ia bisa membawakan emosi Wol-Ju yang galak tapi perhatian, menyebalkan sekaligus menyedihkan, dan tetap elegan meski di saat rapuh. Kalau yang memerankan bukan Hwang Jeung-Eum, mungkin film ini lebih ancur lagi. Baju-baju tradisional yang ia pakai bersanding dengan sneakers juga lucu-lucu. Deretan pemeran lainnya juga tidak kalah bagus aktingnya, dari yang konyol sampai yang serius jahat. Aku tidak akan menyebutkan pemeran lainnya, karena akan spoiler.

The Beautiful Wol-Ju (Hwang Jeung-Eum)

Is it Good for Your Soul?

Jika berbicara tentang “pesan” dalam film ini. Ada pesan baik, tetapi ada pesan buruk juga karena terlalu banyaknya “pengecualian” dan kelonggaran berkaitan dengan nasib alias dunia akhirat pada film ini, seolah-olah peraturan itu ada untuk dilanggar.Ceritanya juga terlalu memihak pemeran utama, sehingga happy ending sudah bisa dipastikan, meskipun tidak masuk di akal.

Film ini rating-nya memang untuk orang dewasa. Ada banyak adegan yang “gelap” karena ada adegan gantung diri dan muka hantu; meskipun tidak sebanyak di “Hotel Del Luna”, tetap saja menurutku bukan sesuatu yang menyenangkan untuk ditonton kamu-kamu yang tidak menyukai pemadangan tak sedap.

Bonus sampingan yang seru dari film ini adalah menu makanan atau minuman yang berganti-ganti menyesuaikan kasus orang yang mampir ke kedai. Efeknya: bakal pengen makan Korean Food yang mereka tampilkan, seperti mackerel bakar, tumis cumi pedas, dan pangsit.

13 Reasons of Why (Season 4) Review

“Thirteen Reasons of Why” adalah sebuah film serial yang mengangkat hampir semua isu negatif yang ada di dunia remaja Amerika. Aku sudah pernah mengulas Season 1-3, dan menobatkan serial ini sebagai “A-List” dari serial drama remaja Netflix yang sedemikian banyak. Season 1 diangkat dari sebuah novel, sementara Season selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Netflix. Tidak heran jika kualitas cerita Season 1 jauh di atas semua Season.

Aku bersyukur Netflix memutuskan untuk mengakhiri kisah fenomenal Clay Jensen dan teman-temannya di Season 4. Rasanya kisah tentang masa SMA tidak perlu dibaut sampai berlarut-larut. Tokoh-tokohnya berhak untuk lulus SMA. Itu adalah hal yang alamiah. Ekspektasi tinggi tentang Season 4 ini membuatku agak kecewa setelah menontonnya. Season 1 memang “Masterpiece” yang akan selalu membekas di benak penonton; beda dengan Season 4.

Konflik dalam 13RY memang semakin brutal di Season 3; dari suicide hingga pembunuhan. Rasanya tidak sehat menonton bagaimana dunia remaja bisa sekejam itu. Wajar jika 13RY banyak mendapat kritik karena dianggap terlalu kelam dan dapat memberikan inspirasi yang salah bagi para ABG yang jiwanya masih labil. Namun konflik yang ada di 13RY selalu seru untuk didiskusikan dan dibicarakan, apalagi tidak hanya menyangkut kekerasan fisik, tetapi juga kesehatan jiwa. Banyak isu mental illness dalam film ini, terutama kesehatan mental Clay Jensen, sebagai tokoh utama, yang terus memburuk dari Season 1, hingga puncaknya di Season 4.

Selanjutnya aku ingin menyampaikan “uneg-uneg”ku yang membuatku kecewa dengan film ini dan memberinya rating 6.

jadi…

SPOILER ALERT SPOILER ALERT SPOILER ALERT!!!!!!!

Pertama, menurutku 13RY Season 4 ini agak menurun intensitasnya dalam membawakan cerita. Walaupun memang ada beberapa episode yang menegangkan, seperti percobaan adanya bencana di sekolah. Tetapi sisanya, selama 10 episode, lebih banyak adegan-adegan yang tidak penting. Apalagi gaya penceritaan yang melompat dari tokoh satu ke tokoh yang lain tidak semulus Season sebelumnya. Seharusnya Season 4 ini tidak perlu dibuat 10 episode; daripada bertele-tele.

Selain itu, karakter yang sudah berkembang dengan baik dari Season 1-3, malah disia-siakan. Sebut saja Zach Dempsey, yang menjadi karakter sentral, malah di Season 4 ini dibiarkan cuma mengacau begitu saja. Buat apa memberikan durasi sebegitu banyaknya hanya untuk menunjukkan kalau Zach sedang dalam fase membuang-buang hidupnya?

Sejak awal aku juga sudah curiga kalau Justin akan jadi orang yang “mati” dalam Season 4 ini, karena awalnya terlalu tampak indah. Dia pulang dari rehabilitasi, terlihat gemuk dan sehat, lalu… memutuskan Jessica. Bagian ini yang paling tidak cocok dengan karakter Justin selama ini. Seperti yang kita tahu, Justin selalu diceritakan mampu berbuat apa saja demi Jessica. Bahkan hingga akhirnya di Season 4 juga ia kembali seperti semula. Lalu buat apa dipaksa pada awalnya untuk memutuskan Jessica? Sepertinya yang nulis bingung mau buat konflik apa.

Belum lagi tokoh lainnya, seperti Winston yang aku kira akan jadi salah satu karakter yang kompleks dan membuat cerita jadi berbobot. Ternyata ia berubah hanya menjadi pengejar cinta dan rahasia yang terlihat bodoh. Kemunculan Diego Torres sebagai “atlet” baru mungkin bisa diterima; walau terasa aneh karena tidak pernah ada di Season sebelumnya.

Karena Diego tidak pernah disorot di Season sebelumnya, aku sulit berempati ketika ia mengatakan bahwa ia mencintai Monty, dan sebagainya. Demikian pula dengan kemunculan karakter Estela sebagai adik Monty yang tidak jelas apa kontribusinya dalam jalan cerita, selain menambah-nambahi daftar karakter baru. Mungkin harapannya biar penonton tidak bosan.

Masalahnya, dengan begitu banyaknya karakter yang melekat di benak penonton, penulis film ini seperti kebingungan membagi peran yang adil bagi mereka semua. Tentunya semua ingin karakter yang mereka ciptakan dari Season 1 mendapatkan peran yang bermakna. Sayang sekali implementasinya malah berantakan. Dialog-dialognya juga banyak yang ngalor-ngidul tidak jelas dan memaksakan propaganda LGBT. Tiba-tiba bermunculan banyak pasangan gay dalam film ini.

Jessica yang sangat dominan dalam film ini justru kehilangan pesonanya. Jika dalam season sebelumnya ia bermetamorfosis dari gadis penakut jadi pemberani; dalam season ini ia terus-menerus dipaksakan untuk terlihat pemberani —- dan jadinya tidak keren. Karakter Ani yang pemerannya menerima cyber-bullying (ironis) juga terlihat “diselamatkan” oleh penulis agar tidak dibenci lagi oleh pemirsa; tetapi justru membuat karakternya jadi tidak penting dan lemah. Satu-satunya tokoh selain Clay Jensen, yang perkembangan karakternya paling masuk akal dan konsisten adalah Tony Padilla; dengan pergumulannya antara mempertahankan warisan keluarganya atau memperjuangkan masa depannya.

Hal yang tidak masuk akal dalam cerita ini justru dari Clay Jensen sendiri. Bisa dimengerti bahwa ia banyak kehilangan ingatan karena seolah-olah ia menjadi orang lain di saat itu.

Tetapi yang tidak masuk akal adalah sutradara film ini tidak mau susah-susah untuk menjelaskan kepada penonton apa yang sebenarnya Clay lakukan. Terutama di adegan gua, yang sampai sekarang tidak logis bagaimana Clay bisa punya cukup waktu antara keluar dari gua, mengumpulkan hadiah, mengganggu temanya di gubug, menyiksa Breecher, memporak-porandakan tenda tanpa ketahuan Ibu & Gurunya. Meskipun sesi konseling Clay dan dr. Elman adalah hal yang menarik bagi beberapa orang yang suka dengan isu kesehatan mental; tetapi harusnya bisa ditulis dengan lebih baik. 

Banyak adegan dalam film ini yang terlihat kasar cutting & editing videonya, seperti sinetron Indonesia saja. Sungguh hasil yang mengecewakan untuk 13RY. Untung audio film ini cukup mendukung; tidak terlalu dominan, tetapi memberikan efek yang berguna untuk menambah “gereget”.

Secara keseluruhan, 13RY Season 4 tidak terlalu brutal seperti Season 1-3, mungkin karena ini seperti “hadiah perpisahan” bagi para fansnya. Isu baru tentang teknology & privacy juga ide yang sebenarnya cukup bagus.

Akting para pemerannya sudah berkembang dibandingkan Season 1. Terutama Brandon Flynn sebagai Justin, yang aktingnya berhasil membuatku meneteskan air mata. Semua pemeran berhasil membawakan karakternya dengan baik. Jika penampilan mereka buruk, itu bukan karena akting mereka yang kurang bagus; tetapi karena penulisan cerita yang payah.

Akhir kata, Season 4 sudah selesai. Selamat tinggal, Clay Jensen, Jessica Davis, Tony Padilla, Alex Standall, Zach Dempsey, Tyler Down dan Justin Foley. Terimakasih sudah menemani selama 4 Season.

Resensi Film: The Huntsman: Winter’s War (2016)

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)”

The-Huntsman-Winters-War-Billboard-Art.jpg

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)” . Masih diperankan oleh Chris Hemsworth sebagai Eric, Sang Pemburu, kali ini fokus ceritanya bukan pada putri putih salju, melainkan flash-back cerita romansa Eric dengan Sara (Jessica Chastain), sesama pemburu. Cerita berlanjut dari flash-back menuju peristiwa pasca kalahnya Ratu Jahat, Ravenna (Charlize Theron); yaitu munculnya permasalahan baru: Cermin Ajaib ternyata mengandung kejahatan, bikin stress Snow White, dan harus diamankan ke suatu tempat bernama “Sanctuary”. Namun dalam perjalanan, cermin ajaib dicuri! Eric awalnya enggan menolong Snow White untuk menemukan Cermin tsb, tapi ketika mengetahui musuh lamanya, Queen Freya (Emily Blunt) yang membunuh istrinya akan menjadi lebih bahaya jika mendapatkan Cermin Ajaib; akhirnya Eric bersedia menerima misi menemukan cermin tsb.

“The Huntsman: Winter’s War” didukung dengan animasi, make-up, dan kostum yang indah; jadi pasti kita akan betah duduk manis dan mengagumi semuanya. Sayangnya, cerita film ini tidak ditulis dengan baik. Plot cerita yang klise, dialog yang monoton, menjadikan film ini terasa “murah”, meskipun sudah dibintangi oleh para artis mahal. Sebut saja duet Ratu: Emily Blunt & Charlize Theron yang membuat mata kita tidak bisa lepas dari mereka (flawless make-up + amazing gown!). Sebaliknya, pemeran utama, Chris Hemsworth tidak kelihatan keren sama sekali (lebih karena pembentukan karakter yang lemah). Bahkan akan membuat kita heran: kenapa The Huntsman harus menjadi tokoh utama dari cerita ini? Lebih parahnya lagi, kenapa harus ada kata “Winter’s War” di judulnya, yang ternyata sama-sekali kita tidak disuguhi adegan perang yang bagus? Intinya, merasa di-PHP (lebih tepatnya: diberi harapan palsu) oleh judul yang dipasang. Bisa dibilang, harapan kita sudah terlalu tinggi saat mendengar judul dan melihat trailernya — tapi ternyata tak seindah yang terlihat pada awalnya. LOL!

Masih masalah di karakter, antagonis film ini, yaitu Queen Freya, memiliki terlalu banyak kemiripan dengan Queen Elsa di Frozen. Meskipun memang mereka (mungkin) berasal dari dongen yang sama, hal ini sedikit mengganggu; karena ide dari film ini jadi terasa tidak terlalu orisinil. Walaupun begitu, think positively, selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari sebuah film. Di luar premise yang dikumandangkan oleh film ini sejak awal, bahwa “Cinta tidak membuatmu lemah, melainkan memberikanmu kekuatan”; ada makna yang lebih tepat: Jangan biarkan hatimu menjadi pahit — atau dalam kasus ini: dingin. Meskipun kita dikecewakan oleh seseorang atau suatu hal, jangan “generalisasi”, alias menganggap semua akan sama; karena pada akhirnya, bukannya kita akan puas karena berhasil balas dendam; malah semakin terluka. @ristiirawan

6 out of 10 stars!

 

 

Resensi Film: In the Heart of the Sea (2015)

Film tentang perjuangan hidup di tengah laut, setelah berhadapan dengan paus raksasa (yang anehnya, secara jenius punya dendam kesumat terhadap manusia). Film ini diangkat dari dongeng yang menginspirasi novel Moby Dick atau The Whale (1851); kisahnya sendiri terjadi pada tahun 1820, di mana manusia menggunakan minyak paus sebagai bahan bakar lampu. Baru beberapa dekade setelahnya, manusia mengebor tanah untuk mendapatkan minyak (it mentioned in the end of the movie).

Film In the Heart of the Sea mengingatkanku akan film Life of Pi (2012), yang diangkat dari novel tahun 2001. Sama-sama menaruh anak laki-laki sebagai tokoh utamanya, bersama beberapa orang terpaksa berada di sekoci setelah kapal tenggelam, mampir di pulau aneh, serta terpaksa makan (ew!) temannya untuk bertahan hidup. Bedanya, di Life of Pi teman-temannya adalah harimau bengal, hyena, zebra dan orang-utan; yang bisa jadi adalah perumpamaan dari manusia-manusia yang ada di sekoci bersama si bocah. I guess Yann Martel (the writer of Life of Pi) & Herman Melville (the writer of Moby Dick) inspired by the SAME true story.

In the Heart of the Sea menceritakan Herman Melville (Ben Whishaw), mendatangi Thomas Nickerson (Brendan Gleeson) untuk mendapatkan inspirasi novelnya. Thomas adalah satu-satunya awak kapal Essex yang masih hidup. Essex adalah salah satu kapal pemburu paus, yang akhirnya tenggelam secara misterius, dan hanya sedikit dari awak kapal yang kembali hidup-hidup. Tenggelamnya Essex diceritakan akibat diserang oleh paus putih raksasa. Paus ini unik, karena tidak seperti paus pada umumnya, selain lebih besar, paus ini juga seperti punya tujuan untuk membalas-dendam.

Ceritanya sederhana dan bagus, dibawakan dengan narasi yang cukup telaten. Namun sutradara Ron Howard gagal menyajikan ketegangan yang semakin mengendor di paruh akhir film. Setelah klimaksnya (hancurnya kapal oleh si paus), alur cerita menjadi bertele-tele, dan tidak lagi seru untuk diikuti. Audio dan visualnya pun terasa biasa saja, kurang terasa menggelegar jika mengingat bagaimana seharusnya badai heboh di tengah laut (haha, seperti saya pernah merasakannya saja! :p). Sayang, padahal aktor yang dipakai sudah hebat-hebat, sebut saja Chris Hemsworth sebagai Owen Chase, Benjamin Walker sebagai Capt. Pollard, dan Cillian Murphy sebagai Matthew Joy, dan Tom Holland sebagai Nickerson kecil. Bahkan para pemeran pembantu dan figuran pun sudah sangat menjiwai, dari mimik wajah dan gerakan tubuh saja kita sudah bisa ikut merasakan lelah dan putus-asanya mereka di tengah laut.

Film  jenis seperti ini memang banyak menyodorkan pesan kehidupan; dari yang jelas-jelas disampaikan: JANGAN SERAKAH, sampai hikmat yang tersirat lainnya. Yang pasti, film ini tidak cocok buat yang mabuk laut & phobia lihat orang muntah. Plus yang tidak suka film dengan visual yang kurang indah. Saya sendiri sungguh tidak tega melihat para paus itu diburu  *tears*.

Nilai: 6/10 @ristiirawan.

Resensi Film: Pan (2015)

Budget besar dan nama-nama besar belum tentu menjadi jaminan suatu film akan sukses di pasaran. Studio Warner Bross dan sutradara Joe Wright mengangkat kisah Neverland yang setia terhadap buku aslinya. Memang kisah Peter Pan ini adalah salah satu dongeng yang tidak lekang oleh waktu, terus-menerus difilmkan dalam berbagai versi. Pan kembali menceritakan kisah Peter Pan dari sangat-amat awal sekali.

MV5BMzk2MDg5MDczMl5BMl5BanBnXkFtZTgwNTE2NjYyNjE@._V1_SX214_AL_

Dibuka dengan adegan sosok perempuan muda nan cantik (Amanda Seyfried) yang menaruh bayinya, Peter (Levi Miller) di depan panti asuhan anak laki-laki. Ketika Peter berusia 12 tahun, ia masih yakin bahwa Ibunya akan menjemputnya. Tetapi yang menjemputnya justru kapal terbang ajaib yang dinahkodai oleh Kapten Blackbeard (Hugh Jackman). Kapal ini dengan ajaibnya membawa mereka semua ke suatu negara, yaitu Neverland. Ternyata kondisi Neverland sedang kritis, karena kaum peri hampir punah diburu oleh Blackbeard, yang menjadikan seluruh Neverland sebagai tambang untuk mencari Pixum (debu peri). Untung masih ada pribumi yang melindungi dan menyimpan rahasia peta letak sarang peri berada. Konon, ada ramalan yang mengatakan bahwa suatu hari nanti, anak yang bisa terbang akan mengalahkan Blackbeard. Peter berteman dengan Hook (Garrett Hedlund) untuk kabur dari kekuasaan Blackbeard, dan bertemu dengan putri pribumi Tiger Lily (Rooney Mara) yang membantu Peter untuk mencari Ibunya, sekaligus mengalahkan Blackbeard.

Bisa dikatakan, film ini sudah kehilangan pesonanya sejak Levi Miller berbicara. Entah apa yang membuat Levi Miller terpilih menjadi Peter, yang pasti ia gagal untuk menggerakkan emosi penonton. Aktingnya masih mentah, dan tidak dibantu juga oleh naskah film yang kaku. Hugh Jackman memang berusaha keras untuk menghidupkan sosok Blackbeard yang menyeramkan, tapi jadinya justru malah terlihat “lebay”, alias berlebihan dan tidak alamiah. Untunglah Garrett Hedlund sebagai Hook malah charming; dan Rooney Mara juga tampil keren dengan bela-dirinya. Neverland yang seharusnya penuh hal-hal ajaib yang mempesona juga terlihat biasa saja dan tidak natural.

Setidaknya, itulah yang akan dirasakan oleh penonton dewasa: film yang aneh. Mungkin bagi anak-anak, mereka akan lebih terpukau dengan pemandangan penuh efek & CGI yang tersaji. Tidak heran jika film ini menghabiskan budget besar. Soundtrack yang ada sebenarnya sangat mendukung, malah sebenarnya akan lebih bagus jika film ini dibuat sebagai semi-musikal; karena elemen-elemennya sudah ada. Baiklah, kita semua paham jika film ini adalah fiksi, tetapi setidaknya tim produksi perlu membuat fiksi yang ada “jangkar”nya, alias lebih terasa natural; dan tidak seperti sedang berpura-pura atau melihat panggung badut. Lebih berfokus membangun naskah dialog yang lebih baik, dibandingkan menghamburkan budget di properti, setting, dan artis terkenal yang terbukti tidak efisien untuk menjadikan film ini bagus. Secara keseluruhan, nilai 6 diberikan karena visual-audionya saja. Tidak sebagus film Peter Pan lainnya. @ristiirawan

Resensi Film: Pixels (2015)

Inti film yang disutradarai oleh Chris Columbus ini adalah alien yang salah tangkap tentang rekaman lomba game yang dikirimkan ke luar angkasa, sebagai percobaan komunikasi antara NASA dengan alien. Ternyata, alien memang ada, dan mereka beroperasi seperti game-game yang dikirimkan tersebut. Sebut saja “pac man”, “asteroids”, “donkey-kong”, dsb. Good news: mereka tidak membunuh. Bad news: mereka menculik dan mau memusnahkan bumi jika kita kalah bertanding dengan mereka.

pixel 1

Melihat pemain utamanya saja, yaitu Adam Sandler (Brenner), kita sudah tahu bahwa film ini pasti banyak lucunya. Brenner adalah salah seorang juara arcade game yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bermain game, tapi kemampuan tersebut tidak berguna di kehidupan nyata. Begitu juga dengan temannya, Ludlow (Josh Gad) yang juga seperti hidup dalam dunia mimpi; dan saingannya Eddie (Peter Dinklage) yang berakhir di penjara. Hanya sahabatnya, Cooper (Kevin James) yang menjadi presiden. Ketika alien yang suka bermain game ini menyerang, mereka harus bekerjasama dengan pemerintah, pasukan bersenjata, dan dibantu ilmuwan Violet (Michelle Monaghan). Dari segi karakter, casting-nya sudah cukup cocok dan meyakinkan. Mereka diam saja sudah “konyol”, jadi OK lah untuk sebuah film komedi.

Alur ceritanya bisa dibilang tidak terlalu logis, terkesan seperti sekadar nostalgia. Setidaknya, bagi yang mengerti tentang game-game tahun 1980an, pasti bisa menikmati film ini. Seperti perasaan tokoh di dalamnya, yang bahagia karena game mereka menjadi nyata — mungkin perasaan gamers juga seperti ini, karena game favoritnya dihidupkan di layar lebar. Sayang sekali tidak semua penonton bisa menyukai film ini. Bagi yang tidak mengerti permainan yang ada di film ini, jelas akan bosan. Adegan pertarungannya antara manusia dan alien ini juga datar. Bahkan pada akhirnya, kita akan lupa kenapa alien-alien ini begitu semangat bertandang ke bumi. Apakah hanya karena ingin bermain-main?

Secara audio dan visual, efeknya tidaklah buruk. Bahkan boleh dibilang unik, karena setiap aliennya menyerang, segala yang hancur berubah menjadi kubus-kubus yang berkilauan. Hasilnya terlihat cantik. Si Q*bert yang muncul sebagai trofi juga terlihat lucu & menggemaskan. (Kalau para kaum pria, pasti suka dengan Lady Lisa). Secara keseluruhan, film ini bisa dinikmati, tapi tidak meninggalkan kesan mendalam. Bahkan film ini cenderung membosankan di tengah, karena ceritanya sendiri yang kurang istimewa. Overall 6/10 @ristiirawan.

MESSAGES BEHIND THE MOVIE:
* Good: Jangan terpaku pada kegagalan yang pernah terjadi. Jangan pernah berkecil hati dengan diri kita sendiri, karena justru itulah yang akan membuat kita gagal untuk meraih hal yang besar.

* Bad: Bermain game tidaklah buruk, bahkan mungkin bisa menyelamatkan dunia. (You’ve gotta kidding me!)

NB. Agak kurang cocok ditonton oleh anak kecil.

Resensi Film: Comic 8: Casino Kings (2015)

Comic 8 adalah salah satu film Indonesia yang saya tonton dahulu dan cukup menghibur. Sekuelnya Comic 8: Casino Kings muncul dengan trailer yang cukup menjanjikan. Rilis di bulan liburan, dipastikan film ini cukup akan laris manis bersaing dengan yang lain.

image

Comic 8: Casino Kings masih memasang banyak pemain yang sama, hanya ada 2 pemain yang tidak kembali. Cerita lanjutan dari ke-8 agen rahasia yang menyamar jadi komedian disebut “comic 8” yaitu Ernest, Arie, Fico, Bintang, Mongol, Kemal, Babe dan Ge (menggantikan Mudy). Mereka dipimpin oleh Indro & Candil. Setelah sukses merampok Bank INI, kali ini mereka harus mencari “The King” raja judi terbesar & kasinonya. Seperti kucing-kucingan, pihak berwajib (Dea Ananda, Boy William, Prisia Nasution) sedang berusaha menangkap mereka & mengungkap siapa bos mereka. Sementara itu musuh lama mereka, Panji dan asistennya Hercules & Nikita dibebaskan oleh anak buah “The King” yang sengaja membawa mereka ke sebuah casino di pulau mewah sebagai tamu. Namun comic 8 terpedaya, mereka pingsan dan ketika bangun, mereka dikelilingi buaya! Setelah beberap Hm… terinspirasindari Hunger Games?a dari mereka lolos dari buaya, mereka harus berhadapan dengan “The Hunter” yang serunya diperankan oleh artis-artis senior yang tidak biasanya main di genre komedi. Hm.. terinspirasi dari Hunger Games?

Banyak perbaikan yang bagus di Comic 8: Casino Kings ini. Efek visual & editing film jelas perlu dihargai, terutama adegan berdarah dengan para buaya yang sangat lumayan untuk ukuran film Indonesia. Setting tempat, properti, dan kostum juga tampak lebih bermutu dari yang dulu. Secara latar belakang, jelas film ini mengingatkan kita akan view hedonisme yang sering muncul di film-film Hollywood. Kerja keras tim produksi patut diberikan applause!

Sutradara Anggy Umbara tidak meninggalkan gayanya yang bermain dengan timeline & plot cerita yang melompat-lompat. Sayangnya kali ini “the missing link” yang dihidangkan justru membuat suasana jadi dingin. Bagi yang belum menonton film pendahulunya, pasti banyak hal yang tidak dipahami. Plot ceritanya menjadi agak sedikit membingungkan: Mengapa comic 8 harus mencari the king & casinonya? Apa peran yang dilakukan oleh Agus & Candil ketika mengambil petanya? Kenapa comic 8 merekrut banyak anggota baru (yang tiba-tiba sudah ikut dalam perjalanan)? Banyak hal yang tidak dijelaskan, malah yang tidak penting terlalu ditambah-tambahkan sehingga humor saja tidak cukup untuk mengalihkannya. Ya, memang para artisnya lucu, dialognya kocak. Tapi itu tidak mengherankan, karena film komedi memang harus lucu. Kalah hanya sekedar lucu & ceritanya kurang nyambung, tidak perlu dijadikan film, tonton stand-up comedy saja cukup.

Ketika menyaksikan trailer “part 2” yang disisipkan di belakang, ada perasaan bahwa mereka “save the best for the last” alias seru-serunya disimpan untuk part 2. Strategi promosi film ini cukup baik, dan memastikan part 2 tidak kekurangan penonton. Namun menyisakan rasa “garing” untuk part 1. Rasanya seperti part 1 ini adalah film berdurasi 30 menit yang dipanjang-panjangkan jadi 102 menit hanya untuk kepentingan bisnis. Sekuel yang ini tidak sebagus pendahulunya. Semoga film ke-3nya bisa lebih bagus. Oh ya, film ini mengandung humor yang jorok, jadi kurang cocok ditonton anak-anak. Overall score 6/10 @ristiirawan

Resensi Film: Di Balik 98 (2015)

image

Ekspektasi akan sangat mempengaruhi penilaian kita terhadap suatu film. Apalagi film dengan tema sensitif seperti “Di Balik 98” ini. Seperti yang tercatat dalam sejarah kelam bangsa kita, di tahun 1998 terjadi krisis moneter, kerusuhan, dan reformasi. Entan apa yang membuat Lukman Sardi memilih tema ini untuk dijadikan film, karena tentu rintangan sangat berat — tidak hanya secara teknis tapi juga dari segi politik dan moral. Dengan “besarnya” sejarah 98 tsb, tentu banyak ekspektasi penonton yang memuncak. Belum termasuk ekspektasi “sepele” yang mungkin (mungkin lho ya) hanya ingin menonton aksi Boy William. Apapun ekspektasinya, hasil akhirnya terpengaruh.

Paruh awal film dibuka dengan cukup menarik, menceritakan berbagai sudut pandang dari kehidupan di tahun 1998. Kaum mahasiswa diwakili oleh Diana (Chelsea E. Islan) & Daniel (Boy William). Daniel mewakili kaum minoritas ganda: sudah cina, nasrani pula. Sementara Diana punya keluarga yang bertentangan paham dengannya: kakaknya Salma (Ririn Ekawati) mewakili kaum pegawai istana, sementara suaminya Bagus (Donny Alamsyah) yang tentara, mewakili unsur militer. Bahkan ada Ayah (Teuku Rifnu Wikana) & putra (Bima Azriel) pemulung, mewakili kaum kecil.

Jika Lukman Sardi mau lebih konsisten dengan pernyataannya, bahwa film ini bukan film sejarah melainkan film drama fiksi yang berfokus ke keluarga, percintaan, dan kegelisahan; mungkin seharusnya porsi sejarah dalam film ini tidak diberi terlalu banyak. Kenyataannya, paruh belakang film penonton dibuat menonton rekaman sejarah tentang proses reformasi. Memang, aktor-aktor yang memerankan Soeharto, Habibie, Harmoko, dan politikus lainnya patut diakui usahanya dalam menirukan tokoh-tokoh tsb — meski jadi terkesan seperti komedi. Bagian make-up juga sudah terlihat bekerja keras untuk membuat mereka mirip dengan aslinya. Namun, akibat porsi “lebih” adegan politik inilah yang membuat film Di Balik 98 seperti dua film berbeda yang dipaksa dijadikan satu. Wajar saja jika kemudian banyak protes dari para politikus maupun aktifis yang memang pernah terlibat di dalamnya — ya karena mereka diberikan bahan untuk diprotes. Akhirnya para pemeran yang politik ini lan yang jadi lebih berkesan.

Dalam menggerakkan hati penonton, sebenarnya Di Balik 98 punya modal besar. Contoh saja, saya sendiri yang mengalami kerusuhan 98 (tapi di kota Solo), jantung saya saja langsung berdebar menyaksikan adegan yang mengancam kaum minoritas ganda. Bukan semata karena filmnya, tapi karena kenangan buruk yang sudah ada di ingatan. Hal ini bisa menjadi bagus tapi menyakitkan. Mungkin karena menyadari hal ini lah, sehingga Di Balik 98 justru menjadi sangat berhati-hati untuk membuka “luka lama” ini. Sayangnya, dalam dunia perfilman, “jika kita mau main air ya harus berani basah”, alias kalau takut-takut jadinya ya tidak memuaskan. Kerusuhan yang ditayangkan, terutama adegan trisakti, terasa hanya lewat dan kurang greget. Padahal di kepala sudah kebayang betapa mencekamnya suasana saat itu. Lagian ini film, kenapa kejadian nyatanya justru jauh lebih seram daripada filmnya?? Selain itu, efek suara sama sekali tidak mendukung, padahal penting dalam menciptakan momen kejutan. Musik ilustrasi juga terlalu hemat, terus-menerus sama seperti dalam sinetron saja (saya berharap lebih!).

Jangan mengomentari sisi politiknya, tidak perlu dikatakan kalau film ini penuh pencitraan juga. Baik itu Soeharto, Wiranto (Did he really say, “jangan sampai jatuh korban lagi”?!), Habibie, Harmoko semuanya terkesan “baik” di film ini. Sah-sah saja itu dilakukan, karena jika sebaliknya mungkin Di Balik 98 tidak akan pernah bisa tayang. Kekurangannya, karena semuanya “baik” itu tadi sehingga kita tidak punya “musuh” di film ini, maka terasa semuanya panggung sandiwara belaka (dan memang iya sih). Secara keseluruhan, film seperti ini tetap harus diapresiasi dan sangat jauh layak tonton daripada film Indonesia lainnya. Nilai saya 6/10 @ristiirawan.

MESSAGES

* Satu adegan yang paling mengharukan adalah adegan terakhir bocah pemulung yang diperankan Bima Azriel. Sedih bangeeeeet…. . Dari cerita mereka pun kita juga bisa ingat, bahwa ketika yang lebih pintar ribut-ribut urusan negara, kaum yang terbelakang ini tidak peduli karena untuk makan saja mereka susah. Ironisnya, pada akhirnya mereka tetap selalu menjadi korban.
* Orang yang “jahat” di mata kita belum tentu jahat di mata orang lain. Ketika koruptor besar ini digulingkan kekuasaannya, tetap ada orang-orang yang menangis untuknya. Sebaliknya, orang yang “baik” belum tentu tulus. Manusia itu kompleks.
* Dialog Diana-Daniel yang terakhir juga berkesan — untunglah percintaannya tidak mainstream — bahwa anak-anak bangsa adalah amanat yang dititipkan pada kita. Didiklah anak bangsa kita dengan benar, maka reformasi yang sesungguhnya baru terwujud. Hai para guru, bersemangatlah! ^^

Resensi Film: Project Almanac (2014)

MV5BMTUxMjQ2NjI4OV5BMl5BanBnXkFtZTgwODc2NjUwNDE@._V1_SX214_AL_

“Time Travel” alias perjalanan waktu adalah tema yang selalu menarik untuk dijadikan cerita. Sutradara Dean Israelite lewat filmnya “Project Almanac” membuat kisah petualangan ke masa lalu yang lebih muda dan modern.

Cerita dimulai dari seorang remaja jenius bernama David Raskin (Jonny Weston) bersama sahabat-sahabatnya, Quinn (Sam Lerner) & Adam (Allen Evangelista), serta adiknya Chris (Virginia Gardner) yang terbiasa “merekam video” semua yang terjadi. Secara tak sengaja, mereka menemukan blueprint mesin waktu buatan Ayah David. Dalam prosesnya, tidak sengaja mereka melibatkan Jessie Pierce (Sofia Black-D’Elia), seorang cewek populer yang menjadi love interest David.

Project Almanac setidaknya sudah memulai dengan benar, mencerminkan tindak-tanduk remaja yang alamiah, dan semestinya yang mereka lakukan jika remaja yang menemukan mesin waktu. Sisi ilmiah juga digambarkan dengan baik, tanpa membuat penonton awam kebingungan atau terlalu berat dengan istilah-istilah fisika. Namun sayangnya, ketegangan cerita muncul terlambat, ketika film sudah berjalan lebih dari 1 jam, baru-lah inti dari ceritanya diangkat. 30 menit akhir film sebenarnya menarik, ketika rantai-reaksi mulai terjadi, dan permasalahan mulai muncul kurang dieksplor. Penonton seakan belum meresapi apa yang sebenarnya terjadi, dan film sudah harus berakhir. Hal yang terjadi ini membuat adegan-adegan Loollapooza menjadi terasa terlalu panjang dan tidak penting.

Secara keseluruhan, para pemeran film ini mampu menempati posisinya dengan baik. Alur cerita tersusun dengan baik pada awal film, tapi tidak mampu menciptakan klimaks; sehingga makna dari cerita ini menjadi hambar. Teknik kamera goyang sebenarnya cukup konsisten, tidak ada bagian yang hilang. Namun teknik ini tidak selalu diterima oleh penonton, karena bisa membuat pusing (so be careful). My score is 6/10. @ristiirawan

MESSAGES
Segala cerita perjalanan waktu hanya menggambarkan bahwa seberapa manusia ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki sesuatu; tetap hasilnya tidak bisa “lebih baik”. Bahkan sering yang terjadi adalah rantai-reaksi yang semakin rumit. Intinya adalah manusia tidak bisa memutar-balikkan waktu. Meskipun bisa pun, belum tentu yang kita perbaiki berakhir sesuai yang kita harapkan.

header