Resensi Film: The 5th Wave (2016)

Tagline meyakinkan, trailer mempesona, artis utama terkenal; tapi.. semuanya hanya bertahan sampai “4th wave” alias gelombang ke-4. The 5th wave ternyata adalah sebuah cerita tentang kiamat yang membosankan, dan sepertinya dibuat khusus untuk anak-anak dan remaja. Ide ceritanya sendiri terlalu mirip dengan The Host karya Stephanie Meyer.

Bercerita bahwa muncul sebuah kapal luar angkasa yang super besar dan mengitari bumi; lantas kapal tsb mengeluarkan gelombang pertama, yang mematikan seluruh listrik & mesin di bumi. Gelombang ke-2 adalah tsunami. Gelombang ke-3 adalah wabah flu burung. Gelombang ke-4 adalah mereka seperti parasit yang bisa masuk dan mengendalikan manusia. Dengan ke-4 gelombang yang nyaris membuat manusia punah, maka manusia yang tersisa sangat ketakutan dengan gelombang ke-5 — yang entah apa.

*SPOILER ALERT!!!* *SPOILER ALERT!!!* *SPOILER ALERT!!!*

Lanjutan ceritanya, Cassie (Chloe Grace-Moretz) yang mengungsi di kamp bersama Ayah dan adiknya akhirnya diselamatkan oleh Angkatan Darat yang memboyong anak-anak duluan demi alasan keselamatan. Ternyata malah Angkatan Darat tsb menyerang dan membunuh semua pengungsi, aneh bukan? Jika belum cukup mencurigakan dan membongkar cerita; lantas anak-anak tersebut disuntik oleh pelacak dan dilatih untuk menjadi prajurit. Anak-anak? jadi prajurit? Masuk akal kah manusia yang putus asa sempat-sempatnya melatih anak-anak untuk berperang?

Nah, ketika semua plot terbuka, bahwa pelacak tsb justru yang membuat mereka melawan manusia yang tidak dihinggapi parasit; ceritanya jadi semakin tidak masuk akal. Alasan mereka menggunakan anak-anak adalah karena mudah dimanipulasi. Pertanyaan besarnya: Jika alien tsb dengan canggih mampu mendatangkan gelombang elektromagnet, tsunami, wabah burung, bahkan sampai menyusup; untuk apa susah-susah menggunakan anak-anak untuk melawan manusia yang tersisa? Tidak cukup hebatkah mereka?

Dalam hal cerita, The 5th Wave masih kalah jauh dengan Stephanie Meyer. Bahkan dramanya saja cukup memuakkan. Ketika seorang gadis sudah hampir mati, muncullah pria ganteng yang memiliki kemampuan super karena ia adalah separuh alien. Tidak adakah alur cerita yang lebih tidak mudah tertebak? Efek visualnya sebenarnya tidak terlalu buruk; tapi dengan cerita yang tidak bermutu, film ini jadi terasa hambar. Nilai 4/10 @ristiirawan.

 

 

 

Resensi Film: Sunshine Becomes You (2015)

Buat review film indonesia, harus menurunkan standar. Tapi tetap saja, kalau mau dinilai jujur, “Sunshine Becomes You” ini durasi filmnya kelamaan, dialognya kepanjangan, editing filmnya maksa, dan castingnya parah.

Ceritanya sendiri diadaptasi dari novel Ilana Tan berjudul sama. Setting lokasi di New York, diceritakan Ray Hirano (Boy William), seorang dancer keturunan Indonesia-Jepang sedang naksir Mia Clark (Nabila JKT48), anak adopsi dari pasangan Indonesia-Amerika. Tak sengaja, Mia justru menabrak Alex Hirano (Herjunot Ali), kakak dari Ray yang terkenal killer dan perfeksionis, dan mematahkan tangannya (tapi di dalam salah satu dialog sempat terucap “terkilir” — entah yang mana yang benar, Pak Sutradara?); padahal Alex adalah seorang pianis kelas dunia. Mia merasa harus bertanggung-jawab dan menjadi asisten Alex yang mengurus semua kebutuhan. Lanjutannya? Bisa ditebak, terjadi love-triangle.

LANJUTAN REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER.
*SPOILER ALERT*

Ternyata kisah pasangan yang dipisahkan oleh maut, karena salah satunya sakit; masih menjadi cerita yang laris untuk terus dijadikan bahan. Kali ini, Mia yang top dancer lulusan Julliard, mengidap sakit jantung; dan tentu saja pada akhirnya mati; meninggalkan Alex yang menulis lagu untuk Mia.

Secara segi cerita, layaknya novel-novel drama picisan, sudah pasti ceritanya mudah ditebak. Tapi novel Ilana Tan mungkin memiliki kekuatan karena “untuk dibaca”, sementara dalam film ini, naskahnya menjadi terlalu membosankan karena bertele-tele. Belum lagi karena para pemerannya seperti sedang memuntahkan hafalan mereka dalam kalimat-kalimat panjang. Tidak dibantu juga dengan editing film yang maksa, berusaha keras meyakinkan penonton bahwa semuanya terjadi di New York. Juga adegan bermain piano, semuanya pasti tahu kalau Herjunot Ali tidak benar-benar bermain piano, apalagi ada sound yang berbeda dari apa yang kelihatan di layar. Belum lagi tiap scene yang seharusnya romantis, tapi malah menjadi monoton.

Yang paling parah dari semuanya justru adalah casting pemeran wanita. Jika kita bicara tentang dancer, apalagi lulusan terbaik dari Julliard, sudah pasti bisa dibayangkan kalau ia adalah wanita yang pasti berlatih setiap saat setiap waktu; dan memiliki postur tubuh seorang penari. Well, bukan menghina Nabilah JKT48, karena pasti ia sudah berusaha keras, tapi jelas ia secara fisik tidak cocok memerankan tokoh tsb; jadi salah siapa? Mungkin ia akan bagus memerankan tokoh lain, tapi tidak sebagai penari profesional. Bahkan tariannya tidak cukup bagus. Sorry to say, saya sudah pernah melihat banyak penari Indonesia yang menari JAUH lebih bagus daripada di film ini (yang katanya lulusan Juliard). Menurut saya, jika ingin membuat film yang tokohnya adalah seniman (penari, pemusik, pelukis, dsb); seharusnya cast juga dipilih yang benar-benar MAMPU berakting sesuai tuntutan. Termasuk yang editing video-sound, harus PAHAM tuts apa yang bunyi jika dipencet di piano.

Nilai: 4/10 @ristiirawan

Resensi Film: Sabotage (2014) – spoiler alert!

sabotage

Arnold Schwarzenegger sepertinya masih terus laku membintangi film-film aksi, meskipun sejauh ini belum berhasil meraih kembali popularitasnya seperti era Terminator. Kali ini ia berperan sebagai Breacher (Arnold Schwarzenegger) pimpinan anggota elit DEA yang menjalankan misi untuk mencuri uang dari kartel narkoba. Anggota tim ini terdiri dari Monster (Sam Worthington), Sugar (Terrence Howard), Neck (Josh Holloway), Grinder (Joe Manganiello), Lizzy (Mireille Enos), Pyro (Max Martini), Tripod (Kevin Vance), Smoke (Mark Schlegel). Malangnya, uang 10 juta tersebut hilang tanpa diketahui siapa yang mengambilnya. Semua tuduhan kepada Breacher juga tidak terbukti, sehingga akhirnya ia dan timnya kembali memperoleh lencana. Kepercayaan anggota tim tidak kembali seperti semula, karena mereka saling curiga bahwa pencuri uang tersebut adalah salah satu dari mereka. Namun secara misterius, satu-persatu anggota timnya dibunuh dengan sadis. Detektif Caroline Brentwood (Olivia Williams) pun turun tangan untuk menyelidiki pembunuhan ini. Kecurigaan di dalam tim tersebut juga membuncah: apakah ini perbuatan dari kartel narkoba atau salah satu dari anggota tim?

hero_Sabotage-2014-1

Sabotage bukanlah film yang enak dipandang mata, karena nyaris tidak ada pemeran usia muda. Hanya Sam Worthington sebagai “Monster” yang terlihat masih segar tanpa keriput. Entah apakah sutradara David Ayer dan penulis Skip Woods memang menargetkan penonton usia tua untuk film ini? Yang pasti, strategi marketing dengan pemeran yang nyaris semuanya artis tua ini tidaklah membantu. Harus setidaknya ada pemandangan yang sedap dipandang mata, dan bukan hanya menjadi “nostalgia”.

12679044075_4a95b13b18_o
Olivia Williams & Arnold Schwaznegger

Plot cerita sejak awalnya sudah tidak cukup kuat. Apakah yang sedang terjadi? kenapa anggota elit DEA harus mencuri uang 10 juta? Bahkan di akhir cerita, Lizzy menceritakan bahwa mencuri uang adalah usul dari Breacher. Kalau memang itu adalah usul dari Breacher, sebenarnya apa tujuan utama dari misi DEA tersebut? Apakah untuk mencuri uang — yang katanya itu adalah usul dari Breacher? — atau untuk menangkap kartel narkoba? Sampai akhir film pun kita tidak tahu : apa sih misi mereka?

Kemudian setelah uangnya hilang, tentu akan timbul pertanyaan selanjutnya : siapa yang mencuri uang tersebut? Lucunya, sampai di bagian akhir cerita, kita justru tidak dipertontonkan BAGAIMANA caranya Breacher bisa mengambil uang tersebut. Motivasi Breacher untuk mengambil uang tersebut demi menemukan pembunuh keluarganya juga terasa kurang kuat, karena sampai akhir kita tidak paham mengapa uang tersebut bermain penting? tidak ada informasi yang disampaikan ke penonton. Oke, kita bisa tahu kalau uang tersebut digunakan untuk menyuap informasi dari polisi Mexico. Hanya untuk uang suap?? Seorang anggota DEA tentunya bisa berbuat lebih dalam membalas dendam, daripada sekadar “menyuap”. That’s not logic!

Saat mulai seru-serunya menebak siapa pembunuhnya, di bagian yang harusnya klimaks. Tiba-tiba sang sutradara membuka begitu saja bahwa Lizzy adalah pembunuhnya. WHAT?! Lantas untuk apa dari awal sampai akhir identitas pembunuh disembunyikan, jika pada akhirnya kita tidak perlu berpikir, karena pembunuhnya sudah diperlihatkan dengan sendirinya? Benar-benar bukan penyelesaian yang cerdas.Lebih ironisnya lagi, kesatuan tim mereka hancur oleh kecurigaan yang terlalu dilebih-lebihkan sisi sadisnya. Ketika pembunuhan ini terjadi di dalam tim dengan beringas seperti itu, mungkin para anggota DEA ini perlu dites kesehatan mentalnya. Kecanggihan agen DEA juga tidak terlihat dalam film ini, bahkan cenderung seperti mereka sedang bermain paintball saja.

Tim DEA
Tim DEA

Jadi sudah jelas bahwa Sabotage terlalu menumpukkan tanggung jawab kepada Arnold. Jelas suatu strategi yang buruk, mengingat penampilan Arnold sendiri sudah tidak sekeren jaman mudanya. Plot cerita yang berantakan juga turut menyeret seluruh film ini menjadi tipuan belaka.  Pendalaman karakter yang seharusnya bisa dibuat lebih tajam dan menjual, justru sangat lemah dalam film ini, membuat semua anggota elit DEA ini hanya tampak seperti orang-orang sakit jiwa yang haus darah. Kasihan sekali para artis yang sudah bersusah-payah mencoba memberikan nyawa bagi tokoh ini, karena toh pada akhirnya apa yang mereka perbuat tidak menyumbang keberhasilan karena bobroknya naskah yang ditulis Skip Woods & David Ayer. My score is 4/10. @ristiirawan

 

Review : 3 Days To Kill (2014)

Image

Seorang agen CIA senior yang gagal dalam menyelesaikan misi terakhirnya. Di saat itulah ia justru didiagnosa terkena kanker dan hanya memiliki sisa hidup sedikit. Ketika bermaksud untuk kembali rukun dengan keluarganya, ternyata sang agen tidak bisa lepas dari misi tersebut. Ia terpaksa terus bekerja, dalam artian : membunuh orang, demi iming-iming obat ajaib. Begitulah premis singkat yang disajikan dalam film 3 Days To Kill. Bukan sebuah premis segar yang menjanjikan, karena sudah banyak sekali film mengenai agen rahasia, dari berbagai macam sudut cerita dan intrik persoalan. Kekuatan film ini sendiri terletak pada bintang utamanya, yaitu Kevin Costner yang sukses membintangi banyak film seperti The Bodyguard, Robinhood, dsb.

Sebenarnya ide cerita yang tidak segar ini bisa ditutupi oleh adegan lucu antar Ethan Renner (Kevin Costner) dengan putrinya Zoeey (Hailee Steinfeld), yang memang berhasil memancing tawa. Bahkan hubungan Ayah-Anak ini berhasil menarik rasa melankolis, dibantu dengan chemistry Costner-Steinfeld yang cocok. Chemistry Costner dengan Connie Nelsen juga tampak romantis sesuai umurnya, tidak vulgar tetapi tetap manis. Sayangnya dari sisi penjahat, The Wolf (Richard Sammel) tidak cukup kuat sebagai musuh utama, karena body language maupun akting wajahnya tidak menunjang. Malah Albino (Tomas Lemarquis) yang berhasil membuat penonton merinding dengan teknik “memenggal kepala”nya. Selain dari para orang tua dan remaja ini, setidaknya Vivi (Amber Heard) muncul dengan sangat eksotis dan berkarakter kuat. Mungkin memang ini strategi pasar yang dikemas di 3 Days To Kill : setidaknya ada 1 pemeran yang cantik dan seksi.

ImageTerlepas dari pemeran-pemeran yang tidak terlalu buruk di atas, kembali lagi film ini bermasalah dengan cinematography maupun plot dan alur cerita yang ada. Ketika pada bagian awal film ini sudah menampilkan para agen sedang melaksanakan misi dengan banyak tembak-tembakan dan ledakan, penonton sudah berharap bahwa bagian selanjutnya akan lebih baik (setidaknya lebih banyak visual effect). Namun sayang sekali, tidak ada adegan berikutnya yang cukup “wah”. Tata kamera juga tidak membantu penonton untuk menikmati film. Banyak sekali aksi tarung maupun aksi kejar-kejaran mobil yang jadi tidak bernyawa, karena editing yang berantakan. Penonton tidak dapat “masuk” ke dalam film karena seolah-olah kita hanya menonton sambil lewat, tidak dapat ikut “merinding” atau “takut” melihat apa yang tersaji di layar.

Selain faktor teknik di atas, cerita yang ditulis oleh Luc Besson & Adi Hassak ini tidak tertolong oleh penyutradaraan McG. Banyak sekali plot holes yang ada. Mana mungkin seorang agen senior seperti Ethan Renner akan dengan mudah bersedia “disuntik” oleh wanita yang asing baginya? Apalagi tidak ada bukti bahwa wanita ini benar-benar bekerja untuk CIA? Apakah masuk akal apabila obat ajaib tersebut ditawarkan ke Renner hanya karena ia adalah agen yang sekarat yang mau melakukan segalanya? Apakah obat ajaib itu hanya dipercaya karena catatan lab yang segepok dan tidak terlihat di film — diteliti oleh Ethan Renner? Lebih lanjut lagi, apakah CIA kekurangan agen untuk menangain The Wolf & Albino yang tampaknya tidak terlalu pandai/seram? Mengapa harus bersandar pada Agen Renner yang sakit-sakitan, bahkan di saat menegangkan, ia justru terjatuh sakit. Bukankah CIA biasa bekerja dalam tim, apalagi kalau misinya serius?

Image

Selain pertanyaan-pertanyaan logika di atas, alur cerita juga tidak dituturkan dengan baik, sehingga membuat penonton rabun melihat apa yang sebenarnya sedang dilakukan Ethan Renner. Mengapa harus mendatangi Mitat Yilmaz (Marc Andreoni)? Apa yang sebenarnya diinginkan Renner dari interogasi si akuntan Guido (Bruno Ricci)? Mungkin dalam dialog cerita sudah diberikan penuturan singkat, namun dengan adanya “selingan” unsur kekeluargaan di film ini, justru cerita tentang agensinya sendiri menjadi tidak logis. Hal-hal yang tidak penting juga banyak dijejalkan dalam film ini, sesuatu yang membuat film terasa berjalan super lambat, tidak cocok dikemas dalam film dengan poster Kevin Costner membawa pistol. Pada akhirnya, judul “3 Days To Kill” pun terasa kurang sesuai untuk film ini. McG butuh belajar lebih banyak lagi untuk bisa membuat film action yang lebih berkelas tanpa membodohi penonton. My score is 4/10.

@ristiirawan

Movie Review : The Legend Of Hercules (2014)

20140203-092115.jpg

THE LEGEND OF HERCULES

I always like movie adapted of Greek Myths, but not this one! Bahkan versi modern Percy Jackson pun jauh amat sangat lebih baik daripada The Legend Of Hercules (walaupun memang budget produksinya juga jauh lebih besar dan beda pasar). Film ini menceritakan kelahiran Hercules — putra Zeus yang dilahirkan di dunia. Hubungan cintanya dengan Putri Hebe ditentang oleh Raja dan membuatnya diasingkan, hingga menjadi budak.

Bagi penonton yang sudah familiar dengan mitologi Yunani akan merasa bahwa penyimpangan dalam film ini tidak dapat ditoleransi. Legenda Hercules yang terkenal karena dia menerima 12 tugas dari para dewa justru tidak disinggung sama sekali. Hanya 1 kasus yang diceritakan yaitu mengalahkan singa. Film ini mungkin akan lebih baik apabila sutradara Renny Harlin dan tim penulisnya mau memilih pendekatan yang konsisten. Apakah ingin berfokus pada kemanusiaan Hercules (realitas) atau pada kesaktian para Dewa (fantasi)?

Seperti yang kita ketahui dari tagline, memang percintaan Kellan Lutz sebagai Hercules & Gaia Weiss sebagai Hebe memang sangat disorot, tetapi sering logat mereka terasa tidak pas dengan setting waktu, dan bahkan cinta mereka terlihat terlalu naif dan bernafsu ketimbang cinta yang sejati. Mereka berdua menjadi alasan utama mengapa penonton tidak bisa menaruh simpati pada film ini. Sosok Hercules yang adalah pahlawan dalam mitologi jadi hancur tak berarti karena pencitraan Renny Harlin.

Scott Adkins sebagai King Amphithryon terlihat bijaksana dan tidak sejahat yang seharusnya. Malahan Scott Adkins tampak berkarisma dan mempesona ketimbang tokoh utama, yang jelas-jelas SALAH karena tidak sesuai dengan porsinya. Roxanne McKee sebagai Queen Almecne bisa memunculkan karakter Ibu dengan baik. Sementara Liam McIntrye tampil terlalu manis sebagai Sotiris, meskipun hanya ia yang berdialog dengan alamiah. Selebihnya, para figuran pun terasa sangat kaku, seperti disuruh membaca dialog dari kertas.

Di samping para pemeran yang payah, plot cerita film ini sendiri terasa terombang-ambing dengan banyaknya missing scene, seperti bagaimana Hebe bisa jatuh cinta setengah mati dengan Hercules? bagaimana Hercules bisa merebut kepercayaan para prajurit dengan mudahnya, padahal prestasinya hanya sebagai budak yang bebas? lebih konyol lagi, bagaimana Zeus tampak sangat polos dan hanya karena Hercules mengakuinya sebagai Bapak, lantas memberikan kekuatan petir yang mampu menghanguskan ratusan orang? Kenapa tidak sekalian saja membunuh musuh utama?

Kesaktian Hercules karena setengah dewa dan hubungannya dengan Zeus justru bagaikan lelucon dan solusi instan, yang merusak seluruh film. Tambahan pula, happy ending yang disuguhkan semakin melengkapi buruknya The Legend Of Hercules. It should be titled The Love of Hercules. Hercules yang naif, bodoh, dan hanya kuat karena fisik.

Sinematografi yang sering memakai slow-motion sebenarnya tidak buruk, apabila tidak digunakan berlebihan. Adegan pertarungan yang banyak mendominasi film pun tidak menegangkan dan malah terasa membosankan. Scene yang melihatkan detail tidak penting seperti cipratan air, dsb juga terlalu banyak sehingga tidak lagi terlihat indah.

Satu-satunya yang membuat film ini laku mungkin hanya karena para fans Kellan Lutz yang akan terpuaskan melihat banyaknya adegan shirtless dalam film ini. My score is 4/10.

@ristiirawan