The Kissing Booth 2 (2020) Review

Lemme recap the 1st film for you! The Kissing Booth, film pertamanya adalah salah satu dari film teen rom-com yang membuatku merasakan euforia setelah menontonnya. Senang karena melihat para pemerannya yang enak dipandang mata. Joey King sebagai Elle yang bersahabat dengan Lee (Joel Courtney) karena lahir di tanggal yang sama dan orang tua mereka bersahabat baik. Tentu ceritanya bisa ditebak, karena Elle akhirnya jatuh hati dengan kakak Lee, Noah (Jacob Elordi) yang super HOT, idola banyak wanita. Perasaan mereka terungkap gara-gara mereka membuka “Kissing Booth” alias stan jasa ciuman untuk proyek sekolah Elle & Lee (yang tidak mungkin terjadi di Indonesia ~ dan sekarang di seluruh dunia, karena pandemi covid-19 ini!). Elle melanggar satu dari aturan persahabatannya dengan Lee; tetapi mereka akhirnya bisa berdamai, bahkan Lee menemukan pacar sendiri Rachel (Meganne Young) berkat “Kissing Booth” juga. Di akhir film, Elle melepas Noah yang berangkat kuliah ke Harvard.

Di sekuelnya, The Kissing Booth 2, Elle sedang insecure karena LDR (Long Distance Relationship) dengan Noah. Ketika Noah menawarinya untuk lanjut kuliah di Harvard, Elle senang tapi galau karena ia dan Lee punya janji sejak kecil untuk kuliah bersama di UC Berkeley. Demi mendapatkan uang tunai untuk biaya kuliah, Elle mengikuti kompetisi Dance Dance Revolution (DDR) dengan bantuan teman barunya, Marco (Taylor Zakhar Perez) yang tidak kalah ganteng dari Noah. Di sisi lain, Elle tidak menyadari bahwa ia menjadi pengganggu dalam hubungan Lee dengan Rachel.

Film pertamanya memang tidak terlalu kuat dalam segi cerita, tetapi berhasil membangkitkan rasa “gemas” karena bumbu-bumbu percintaan remaja yang disertai dengan kecorobohan mereka yang lucu (seperti Elle pakai rok kesempitan, dan Elle yang ngumpet di bawah ranjang Noah); tetapi film kedua ini justru kehilangan “greget”nya. Ceritanya sendiri memang sesuai dengan perkembangan umur karakternya, di mana Elle sedang berusaha mencari jati diri untuk menentukan kuliahnya; dan Noah yang menghadapi dunia kuliah yang tidak sama seperti SMA.

Di film kedua ini, Elle menjadi lebih “berisik” daripada film pertamanya, dan itu mengganggu. Film kedua terlalu bersusah-payah menyambung cerita dengan film pertama dan meniru kejutan-kejutan yang sama, sehingga otomatis sudah tidak seru lagi. Terlalu dipaksakan dan aneh ketika “Stan Ciuman” kembali diadakan, tetapi akhirnya juga hanya sebagai properti untuk menunjang kampanye LGBT, yang ceritanya sendiri tidak ada hubungannya dengan cerita utama! Sebut saja adegan teman Elle (yang aku sendiri sampai tidak ingat siapa namanya, karena tokohnya sebenarnya tidak penting!) yang comes up saat di Kissing Booth; adegan yang terlihat garing dan palsu.

Pemilihan DDR sebagai ajang kompetisi yang mengesampingkan “Kissing Booth” sendiri juga terasa kurang relevan dengan kondisi sekarang. Meskipun tidak dipungkiri, dance mereka sangat keren, para remaja pasti terpesona sama Taylor Z Peres. Bumbu yang baru dalam film kedua ini, tetapi membuat sutradara kehilangan fokus. Sejak kapan The Kissing Booth berubah menjadi film dance? Banyak adegan yang “nanggung” karena usaha penulis & sutradara untuk keluar dari klise tetapi malah membuat gelora film ini hilang. Durasi 131 menit juga terlalu panjang (lebih panjang 20 menit dari film sebelumnya).

Contoh Adegan yang “nanggung”.

The Kissing Booth 2 akan terasa menyenangkan ditonton jika memang kamu memiliki emotional attachment dengan para tokohnya dari prekuelnya atau suka melihat yang manis-manis. Bagaimana hati kita tidak meleleh, melihat Jacob Elordi seperti ini?

Selain eye candy ini, ada sisi positif yang bisa dipelajari dalam film ini, bahwa 1) kita harus kontrol emosi, belajar mendengarkan orang lain agar kita tidak terjebak dalam asumsi kita sendiri. 2) belum tentu yang kita anggap baik untuk orang lain, lalu kita tutupi, tidak akan membawa masalah lebih besar.

Kuberikan rating 6/10!

Review: The Old Guard (2020)

Netflix sering memberikan kesempatan menyutradarai film layar lebar untuk pertama-kalinya kepada sutradara-sutradara berbakat. The Old Guard adalah film layar lebar Gina Prince-Bythewood yang pertama. Hasilnya diterima dengan baik oleh khalayak ramai. Awalnya aku ragu apakah film action berdurasi 2 jam ini bisa mempertahankan daya tariknya sepanjang film.

Charlize Theron sebagai Andromache of Scythia

Charlize Theron jelas adalah magnet dari The Old Guard. Penampilan fisiknya cocok dan aksinya KEREN BANGET! (Umurnya 45 tahun lho..) Ia berperan sebagai Andy, seorang pemimpin tim berisi orang-orang yang berhenti bertambah tua, bisa menyembuhkan diri sendiri (seperti Deadpool), dan otomatis hidup abadi. Selain hidup abadi, tim yang hanya terdiri dari 4 orang ini sangat terampil di lapangan. Tentu saja, karena mereka punya ratusan atau ribuan tahun untuk menimba pengalaman. Suatu saat, mereka dijebak oleh pihak yang ingin menjadikan mereka sebagai bahan percobaan di Laboratorium. Ketika mereka sibuk melarikan diri, malahan muncul satu orang abadi lagi yang harus mereka rekrut.

Gina Prince-Bythewood memberikan sentuhan yang bagus bagi film yang disadur dari komik karya Greg Rucka ini. Banyaknya film tentang manusia berkekuatan super pada dekade ini telah membuat masyarakat tidak mudah terkagum-kagum lagi dengan Superhero. Sang Sutradara tidak sekedar memamerkan kekuatan super para tokohnya dengan adegan aksi yang memukau, tetapi juga memberikan banyak porsi untuk para pemeran bisa menunjukkan akting emosi mereka. Kisah hidup tiap karakternya disisipkan dalam dialog-dialog yang ditata dengan rapi dari awal-akhir film untuk membuat penonton mengenal “penderitaan” mereka sebagai manusia abadi. Sisi emosional ini lah yang membuat The Old Guard bernilai lebih sebagai film aksi.

Sayangnya karakter antagonisnya terlalu jelas “jahatnya”, kurang meninggalkan kesan yang dalam; sangat kontras dengan para jagoan kita. Alur ceritanya juga mudah ditebak, pasti happy ending, sehingga intensitas atau ketegangan film tidak terlalu terasa. Walaupun banyak adegan aksi yang bagus, tetap saja tidak terasa “ngeri”, karena yah… kita sudah tahu bahwa mereka tidak bisa mati. Tambahan yang menarik justru ada di kredit ketika kita menyaksikan kolase foto orang-orang yang pernah mereka selamatkan… ternyata membawa perubahan baik bagi umat manusia. The Old Guard memang berpotensi menjadi franchise dan sekuelnya akan dinantikan banyak orang, karena memang kisah mereka masih ada banyak sekali yang belum tergali; terutama tentang Quynh; yang kisahnya paling membekas dalam ingatanku (tragis soalnya..)

The Old Guard memang pantas diberikan rating “R” oleh MPAA karena banyak kekerasan dan bahasa kasar di dalamnya. Berhubung tokohnya immortal, jadi banyak ditunjukan luka tersayat sampai isi perut yang berantakan. Banyak juga orang yang mati dalam film ini. Namun jika kita sudah terbiasa menonton film “gore” ala Superhero seperti Kick-Ass dan Deadpool, apa yang disajikan The Old Guard masih bisa kita tonton sambil makan.

Warrior Nun (2020)

Bumi, Surga & Neraka memang tidak ada habisnya untuk dikembangkan secara imajinatif menjadi kisah fantasi; karena pada dasarnya manusia selalu tertarik tentang after-life dan semacamnya. Biasanya cerita akan mencocokkan dengan suatu kepercayaan atau mitos tertentu. Warrior Nun memilih agama Katolik sebagai landasan ilmu “cocoklogi” (semuanya serba dicocokkan sehingga terasa masuk akal) film ini. Kenapa aku tertarik jenis film seperti ini? Karena aku pengen tahu penulis ceritanya punya gagasan apalagi yang baru tentang konsep surga-bumi-neraka dan bagaimana mereka menggunakan alkitab sebagai bahan imajinasi mereka. Terkadang imajinasi atau teori (kalau yang lebih pintar) mereka cukup memukau. Sebut saja Davinci Code yang booming sampai disebut sesat dan dilarang di berbagai gereja (please ini cuma review film, jangan debat masalah sesat atau nggak ya!) karena high-skilled cucoklogi.

Warrior Nun ini tetapi jauh dari Davinci Code, malah lebih mirip Shadowhunters: The Mortal Instruments yang juga ada di Netflix. Sayangnya, meski bukunya populer, film dan serialnya tidak sepopuler itu. Filmnya flop di pasaran. Serialnya…. aku sendiri tidak tahan menonton karena akting dan naskahnya yang kaku kaya kanebo kering. Warrior Nun diangkat dari webcomic “Warrior Nun Areala” karya Ben Dunn ini dikembangkan oleh Simon Barry untuk Netflix, menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Ava (Alba Baptista) yang telah meninggal dunia, tetapi hidup kembali karena “The Halo” lalu mendapatkan kekuatan super, seperti: menyembuhkan diri dan menembus dinding. “Halo” yang sering kita kenal sebagai lingkaran malaikat itu, ternyata adalah barang berharga yang dilindungi oleh Sekte rahasia dari Gereja Katolik secara turun-temurun selama berabad-abad. Sekte tersebut terdiri dari biarawati yang setia, berdedikasi, dan terlatih untuk melawan roh jahat dan iblis di Bumi.

Halo yang malah mengingatkanku akan “sundel bolong”, gimana dong? haha.

“Halo” biasanya dimasukkan dalam punggung seorang biarawati terpilih yang telah dilatih khusus, disebut: “The Warrior Nun”. Tetapi Ava mendapatkan “Halo” tersebut karena suatu kecelakaan, tidak biasanya peristiwa tersebut terjadi. Ava adalah yatim-piatu yang lumpuh tangan & kakinya, sehingga ketika ia hidup kembali, semua hal yang ia rasakan adalah sesuatu hal yang baru. Ava yang tidak memiliki iman yang sama dengan para biarawati, berusaha kabur dari tugasnya. Sementara Sekte sedang menghadapi konflik internal yang berbahaya, termasuk kehadiran Iblis mematikan yang memburu “Halo”.

Warrior Nun cukup membuat penasaran pada awalnya, tetapi lama-lama aku merasa bosan karena jalan ceritanya bertele-tele. Selain itu, karakter tokoh utamanya, Ava, bukan tipe yang menarik simpatik. Sulit untuk menyukai suatu serial, jika kita tidak suka dengan tokoh utamanya. Sampai hampir Season 1 berakhir, Ava ditunjukkan sebagai sosok yang sangat egois dan tidak memiliki kelebihan apapun, selain jago membuat lelucon yang menyebalkan. Bahkan sampai suatu adegan yang seharusnya membuat ia mengambil keputusan bijak, Ava tetap lari dari “panggilan”nya. Dalam hal ini, mungkin pencipta dan penulis serial ingin menyajikan cerita yang bukan klise, yang lebih relevan dengan kondisi manusia pada umumnya: kabur jika ada hal yang menakutkan. Lalu seolah tersadar, tanpa suatu alasan yang jelas, tiba-tiba Ava bersedia masuk ke dalam Sekte dan membantu rencana mereka (ya elah kenapa gak dari awal sih, ribet amat ini ceritanya). Lebih parahnya lagi, belum selesai ceritanya bagaimana, sudah ENDING SEASON 1. Are you kidding me?! Kalau memang hanya punya jatah 10 episode, kenapa tidak menuntaskan satu putaran cerita? Kenapa harus membuang-buang waktu dengan dilema dan pergumulan Ava yang memakan sekian banyak episode (terasa sia-sia)? Mungkin ini yang dinamakan strategi marketing dalam serial TV. Tidak penting kepuasan penonton terhadap ceritanya bagaimana, yang penting buat ending menggantung, supaya mereka mau menonton Season selanjutnya.

Mother Superion, My Favourite Character of this Movie.

Sebenarnya Warrior Nun memiliki potensi besar untuk membuat kita menyukai Sekte mereka yang menjunjung loyalitas dan kesetia-kawanan. Tetapi entah kenapa, aku sulit merasakan chemistry di antara para biarawati ini, meskipun karakter pendampingnya banyak yang menarik, seperti: Beatrice yang serba bisa, Mother Superion yang tegas, dll. Mungkin karena “bahaya” dalam film ini tidak terasa menyeramkan. Lalu banyak kisah yang tidak dikembangkan dan hilang, termasuk kisah Ava dengan JC (Emiliki Sakraya) yang berhenti begitu saja (sia-sia lagi..). Plot Twist yang ada juga sudah bisa ditebak siapa penjahatnya. Satu hal yang menarik adalah bagaimana penulis menggunakan ayat-ayat kitab suci menjadi judul episode dan menyelipkannya dalam setiap dialog. Bahkan di sini kita bisa melihat pandangan-pandangan orang beriman dan tidak beriman terhadap kebaikan dan kejahatan. Setidaknya dari sisi iman, film ini boleh lah usahanya.

Walaupun Parent’s Advisory Rating nya TV-MA, sebenarnya tidak ada adegan sadis yang terlalu mengerikan…. wait! memang iblis yang muncul cukup mengerikan dan bisa menusuk manusia terus kelihatan ada darahnya; tetapi menurutku tidak mengguncang jiwa, karena kita masih bisa menerimanya sebagai “Hanya Animasi”. Ada adegan percintanya, tetapi hanya sedikit dan tidak vulgar. TV-MA diberikan karena banyak adegan kekerasan yang memang tidak cocok ditonton anak-anak. Secara keseluruhan, film ini bisa menjadi hiburan jika kita suka dengan tema fantasi surga-bumi-neraka; tanpa kita perlu merasa terlalu gloomy; tetapi ya sudah.. hanya lewat begitu saja, tidak ada kesan mendalam yang ditinggalkan. Oh.. ada sih.. KESAL karena ceritanya tidak ditutup dengan baik di Season 1.

Otomatis pasti mau dong nonton Season 2?

Strategi Marketing berhasil.

Hospital Playlist Review

Hospital Playlist dikerjakan oleh sutradara dan penulis Reply Series (Reply 1997, Reply 1994, Reply 1988). Namun karena aku belum pernah menonton semuanya, jadi aku tidak terlalu familiar dengan karya mereka. Ini pengalaman pertamaku mengikuti serial drama yang modelnya seperti ini: multi-stories tapi mengalir alami seolah tidak ada cerita utamanya. Walau tidak ada klimaksnya, serial ini jauh dari monoton. Awalnya memang aku kebingungan dengan banyaknya karakter (susah tau, ngafalin nama korea!). Tokoh utamanya ada 5 orang; belum lagi para pemeran pembantu yang berada di sekitar mereka yang memiliki porsi adegan sendiri; jadi jumlah karakternya benar-benar BANYAK. Seni yang luar biasa dari penulis & sutradaranya untuk bisa membuat serial drama dengan pemeran sebanyak itu (seperti di dunia nyata) tapi tetap berhasil membuat penonton terkesan dengan semua karakternya.

Meskipun awalnya sempat bingung dengan banyaknya tokoh, tetapi semakin ke belakang, aku semakin terhanyut dengan kehidupan 5 tokoh cerita, yaitu:

  1. Lee Ik-Joon (Cho Jung-Seok): tipikal orang supel yang bisa bergaul dengan siapa aja, selalu membuat suasana hidup dengan kekonyolannya
  2. Ahn Jeong-Won (Yoo Yeon-Sook): dokter berhati malaikat
  3. Kim Jun-Wan (Jung Kyoung-Ho): favorit aku!!! Kata-katanya selalu tajam (tapi benar). Namun di balik itu dia punya kepedulian tinggi, hanya tidak menunjukkannya.
  4. Yang Seok-Hyeong (Kim Dae-Myung): introvert tapi yang mempersatukan teman-temannya
  5. Chae Song-Hwa (Jeon Mi-Do): satu-satunya wanita di kelompok ini dan almost perfect
Kim Jun-Wan yang selalu pakai pakain forma dari antara mereka berlima!

Pemilihan latar belakang dunia kedokteran memang daya tarik. Kita jadi tambah pengetahuan di bidang kedokteran (sayangnya footnote tulisan korea di layar tidak diterjemahkan, jadi aku pakai acara googling segala!). Apalagi para dokter ini punya hobi nge-band dan setiap latihan mereka selalu membawakan lagu yang asyik-asyik. [trus Kim Jun-Wan keren banget main gitarnya]. Cari di mana:  kumpulan dokter spesialis, masih muda, cakep-cakep, pintar main musik pula?!  

Apalagi kalau Kim Jun-Wan lagi main gitar… *_*

Lagu yang aku suka dalam film ini adalah: I Knew I Love (Jeon Mi Do), Aloha (Cho Jung Seok), Me to You, You To Me (Mido and Falasol). Pastikan kalian mendengarkan lagu-lagu ini ya, bagus! Sungguh mengapresiasi para pemain dan pembuat filmnya yang mau repot-repot menyajikan latihan band mereka sampai terasa asli (bahkan ada view seperti dari camera handphone/ gopro).

Film ini memang bukan jenis yang bisa diterima oleh semua orang dengan gembira, selain karena durasi 1,5 jam/ episode yang (mungkin) terlalu panjang; juga karena banyak penonton serial Korean Drama lebih suka drama romantis; sementara film ini ceritanya lebih ke kehidupan sehari-hari. Tidak ada adegan yang membuat berdebar-debar, terlalu menegangkan, atau sangat-amat menyedihkan. Intinya tidak ada dramatisir keadaan.

Hal yang membuatku sangat menyukai film ini adalah atmosfer yang menyenangkan! Senang rasanya melihat persahabatan mereka berlima yang terasa hangat dan terkadang lucu (beneran bikin ketawa terbahak-bahak!); serta perjuangan para dokter dengan para pasien yang menyentuh hati. Kisah cinta yang ada di film ini mungkin mudah ditebak, tetapi kesabaran penulis dan sutradara untuk menahan kisahnya sampai akhir bisa dibilang strategi bagus. Adegan flash-back ditampilkan di momen yang tepat dan masuk akal. Setelah menyelesaikan episode 12, aku juga langsung memutar kembali episode 1; dan semuanya tetap terasa menyegarkan karena banyak detail yang sebelumnya tidak aku pahami.

Hospital Playlist sukses menduduki peringkat ke-9 film terpopuler dalam sejarah TV Kabel di Korea. Season 2 katanya akan disiarkan tahun 2021. Semoga segera rilis ya! Masih banyak cerita yang menggantung, nih.

The King: Eternal Monarch Review

Minoz (fans Lee Min-Ho) pasti girang setengah mati ketika menonton serial drama korea yang satu ini. Penulis, sutradara, produser atau siapapun dalam tim produksi ini pasti salah satu fans berat Lee Min-Ho juga; selain pasti bertujuan memanfaatkan kepopulerannya untuk menjaring penonton. Banyak adegan yang mengeksploitasi kegantengan Lee Min-Ho, terkadang “keterlaluan” bagi penonton yang bukan fans-nya. Dalam film ini, ia berperan sebagai Raja bernama Lee Gon dalam dunia paralel, Kerajaan Korea; bukan Republik Korea Selatan seperti yang ada di dunia ini. Ia tidak perlu bersusah-payah berakting karena perannya sebagai Raja nyaris sempurna: fisik menawan, kaya-raya, jenius matematika, dan baik hati. Jika aktingnya dalam film ini dikritik, sebenarnya bukan salahnya, karena karakter Lee Gon sendiri memang dangkal untuk sekelas penulis Kim Eun-Sook. 

Nama Kim Eun-Sook terkenal sebagai penulis serial drama korea yang selalu sukses. Sebut saja Descendants of the Sun, The Heirs yang juga dibintangi oleh Lee Min-Ho, dan Goblin, di mana pemeran utamanya sama dengan film ini: Kim Go-Eun. Meski wajahnya tidak secantik artis korea pada umumnya (sepertinya tidak operasi plastik), Kim Go-Eun selalu menunjukkan performa akting yang sarat emosi. Ketiga nama yang sudah disebutkan: Lee Min-Ho, Kim Go-Eun, dan Kim Eun-Sook seharusnya menjadi jaminan bahwa The King: Eternal Monarch akan menjadi Mega-Hit, menggeser kehebohan serial drama milik stasiun sebelah: Crash Landing On You. Sayangnya, jaminan ini meleset. 

The King: Eternal Monarch terlalu “maksa” untuk menggabungkan tema kerajaan (kuda dan pedang) dengan fiksi ilmiah seperti dunia paralel dan perjalanan waktu. Kita paham sih, bahwa kerajaan memang erat kaitannya dengan kuda dan pedang; tetapi banyak adegan yang terasa terlalu dipaksakan untuk ada “kuda” dan “pedang”nya. Apalagi setting waktu kejadiannya adalah di era sekarang ini, tahun 2020. Sebut saja ketika semua bergegas naik helicopter dan mobil; masa iya Raja sempat menyusul naik kuda? Mana logika perhitungan jarak dan waktunya?

Ide yang menarik tentang dunia paralel juga menjadi sia-sia karena penuturan jalan cerita yang dibuat terlalu rumit. Plot cerita yang berpindah-pindah dunia dan timeline; bukannya membuat penasaran, malah jadi bingung. Seharusnya penceritaannya dibuat linear, supaya penonton bisa lebih menikmatinya tanpa perlu latihan otak. Akibat penonton sibuk berpikir dan mencerna bagaimana jalan ceritanya, mereka tidak sempat menjalin ikatan emosi dengan para tokohnya. Bahkan dua tokoh utamanya: Lee Gon dan Jong Tae-Ul juga tiba-tiba saja sudah jatuh cinta setengah mati tanpa ada kejadian-kejadian yang membuat cinta mereka bertumbuh. Di episode 1–4, Tae-Ul masih detektif yang tegar, lalu tiba-tiba di episode 5, ia berubah menjadi bucin. Manis sih melihat chemistry di antara mereka; tetapi memang terasa ada yang kurang karena proses jatuh cinta mereka langsung “skip” ke fase cinta mati. Malahan sejujurnya, kisah cinta Kim Sin-Jae dan Jong Tae-Ul terasa lebih menarik. 

Jumlah karakter dalam The King: Eternal Monarch juga terlalu banyak. Waktunya tidak cukup untuk membuat penonton ingat dengan mereka. Bagi penonton yang tidak terbiasa dengan nama Korea, pasti sulit untuk mengidentifikasi “yang mana orangnya” ketika nama tertentu disebut dalam dialog. Meskipun demikian, tokoh yang tidak disangka-sangka mencuri perhatian adalah Woo Do-Hwan yang memerankan Jo Young & Jo Eun-Sup. Fansnya langsung bertambah; bahkan banyak yang meneruskan menonton The King: Eternal Monarch hanya karena dia. 

Kesimpulannya, The King: Eternal Monarch adalah film yang membahagiakan Minoz karena banyak “fans service”. Sebuah karya dengan pemikiran yang kompleks (berkat Kim Eun-Suk), kepuasan mata karena editing video dan efek visual yang tidak murah, dan Soundtrack yang bagus-bagus semuanya; melodinya ear-catchy dan menyentuh hati. Namun tidak bisa dibilang “bagus” karena penuturan cerita yang membingungkan, dunia fiksi yang terlalu “bohong”, dan hubungan antar karakter utama yang terlalu instan. @ristiirawan rates 7/10.

Peringatan Konten: The King: Eternal Monarch mengandung adegan kekerasan seperti pertarungan tangan kosong atau menggunakan pistol dan pedang, serta pembunuhan. Adegan sensual tidak terlalu banyak, hanya c*uman. 

13 Reasons of Why (Season 4) Review

“Thirteen Reasons of Why” adalah sebuah film serial yang mengangkat hampir semua isu negatif yang ada di dunia remaja Amerika. Aku sudah pernah mengulas Season 1-3, dan menobatkan serial ini sebagai “A-List” dari serial drama remaja Netflix yang sedemikian banyak. Season 1 diangkat dari sebuah novel, sementara Season selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Netflix. Tidak heran jika kualitas cerita Season 1 jauh di atas semua Season.

Aku bersyukur Netflix memutuskan untuk mengakhiri kisah fenomenal Clay Jensen dan teman-temannya di Season 4. Rasanya kisah tentang masa SMA tidak perlu dibaut sampai berlarut-larut. Tokoh-tokohnya berhak untuk lulus SMA. Itu adalah hal yang alamiah. Ekspektasi tinggi tentang Season 4 ini membuatku agak kecewa setelah menontonnya. Season 1 memang “Masterpiece” yang akan selalu membekas di benak penonton; beda dengan Season 4.

Konflik dalam 13RY memang semakin brutal di Season 3; dari suicide hingga pembunuhan. Rasanya tidak sehat menonton bagaimana dunia remaja bisa sekejam itu. Wajar jika 13RY banyak mendapat kritik karena dianggap terlalu kelam dan dapat memberikan inspirasi yang salah bagi para ABG yang jiwanya masih labil. Namun konflik yang ada di 13RY selalu seru untuk didiskusikan dan dibicarakan, apalagi tidak hanya menyangkut kekerasan fisik, tetapi juga kesehatan jiwa. Banyak isu mental illness dalam film ini, terutama kesehatan mental Clay Jensen, sebagai tokoh utama, yang terus memburuk dari Season 1, hingga puncaknya di Season 4.

Selanjutnya aku ingin menyampaikan “uneg-uneg”ku yang membuatku kecewa dengan film ini dan memberinya rating 6.

jadi…

SPOILER ALERT SPOILER ALERT SPOILER ALERT!!!!!!!

Pertama, menurutku 13RY Season 4 ini agak menurun intensitasnya dalam membawakan cerita. Walaupun memang ada beberapa episode yang menegangkan, seperti percobaan adanya bencana di sekolah. Tetapi sisanya, selama 10 episode, lebih banyak adegan-adegan yang tidak penting. Apalagi gaya penceritaan yang melompat dari tokoh satu ke tokoh yang lain tidak semulus Season sebelumnya. Seharusnya Season 4 ini tidak perlu dibuat 10 episode; daripada bertele-tele.

Selain itu, karakter yang sudah berkembang dengan baik dari Season 1-3, malah disia-siakan. Sebut saja Zach Dempsey, yang menjadi karakter sentral, malah di Season 4 ini dibiarkan cuma mengacau begitu saja. Buat apa memberikan durasi sebegitu banyaknya hanya untuk menunjukkan kalau Zach sedang dalam fase membuang-buang hidupnya?

Sejak awal aku juga sudah curiga kalau Justin akan jadi orang yang “mati” dalam Season 4 ini, karena awalnya terlalu tampak indah. Dia pulang dari rehabilitasi, terlihat gemuk dan sehat, lalu… memutuskan Jessica. Bagian ini yang paling tidak cocok dengan karakter Justin selama ini. Seperti yang kita tahu, Justin selalu diceritakan mampu berbuat apa saja demi Jessica. Bahkan hingga akhirnya di Season 4 juga ia kembali seperti semula. Lalu buat apa dipaksa pada awalnya untuk memutuskan Jessica? Sepertinya yang nulis bingung mau buat konflik apa.

Belum lagi tokoh lainnya, seperti Winston yang aku kira akan jadi salah satu karakter yang kompleks dan membuat cerita jadi berbobot. Ternyata ia berubah hanya menjadi pengejar cinta dan rahasia yang terlihat bodoh. Kemunculan Diego Torres sebagai “atlet” baru mungkin bisa diterima; walau terasa aneh karena tidak pernah ada di Season sebelumnya.

Karena Diego tidak pernah disorot di Season sebelumnya, aku sulit berempati ketika ia mengatakan bahwa ia mencintai Monty, dan sebagainya. Demikian pula dengan kemunculan karakter Estela sebagai adik Monty yang tidak jelas apa kontribusinya dalam jalan cerita, selain menambah-nambahi daftar karakter baru. Mungkin harapannya biar penonton tidak bosan.

Masalahnya, dengan begitu banyaknya karakter yang melekat di benak penonton, penulis film ini seperti kebingungan membagi peran yang adil bagi mereka semua. Tentunya semua ingin karakter yang mereka ciptakan dari Season 1 mendapatkan peran yang bermakna. Sayang sekali implementasinya malah berantakan. Dialog-dialognya juga banyak yang ngalor-ngidul tidak jelas dan memaksakan propaganda LGBT. Tiba-tiba bermunculan banyak pasangan gay dalam film ini.

Jessica yang sangat dominan dalam film ini justru kehilangan pesonanya. Jika dalam season sebelumnya ia bermetamorfosis dari gadis penakut jadi pemberani; dalam season ini ia terus-menerus dipaksakan untuk terlihat pemberani —- dan jadinya tidak keren. Karakter Ani yang pemerannya menerima cyber-bullying (ironis) juga terlihat “diselamatkan” oleh penulis agar tidak dibenci lagi oleh pemirsa; tetapi justru membuat karakternya jadi tidak penting dan lemah. Satu-satunya tokoh selain Clay Jensen, yang perkembangan karakternya paling masuk akal dan konsisten adalah Tony Padilla; dengan pergumulannya antara mempertahankan warisan keluarganya atau memperjuangkan masa depannya.

Hal yang tidak masuk akal dalam cerita ini justru dari Clay Jensen sendiri. Bisa dimengerti bahwa ia banyak kehilangan ingatan karena seolah-olah ia menjadi orang lain di saat itu.

Tetapi yang tidak masuk akal adalah sutradara film ini tidak mau susah-susah untuk menjelaskan kepada penonton apa yang sebenarnya Clay lakukan. Terutama di adegan gua, yang sampai sekarang tidak logis bagaimana Clay bisa punya cukup waktu antara keluar dari gua, mengumpulkan hadiah, mengganggu temanya di gubug, menyiksa Breecher, memporak-porandakan tenda tanpa ketahuan Ibu & Gurunya. Meskipun sesi konseling Clay dan dr. Elman adalah hal yang menarik bagi beberapa orang yang suka dengan isu kesehatan mental; tetapi harusnya bisa ditulis dengan lebih baik. 

Banyak adegan dalam film ini yang terlihat kasar cutting & editing videonya, seperti sinetron Indonesia saja. Sungguh hasil yang mengecewakan untuk 13RY. Untung audio film ini cukup mendukung; tidak terlalu dominan, tetapi memberikan efek yang berguna untuk menambah “gereget”.

Secara keseluruhan, 13RY Season 4 tidak terlalu brutal seperti Season 1-3, mungkin karena ini seperti “hadiah perpisahan” bagi para fansnya. Isu baru tentang teknology & privacy juga ide yang sebenarnya cukup bagus.

Akting para pemerannya sudah berkembang dibandingkan Season 1. Terutama Brandon Flynn sebagai Justin, yang aktingnya berhasil membuatku meneteskan air mata. Semua pemeran berhasil membawakan karakternya dengan baik. Jika penampilan mereka buruk, itu bukan karena akting mereka yang kurang bagus; tetapi karena penulisan cerita yang payah.

Akhir kata, Season 4 sudah selesai. Selamat tinggal, Clay Jensen, Jessica Davis, Tony Padilla, Alex Standall, Zach Dempsey, Tyler Down dan Justin Foley. Terimakasih sudah menemani selama 4 Season.

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?