The King: Eternal Monarch Review

Minoz (fans Lee Min-Ho) pasti girang setengah mati ketika menonton serial drama korea yang satu ini. Penulis, sutradara, produser atau siapapun dalam tim produksi ini pasti salah satu fans berat Lee Min-Ho juga; selain pasti bertujuan memanfaatkan kepopulerannya untuk menjaring penonton. Banyak adegan yang mengeksploitasi kegantengan Lee Min-Ho, terkadang “keterlaluan” bagi penonton yang bukan fans-nya. Dalam film ini, ia berperan sebagai Raja bernama Lee Gon dalam dunia paralel, Kerajaan Korea; bukan Republik Korea Selatan seperti yang ada di dunia ini. Ia tidak perlu bersusah-payah berakting karena perannya sebagai Raja nyaris sempurna: fisik menawan, kaya-raya, jenius matematika, dan baik hati. Jika aktingnya dalam film ini dikritik, sebenarnya bukan salahnya, karena karakter Lee Gon sendiri memang dangkal untuk sekelas penulis Kim Eun-Sook. 

Nama Kim Eun-Sook terkenal sebagai penulis serial drama korea yang selalu sukses. Sebut saja Descendants of the Sun, The Heirs yang juga dibintangi oleh Lee Min-Ho, dan Goblin, di mana pemeran utamanya sama dengan film ini: Kim Go-Eun. Meski wajahnya tidak secantik artis korea pada umumnya (sepertinya tidak operasi plastik), Kim Go-Eun selalu menunjukkan performa akting yang sarat emosi. Ketiga nama yang sudah disebutkan: Lee Min-Ho, Kim Go-Eun, dan Kim Eun-Sook seharusnya menjadi jaminan bahwa The King: Eternal Monarch akan menjadi Mega-Hit, menggeser kehebohan serial drama milik stasiun sebelah: Crash Landing On You. Sayangnya, jaminan ini meleset. 

The King: Eternal Monarch terlalu “maksa” untuk menggabungkan tema kerajaan (kuda dan pedang) dengan fiksi ilmiah seperti dunia paralel dan perjalanan waktu. Kita paham sih, bahwa kerajaan memang erat kaitannya dengan kuda dan pedang; tetapi banyak adegan yang terasa terlalu dipaksakan untuk ada “kuda” dan “pedang”nya. Apalagi setting waktu kejadiannya adalah di era sekarang ini, tahun 2020. Sebut saja ketika semua bergegas naik helicopter dan mobil; masa iya Raja sempat menyusul naik kuda? Mana logika perhitungan jarak dan waktunya?

Ide yang menarik tentang dunia paralel juga menjadi sia-sia karena penuturan jalan cerita yang dibuat terlalu rumit. Plot cerita yang berpindah-pindah dunia dan timeline; bukannya membuat penasaran, malah jadi bingung. Seharusnya penceritaannya dibuat linear, supaya penonton bisa lebih menikmatinya tanpa perlu latihan otak. Akibat penonton sibuk berpikir dan mencerna bagaimana jalan ceritanya, mereka tidak sempat menjalin ikatan emosi dengan para tokohnya. Bahkan dua tokoh utamanya: Lee Gon dan Jong Tae-Ul juga tiba-tiba saja sudah jatuh cinta setengah mati tanpa ada kejadian-kejadian yang membuat cinta mereka bertumbuh. Di episode 1–4, Tae-Ul masih detektif yang tegar, lalu tiba-tiba di episode 5, ia berubah menjadi bucin. Manis sih melihat chemistry di antara mereka; tetapi memang terasa ada yang kurang karena proses jatuh cinta mereka langsung “skip” ke fase cinta mati. Malahan sejujurnya, kisah cinta Kim Sin-Jae dan Jong Tae-Ul terasa lebih menarik. 

Jumlah karakter dalam The King: Eternal Monarch juga terlalu banyak. Waktunya tidak cukup untuk membuat penonton ingat dengan mereka. Bagi penonton yang tidak terbiasa dengan nama Korea, pasti sulit untuk mengidentifikasi “yang mana orangnya” ketika nama tertentu disebut dalam dialog. Meskipun demikian, tokoh yang tidak disangka-sangka mencuri perhatian adalah Woo Do-Hwan yang memerankan Jo Young & Jo Eun-Sup. Fansnya langsung bertambah; bahkan banyak yang meneruskan menonton The King: Eternal Monarch hanya karena dia. 

Kesimpulannya, The King: Eternal Monarch adalah film yang membahagiakan Minoz karena banyak “fans service”. Sebuah karya dengan pemikiran yang kompleks (berkat Kim Eun-Suk), kepuasan mata karena editing video dan efek visual yang tidak murah, dan Soundtrack yang bagus-bagus semuanya; melodinya ear-catchy dan menyentuh hati. Namun tidak bisa dibilang “bagus” karena penuturan cerita yang membingungkan, dunia fiksi yang terlalu “bohong”, dan hubungan antar karakter utama yang terlalu instan. @ristiirawan rates 7/10.

Peringatan Konten: The King: Eternal Monarch mengandung adegan kekerasan seperti pertarungan tangan kosong atau menggunakan pistol dan pedang, serta pembunuhan. Adegan sensual tidak terlalu banyak, hanya c*uman. 

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?

Resensi Film: The Finest Hour (2016)

Resensi FIlm: The Finest Hour (2016)

The Finest Hour, film yang diangkat dari kisah nyata, mengajarkan arti ketaatan, tanggung-jawab, dan keberanian yang sesungguhnya. Filmnya disusun dengan baik, sampai-sampai dua tokoh di fim ini: Bernie Webber (Chris Pine) & Ray Sybert (Casey Affleck) terlihat sungguh keren. Sukses membangkitkan rasa kagum dari penonton.

Bernie Webber sendiri adalah seorang penjaga pantai yang bernyali kecil. Bagusnya film ini, sutradara Craig Gillespie tidak membuang waktu menceritakan sejarah Bernie mentah-mentah, tapi menyisipkannya ke dalam dialog-dialog para figuran. Penonton bisa mengira Bernie bernyali kecil, karena pernah gagal dalam menyelamatkan sebuah kapal, sehingga ia terus dihantui rasa bersalah. Bernie menemukan seorang gadis, Miriam (Holliday Granger) yang luar biasa dominan, tidak seperti wanita pada umumnya.

Ketika sebuah badai hebat menghantam mereka, ada 2 kapal tank yang terbelah menjadi dua. Namun karena beberapa faktor, seluruh bantuan terfokus pada 1 kapal saja. Kapten Daniel Cluff (Eric Bana) yang diragukan karena orang baru, memerintahkan Bernie untuk berangkat menyelamatkan kapal tank yang lain. Misi ini dinilai mustahil dilakukan, tetapi Bernie tetap patuh dan berangkat untuk menyelamatkan kapal tank tersebut, hanya bermodalkan dukungan 3 orang lain (yang sebenarnya tidak sepenuhnya mendukung).Di sisi lain, tank yang tanpa bantuan itu berusaha mengulur waktu di bawah pimpinan Sybert, yang bukan orang favorit seantero kapal. Apa boleh buat, karena mereka kehilangan kapten mereka. Lewat sosok Sybert inilah kita melihat bagaimana kerennya seorang yang “biasa saja”, bisa menjadi “luar biasa”, karena dia benar-benar mengenal bidangnya, dalam hal ini kapal yang ia cintai. Sybert berhasil mengulur waktu, dan Bernie yang awal mulanya dicap sebagai orang tak bernyali, justru membuktikan bahwa di tengah cibiran dan kemustahilan, ia tetap teguh dan menyelamatkan belasan nyawa.

Bisa dibayangkan, cukup sulit pasti membuat film yang settingnya hanya di laut dalam kegelapan badai. Tetapi The Finest Hour tampil cukup meyakinkan, meskipun tampaknya tidak ada satupun karakter di film ini yang takut tenggelam atau bisa mabuk (mungkin karena mereka pelaut?) meski sudah digoncangkan ombak sedemikian hebat. Setting tempat yang relatif sedikit ini juga mungkin sempat menimbulkan kebosanan bagi penonton yang tidak betah menyaksikan film dengan pemandangan itu-itu saja. Bagian awal filmnya juga terasa agak bertele-tele. Selain itu, ada beberapa adegan yang seharusnya bisa dibuat lebih mengharukan, tetapi momennya terlewat karena kurang diperhatikan. Pembagian durasi untuk plot ceritanya kurang merata. Nilai 7/10 @ristiirawan.

Resensi Film: Fathers & Daughters (2015)

Buat yang “father-less” atau kangen sama Papanya, kalau nonton film ini pasti nangis bombay. Makna yang terkandung di dalamnya juga cukup menohok: bagi seseorang yang kehilangan figur Bapa, pasti ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa ditutup begitu saja.

Ceritanya sederhana, tapi berkat akting Russell Crowe, Amanda Seyfried serta Kylie Rogers, filmnya jadi hidup dan cukup menyentuh hati. Setting waktunya campuran antara masa kini dan flash back; hanya dengan berfokus pada dialognya kita bisa menyadari pergantian waktu yang ada. Seorang penulis terkenal, Jake Davis (Russell Crowe) kehilangan istrinya dalam sebuah kecelakaan. Selain kehilangan istrinya, ia juga menderita sakit psikis. Ia harus berjuang untuk tetap memiliki hak asuh anaknya, Katie (Kylie Rogers/Amanda Seyfried), melawan sakit psikisnya, kebobrokan ekonomi dan saudara iparnya sendiri yang ingin mengadopsi Katie.

Fokus film ini ada dua, yang pertama adalah perasaan seorang Ayah yang harus berjuang menanggung semuanya sendiri; dan perasaan seorang anak yang (akhirnya) tumbuh besar dengan kerinduan kepada Ayahnya yang tidak pernah kesampaian. Film ini menunjukkan bagaimana keluarga memberikan efek besar bagi seseorang dalam mencari cintanya di masa depan dengan cara melankolis. Cerita sampingan, pekerjaan Katie sebagai seorang psikolog yang menangani anak yatim piatu juga menjadi sisi yang pas untuk menunjukkan bagaimana Katie menilai Ayahnya secara tidak langsung. Sayang sekali, chemistry antara Katie dan Cameron malah kurang terbangun; sehingga kurang tersampaikan ke penonton mengapa Katie akhirnya bisa menyadari ia mencintai Cameron — selain karena Cameron mengidolakan Ayahnya dan juga penulis. Selain itu, ada hal2 yang seharusnya bisa dibangun klimaksnya sehingga lebih dramatis. Nilai 7/10 @ristiirawan

 

.

Resensi Film: The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 (2015)

maxresdefault

Bukan film yang terbaik dari seri “The Hunger Games”, tetapi tetap punya daya tariknya tersendiri. Film “The Hunger Games” terakhir yang juga film paling lemah dari semuanya. Jika bukan penggemar yang mengikuti franchise ini, pastilah merasa bingung dan hambar. Namun bagi fans setianya, Part 2 ini merupakan salam perpisahan yang melegakan.

*SPOILER ALERT*

Setelah Part 1 ditutup dengan sangat mencengangkan, yaitu Peeta dicuci otak dan jadi ingin membunuh Katnis; Part 2 dilanjutkan dengan momen Peeta yang benar-benar sudah berubah 180 derajat. Katniss kali ini harus berjuang meyakinkan Distrik 2 untuk menyerah, karena Distrik 2 adalah pusat persenjataan Capitol. Setelah itu, pasukan pemberontak di bawah pimpinan Presiden Coin, sudah semakin kuat dan segera menyerang Capitol. Tetapi tidak semudah itu, karena Katniss semakin menyadari bahwa Presiden Coin tidak jauh beda dengan Presiden Snow. Jadi, siapa yang sedang bermain dan dipermainkan?

Kekuatan The Hunger Games memang ada pada cerita aslinya yang ditulis oleh Suzanne Collins. Filmnya sendiri mampu melengkapi apa yang ada di imajinasi pembaca.Meski sungguh disayangkan, sutradara Francis Lawrence terlalu bertele-tele pada momen-momen yang kurang penting, yang membuat durasi film 2 jam 16 menit terasa lama. Memang sih, penonton tidak keberatan untuk menyaksikan setting,properti, make-up dan kostum yang bagus; tetapi hal ini mengakibatkan alur ceritanya menjadi kurang greget. Justru kali ini, pusat cerita terlalu banyak berfokus pada dilema suara hati dan politik yang dialami Katniss. Seharusnya, lebih banyak waktu digunakan untuk menceritakan perjuangan skuadron menemani Katniss hingga ke Capitol; agar ketika banyak dari mereka yang terbunuh; penonton bisa lebih merasa kehilangan.

Untungnya, khas film The Hunger Games, selalu ada momen-momen mencengangkan dan diakhiri dengan dramatis. Jennifer Lawrence sekali lagi berhasil membawa suasana itu ditangkap oleh penonton. Akting lewat ekspresi mukanya sungguh luar biasa berkarakter. Josh Hutcherson juga berhasil tampil memukau, meski porsinya tidak terlalu banyak. Setidaknya chemistry mereka berdua tetap terasa kuat.

Pada akhirnya, sekali lagi, cerita lah yang menjadi kekuatan The Hunger Games; bagaimana Primrose — alasan kenapa Katniss bisa masuk di Hunger Games, demi menggantikan adiknya — tetap mati pada akhirnya.  Bagaimana perbedaan prinsip, tanpa perlu dibicarakan, mengakhiri hubungan antara Gale dengan Katniss; bagaimana presiden Snow & Katniss — musuh abadi  — justru menjalin satu pengertian atas hal yang sedang terjadi; serta betapa banyak orang yang sudah mati berkorban (Finnick, hu hu hu… ). Ketika hal-hal yang essensial dalam buku ini bisa divisualisasikan dengan baik dalam sebuah film; maka itu cukup. Jangan lupakan soundtracknya yang juga sangat membangun nuansa film ini. Secara keseluruhan, jelas bukan film terbaik The Hunger Games, tapi tetap film yang mampu menggerakan emosi penonton. 7/10. @ristiirawan

Resensi Film: Spectre (2015)

bond1

Sulit mempertahankan kesuksesan franchise yang hitungan umurnya sudah per dekade. Adaptasi harus mengikuti kemajuan jaman, dan akhirnya James Bond harus berhadapan dengan era di mana semua informasi kita akan dapat diketahui onlineno privacy. Masa lalumu, di mana kamu berada dan apa yang sedang kamu lakukan, semuanya mudah diketahui lewat kemajuan teknologi.

Sejak dibintangi oleh Daniel Craig, meski awalnya dihujani caci-maki karena dianggap secara fisik tidak cocok; Craig justru membawa karakter James Bond menjadi lebih dalam, gelap, berwibawa, dan garang; tidak hanya sekedar agen rahasia flamboyan yang doyan cewek. Dalam Spectre, karakter Bond berubah menjadi semakin pendiam dan misterius. Hal ini cocok dengan pemilihan soundtrack “Writing’s on the Wall” yang dinyanyikan Sam Smith sebagai opening credit; mungkin adalah soundtrack Bond yang paling mellow. Ceritanya pun memang semakin dalam menyentuh aspek kehidupan pribadi dan masa lalu James Bond. Mengejar hantu dari masa lalunya. Sayang sekali, Christoph Waltz sebagai antagonis di sini masih kurang seram.

Film mahal ini dari awalnya sudah memukau, bayangkan berapa banyak budget yang dihabiskan hanya untuk mengambil adegan festival orang mati di Mexico. Terasa mewah berkat setting tempat, properti, serta cinematography dan editing film yang cantik. Bagi penggemar action Bond, banyaknya perkelahian tangan kosong di film ini juga menjadi momentum tersendiri untuk menunjukkan bahwa Bond memang jagoan di lapangan. Namun, dibandingkan film terdahulunya, boleh dibilang secara plot cerita “Spectre” ini terasa sangat lambat dan hambar. Naskahnya juga dangkal dan tidak secerdas film-film pendahulunya. Naskah juga mempengaruhi bagaimana chemistry Madeleine Swann diperankan oleh Lea Seydoux, dengan Bond masih kurang terbangun — dibandingkan dengan Bond Girl lain yang namanya juga disebut dan tersirat “dicintai Bond”: Vesper Lynd. Padahal bisa dibilang Seydoux memiliki wajah yang sangat berkarakter.

Secara keseluruhan, tidak seperti opening creditnya yang mempesona (pemilihan tema gurita cukup mikin merinding), film Spectre ini justru terasa kurang membuat deg-degan, kurang membuat cemas, kurang menyedihkan, dan sebagainya. Jika tidak digarap dengan budget besar (yang otomatis membuat segala audio visual dan efek menjadi bagus), mungkin tidak akan menjadi semenarik sekarang. Anyway, satu lagi pembuktian (terakhir), bahwa Daniel Craig pantas menjadi Bond. He looks so HOT in this movie *___* 7/10 @ristiirawan

NErH2l9ZK6C6uv_1_b

Resensi Film: The Little Prince (2015)

Apa yang paling penting bukan apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang dirasakan oleh hati.

“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.”
― Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

Apa yang paling penting bukan apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang dirasakan oleh hati.

“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.”
Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

IMG_9590

Trailer film ini SANGAT luar biasa bagus. Selain editing videonya yang keren, musik layar dari Richard Harvey & Hans Zimmer bikin merinding banget. Cerita tentang THe Little Prince ini diambil dari buku berjudul sama, karya ANtoine de Saint-Exupery (I haven’t read the book, anyway). Sudah pernah dibuat menjadi layar lebar, dan kali ini di tangan Mark Osborne berubah menjadi sebuah film sastra yang cantik.

Untuk menonton film ini, kita harus memahami bahwa film ini bercerita tentang imajinasi anak-anak. Di mana setiap orang pernah menjadi anak-anak, tetapi cenderung melupakannya. Seorang gadis kecil (Mackenzie Fox) dan Ibunya (Rachel McAdams) bertekad masuk ke sekolah ternama. Mereka adalah orang yang sangat teratur dan terjadwal dengan detail. Seperti pada masyarakat umumnya, mereka sangat amat disiplin waktu dan terencana. Namun, gadis kecil tersebut mulai “keluar dari jalurnya” setelah bertemu dengan tetangganya yang eksentrik, seorang Kakek (Jeff Bridges). Si Kakek menceritakan tentang “The Little Prince”, seorang pangeran dari sebuah asteroid B-612.

Pangeran kecil tersebut merawat sebuah mawar; namun karena mawar itu egois; akhirnya ia berpindah ke asteroid-asteroid yang lain. Ia bertemu dengan Raja, Businessman, Orang Sombong; dan akhirnya bertemu dengan Penerbang yang terdampar di padang pasir. Dalam prosesnya, Pangeran kecil juga bertemu dengan Rubah liar, dan ular. Semua tokoh-tokoh di dalam cerita ini sebenarnya adalah perumpamaan dari tipe-tipe manusia, serta hubungan antar manusia.

Yang paling berkesan bagiku adalah ketika Pangeran Kecil terkejut ternyata ada banyak bunga mawar, lantas ia mulai bertanya, apa istimewanya mawarku? Jawabannya ada pada quotes di bawah ini:

“It is the time you have wasted for your rose that makes your rose so important.”
Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

yang artinya: “Waktu yang kamu habiskan buat mawarmu lah yang membuat mawarmu menjadi begitu penting”.

Selain itu, ada rubah yang tadinya liar kemudian dijinakkan; melalui film ini juga diingatkan bahwa ketika kita sudah dekat dengan seseorang, atau dalam kasus ini binatang peliharaan; maka kita harus bertanggung-jawab pada hidupnya. Karena setelah menjadi jinak, maka rubah itu akan terikat pada kita. (OK, saya jadi teringat kucing saya yang tertinggal di rumah lama. Don’t worry Silky, I will come everyday to get u back home).

Nah, cukup bahas ceritanya. Secara film, mungkin banyak penonton yang akan bengong dan sulit menangkap arti ceritanya; karena batas antara imajinasi dan kenyataan tidak jelas. Itu saja bagi orang dewasa; apalagi bagi penonton muda. Jelas film ini meskipun animasi, tidak ditujukan untuk anak-anak. Animasinya tidak diragukan lagi, luar biasa bagus dan spesial. Karena tidak seperti animasi pada umumnya, gambaran-gambaran di sini seolah-olah terbuat dari prakarya tangan, crayon, seni kertas, dsb. Musiknya tidak bisa diragukan lagi, ISTIMEWA. Sebuah film yang bisa dibilang, agak “nyentrik”, tapi indah. Nilai 7/10.

Resensi FIlm: Sicario (2015)

Minggu ini memang banyak film-film bagus yang tayang. Salah satu pilihan film action yang agak muram adalah Sicario. Jenis film yang butuh perhatian tinggi saat menontonnya (jika tidak ingin pulang sambil bertanya2: tadi ceritanya apa sih?). Yang paling mudah diingat dari film ini justru musik ilustrasinya, yang menggunakan suara tuba dengan efek slide (am I wrong?). Lumayan bikin merinding.

12

Apa bedanya FBI dan CIA? Hal ini penting diketahui dulu sebelum nonton film ini. Kita sudah sering menonton film agensi rahasia (biasanya CIA) yang asal mengejar penjahat dan memakan banyak korban, rasanya kok mudah banget mengorbankan penduduk sipil ya? Nah.. di film ini, seorang agen FBI bernama Kate Macer (Emily Blunt) yang terbiasa bergerak sesuai prosedur, ditawari dan akhirnya sukarela terjun dalam sebuah misi misterius di perbatasan Amerika dengan Meksiko. Ia harus bekerja dengan Matt Graver (Josh Brolin), penasehat pertahanan & hukum, lalu dengan sosok misterius Alejandro (Benicio del Toro). Misi ini cukup bikin Macer frustasi, karena ia tidak tahu apa tujuan sebenarnya, dan mereka melakukan banyak tindakan ilegal.

*SPOILER ALERT*

Inti ceritanya adalah adanya bos dari mafia narkoba yang sudah terlau banyak menciptakan banyak masalah dengan membunuh banyak orang di Juarez, dan menciptakan banyak polisi korup. Salah satu korban adalah mantan jaksa penuntut Alejandro. Singkat cerita, Alejandro yang kehilangan istri & anaknya dengan cara sadis, menjadi bagian dari CIA dan memiliki motif kuat untuk menyelesaikan masalah ini. Caranya adalah menciptakan kekacauan yang membuat bos dipanggil menghadap BOS UTAMA. Namun sesuai dengan hukum, CIA tidak bisa bekerja sendiri tanpa adanya campur tangan dari agen domestik, yaitu FBI. Di situlah Kate Macer “dimanfaatkan”. Pada akhirnya Kate Macer harus menandatangani dokumen yang melegalkan tindakan mereka, atau dibunuh “demi kebaikan”.

Pada akhirnya, tidak peduli kita berdiri di pihak mana, dibutuhkan tindakan ilegal untuk menciptakan keseimbangan, atau ketenangan. Di sinilah, hati nurani manusia mulai kacau, karena batas benar atau salah menjadi buram. Film ini membiarkan penonton menerka-nerka sendiri siapa sebenarnya tokoh yang mereka tonton, apa sejarah mereka, apa tujuan mereka, dan apa maksud perbuatan emreka. Jadi jika tidak menyimak baik-baik dialognya, dipastikan tidak akan paham dengan apa yang sedang terjadi. Memang harus diakui ini film berkualitas, tetapi karena tidak semua orang bisa menikmati film ini, jadi hanya nilai 7 dari 10 bintang. @ristiirawan

Review: Maze Runner: The Scorch Trials

Baru sempat tulis review dari film-film yang kutonton bulan ini. Salah satunya yang agak basi (telat reviewnya) adalah yang ini. Enjoy ^^

Maze Runner: The Scorch Trial adalah sekuel dari Maze Runner yang tayang pada tahun 2014 lalu (Lihat Review di sini: Review Maze Runner (2014)). Maze Runner cukup berhasil tampil beda dari teman-teman young adult lainnya seperti Hunger Games & Divergent karena “dark tone”nya. Dalam sekuelnya, Thomas (Dylan O’Brien) bersama teman-temannya berhasil keluar dari The Maze, dan diselamatkan oleh segerombolan orang bersenjata. Awalnya Thomas dkk lega karena berhasil lolos dari organisasi WICKED, yang mereka duga sebagai dalang dari semuanya. Tetapi perjalanan mereka tidak semulus yang mereka harapkan, sekali lagi mereka harus berjuang menyelamatkan diri, bukan lagi dari The Maze yang tertutup, tapi dari lahan terbuka — yang entah apa saja rintangannya.

** SPOILER ALERT **
NOTE: Tulisan di bawah ini mengandung spoiler.

maze-runner-2-the-scorch-trials-2015-concept-poster-wallpaper-72962

Setelah menyadari bahwa yang menolong mereka juga bagian dari WICKED, maka mereka keluar dari “zona nyaman”, dan harus berhadapan dengan zombie, badai petir, bahkan sesama manusia yang mencoba menjual mereka kembali ke WICKED. Misi mereka adalah menemukan The Right Hand, organisasi yang konon menentang WICKED dan membantu menyelamatkan anak-anak yang imun terhadap penyakit suar. Teresa (Kaya Scodelario) dikembalikan ingatannya ketika di zona nyaman, dan ternyata nantinya justru akan menjadi kunci kegagalan mereka.

Sepanjang film, penonton terus diajak menduga-duga, “apa yang akan terjadi? apalagi yang akan muncul?”. “Penasaran” adalah senjata ampuh dari film ini, terutama bagi penonton yang belum pernah membaca bukunya. Boleh diakui, memang alur cerita Maze Runner cukup membangun rasa penasaran yang tinggi. Meskipun sempat jatuh, karena munculnya penyakit suar yang mengakibatkan manusia menjadi zombie. Yahh.. masyarakat sudah mulai bosan dengan para zombie! Sempat menjadi “The Walking Dead” versi modern, untungnya sutradara Wes Ball tidak berlama-lama berfokus pada zombie, tetapi melanjutkan pada peperangan antar manusianya sendiri.

Masih dengan casting yang sama, Min Ho (Ki Hong Lee) kembali mencuri perhatian, bahkan mungkin lebih menonjol dari tokoh utamanya sendiri. Selain Min Ho, beberapa karakter lama agak tidak terekspos, demi memunculkan karakter baru seperti Brenda (Rosa Salazar) dan Aris (Jacob Lofland). Setidaknya dengan banyaknya casting lama dan baru yang bercampur, penonton bisa mengenali para tokohnya dengan mudah karena skrip dan editing yang bagus.

Dari segi cerita dan casting memang termasuk standar, tidak terlalu istimewa; namun Maze Runner: The Scorch Trials punya setting, properti, efek visual dan audio yang menakjubkan. Di beberapa adegan pun penonton sempat terlonjak kaget, khawatir siapa yang akan mati berikutnya, serta merasakan capek. Perasaan capek ini juga diakibatkan oleh tensi film yang terus-menerus tegang sejak awal hingga akhir film. Karena ceritanya bersambung, bisa dibilang sekuel berikutnya sudah pasti akan tetap laku. Secara keseluruhan, Maze Runner: The Scorch Trials tetap asyik ditonton, tidak se-pintar film pendahulunya, tetapi lebih menegangkan. Seandainya film ini muncul sebelum film zombie2 merebak, pasti kesannya bisa lebih bagus. Overall 7/10.

Resensi Film: Mission Impossible: Rogue Nation (2015)

mi 1

Setelah MI: Ghost Protocol (2011) sempat ada rumor bahwa tongkat estafet akan diserahkan dari Ethan Hunt (Tom Cruise) ke William Brandt (Jeremy Renner) mengingat usia Cruise yang sudah semakin tua, diragukan untuk bisa melakukan aksi-aksi stunt. Namun rumor tersebut terhapus bersih setelah dalam MI: Rogue Nation kali ini, Cruise melakukan stunt yang tidak kalah spektakuler dari film-film sebelumnya. Tampaknya sutradara Christopher McQuarrie (yang mensutradarai Jack Reacher yang dimainkan oleh Tom Cruise juga) cocok dengan Tom Cruise.

Sebagai Ethan Hunt, Cruise mendominasi MI: Rogue Nation. Ia menjadi nyawa dari franchise MI, dan sekaligus membuktikan bahwa dirinya masih mampu menjadi agen rahasia yang jenius, kuat, serta super berdedikasi. Kali ini Hunt bergelantungan di pesawat terbang yang mengudara, terjun bebas ke pusaran air, menahan nafas 3 detik dalam air bertekanan tinggi, kebut-kebutan dalam mobil, dan kalau tidak cukup, masih ada balap motor yang keren. Semuanya ini tampak bagus karena visual efek dan editing (Eddie Hamilton) yang benar-benar bagus. Apalagi soundtrack yang dikerjakan oleh Joe Kraemer juga terasa megah, tanpa menghilangkan tema orisinil lagu MI.

Secara cerita, mungkin MI: Rogue Nation terasa “biasa saja”, tidak setajam film sebelumnya. Plot cerita yang disajikan pun tidak terlalu susah untuk ditebak arahnya. Humor yang menjadi bumbu franchise MI juga tidak serenyah biasanya, meskipun tetap berhasil membuat penonton tertawa, terutama berkat Benji Dunn (Simon Pegg). Selain Ethan Hunt, Benji, Brandt (Jeremy Renner), & Luther (Ving Rhames) yang merupakan karakter dari film sebelumnya; ada karakter baru seperti Solomon Lane (Sean Harris) yang dengan face expression & suaranya saja terlihat antagonis.Karakter yang paling mencuri perhatian justru Ilsa Faust (Rebecca Ferguson). Selama ini karakter wanita di MI tidak bertahan lama, dan biasa tidak terlalu berkesan. Ferguson sebagai Faust mampu tampil mencolok, sepadan dengan Hunt. Apalagi adegan perkelahian dengan hanya pisau pendek, yang kontras dengan pamer teknologi sebelumya, terlihat keren. Anyway, akhirnya ada adegan realistis, di mana Faust tetap perlu melepas sepatu hak tinggi-nya, agar bisa beraksi! (LOL).

MI: Rogue Nation tampil sebagai film yang bisa disukai oleh banyak kalangan meskipun tidak secemerlang film pendahulunya. My score is 7/10. @ristiirawan

Catatan khusus: kota Jakarta disebutkan dalam film ini, dengan mengaitkan kecelakaan hilangnya satu pesawat dengan ulah teroris yang dilakukan Lane.

MESSAGES BEHIND THE MOVIE
* Bad: Don’t trust anyone (ehm.. ini termasuk good or bad message ya?). Ada satu sisi ironis dari dialog yang diucapkan oleh Ilsa Faust, bahwa siapapun pimpinan atau pemerintah atau negaranya, mereka sama saja “jahat”. Satu sisi, banyak orang yang “dibunuh” di dalam film ini, baik oleh para agen rahasia yang menjadi tokoh “baik” dalam film ini. Seolah membunuh itu tidak masalah .
* Good: Be smart. Be loyal. (LOL).