Hospital Playlist Review

Hospital Playlist dikerjakan oleh sutradara dan penulis Reply Series (Reply 1997, Reply 1994, Reply 1988). Namun karena aku belum pernah menonton semuanya, jadi aku tidak terlalu familiar dengan karya mereka. Ini pengalaman pertamaku mengikuti serial drama yang modelnya seperti ini: multi-stories tapi mengalir alami seolah tidak ada cerita utamanya. Walau tidak ada klimaksnya, serial ini jauh dari monoton. Awalnya memang aku kebingungan dengan banyaknya karakter (susah tau, ngafalin nama korea!). Tokoh utamanya ada 5 orang; belum lagi para pemeran pembantu yang berada di sekitar mereka yang memiliki porsi adegan sendiri; jadi jumlah karakternya benar-benar BANYAK. Seni yang luar biasa dari penulis & sutradaranya untuk bisa membuat serial drama dengan pemeran sebanyak itu (seperti di dunia nyata) tapi tetap berhasil membuat penonton terkesan dengan semua karakternya.

Meskipun awalnya sempat bingung dengan banyaknya tokoh, tetapi semakin ke belakang, aku semakin terhanyut dengan kehidupan 5 tokoh cerita, yaitu:

  1. Lee Ik-Joon (Cho Jung-Seok): tipikal orang supel yang bisa bergaul dengan siapa aja, selalu membuat suasana hidup dengan kekonyolannya
  2. Ahn Jeong-Won (Yoo Yeon-Sook): dokter berhati malaikat
  3. Kim Jun-Wan (Jung Kyoung-Ho): favorit aku!!! Kata-katanya selalu tajam (tapi benar). Namun di balik itu dia punya kepedulian tinggi, hanya tidak menunjukkannya.
  4. Yang Seok-Hyeong (Kim Dae-Myung): introvert tapi yang mempersatukan teman-temannya
  5. Chae Song-Hwa (Jeon Mi-Do): satu-satunya wanita di kelompok ini dan almost perfect
Kim Jun-Wan yang selalu pakai pakain forma dari antara mereka berlima!

Pemilihan latar belakang dunia kedokteran memang daya tarik. Kita jadi tambah pengetahuan di bidang kedokteran (sayangnya footnote tulisan korea di layar tidak diterjemahkan, jadi aku pakai acara googling segala!). Apalagi para dokter ini punya hobi nge-band dan setiap latihan mereka selalu membawakan lagu yang asyik-asyik. [trus Kim Jun-Wan keren banget main gitarnya]. Cari di mana:  kumpulan dokter spesialis, masih muda, cakep-cakep, pintar main musik pula?!  

Apalagi kalau Kim Jun-Wan lagi main gitar… *_*

Lagu yang aku suka dalam film ini adalah: I Knew I Love (Jeon Mi Do), Aloha (Cho Jung Seok), Me to You, You To Me (Mido and Falasol). Pastikan kalian mendengarkan lagu-lagu ini ya, bagus! Sungguh mengapresiasi para pemain dan pembuat filmnya yang mau repot-repot menyajikan latihan band mereka sampai terasa asli (bahkan ada view seperti dari camera handphone/ gopro).

Film ini memang bukan jenis yang bisa diterima oleh semua orang dengan gembira, selain karena durasi 1,5 jam/ episode yang (mungkin) terlalu panjang; juga karena banyak penonton serial Korean Drama lebih suka drama romantis; sementara film ini ceritanya lebih ke kehidupan sehari-hari. Tidak ada adegan yang membuat berdebar-debar, terlalu menegangkan, atau sangat-amat menyedihkan. Intinya tidak ada dramatisir keadaan.

Hal yang membuatku sangat menyukai film ini adalah atmosfer yang menyenangkan! Senang rasanya melihat persahabatan mereka berlima yang terasa hangat dan terkadang lucu (beneran bikin ketawa terbahak-bahak!); serta perjuangan para dokter dengan para pasien yang menyentuh hati. Kisah cinta yang ada di film ini mungkin mudah ditebak, tetapi kesabaran penulis dan sutradara untuk menahan kisahnya sampai akhir bisa dibilang strategi bagus. Adegan flash-back ditampilkan di momen yang tepat dan masuk akal. Setelah menyelesaikan episode 12, aku juga langsung memutar kembali episode 1; dan semuanya tetap terasa menyegarkan karena banyak detail yang sebelumnya tidak aku pahami.

Hospital Playlist sukses menduduki peringkat ke-9 film terpopuler dalam sejarah TV Kabel di Korea. Season 2 katanya akan disiarkan tahun 2021. Semoga segera rilis ya! Masih banyak cerita yang menggantung, nih.

Resensi Serial TV: Forever Season 1 (2014-215)

Rated 9/10!

forever2

Forever. Selamanya.
Begitulah hidup dr. Henry Morgan (Ioan Gruffudd), abadi. Setiap kali ia mati, ia akan menghilang dan “terlahir kembali” alias muncul dari air. Meskipun tokoh utamanya berbau fiktif, tetapi ceritanya sendiri justru lebih ke arah ilmiah. Henry Morgan bekerja di ruang mayat, di mana ia mengautopsi dan menyelidik penyebab setiap manusia itu meninggal. Ketika ia bertemu dengan detektif Jo Martinez (Alada De La Garza), mulailah peran penting Henry dalam menyelidiki kejahatan di New York; berdasarkan kecerdasan ilmiah & pengalaman hidupnya selama 200 tahun. Tentu saja, keabadian Henry adalah rahasia. Hanya Abe (Judd Hirsch) dan mantan istrinya, Abigail (Mackenzie Mauzy) yang mengetahuinya.

Serunya film ini adalah kita diajak untuk mengetahui seluk-beluk suatu kejadian, dalam film ini mayoritas adalah pembunuhan, dari kondisi mayat korban. Penjelasan Henry pun lebih berbau seperti “Sherlock Holmes”. Jadi bagi yang menyukai film kedokteran atau detektif, pasti suka dengan serial ini. Pertanyaannya selalu, “Siapa ya yang membunuhnya? Bagaimana cara membunuhnya?”. Drama dalam film ini pun mendapatkan porsinya tersendiri, lewat hubungan Henry dengan temannya masa sekarang, seperti Lucas (Joel David Moore) asistennya, dan partnernya, detektif Jo. Lebih dalamnya lagi, drama hubungan Henry dengan orang-orang di masa lalunya pun turut terungkap episode demi episode. Jangan lupakan musuh utamanya, Adam; yang sama-sama abadi.

Berikut daftar episode di Forever:

  1. Pilot
    Awal mula perkenalan Henry dengan detektif Jo. Munculnya musuh utama, si Adam secara misterius. Kasus pembunuhan masinis kereta, yang berakhir dengan matinya semua penumpang, akibat dendam.
  2. Look Before You Leap
    Seorang wanita bunuh diri, menjatuhkan diri dari jembatan. Guess what, itu bukan bunuh diri.
  3. Fountain of Youth
    Ketika manusia ingin awet muda dan mulai menghalalkan berbagai macam cara, yang akhirnya malah bikin otaknya rusak dan mati. Ujung-ujungnya ada yang dibunuh demi menjaga rahasia.
  4. The Art of Murder
    Ini adalah salah satu episode favoritku, karena BUKAN pembunuhan. Plus cerita dramanya bagus, kasih tak sampai.
  5. The Pugilist Break
    Episode yang berbau politik, bahwa sejarah terus terulang. Penguasa yang tamak memakan orang kecil. Pembunuhan pun terjadi kepada orang-orang yang melawan.
  6. The Frustrating Thing About Psychopaths
    Ini episode paling menyeramkan, paling penuh darah, karena ada psikopat yang mencontek cara-cara pembunuhan tersadis berdasarkan….. komik.
  7. New York Kids
    Anak SMA beranjak dewasa, tapi tidak semuanya sukses hidup bahagia, karena ada pembunuhan di masa lalu mereka yang menyeret salah satunya menjadi korban pembunuhan di masa kini.
  8. The Ectasy of Agony
    Sedikit mengingatkan akan 50 shades of grey, karena membahas dominan-submisif. Henry bertemu dengan wanita yang menarik baginya.
  9. 6 AM
    The show must go on. Bagi penggemar musik, tema episode kali ini tentang musik. Hak cipta musik, nama besar, kejayaan, dan semacamnya. Ajaibnya Henry bisa tahu yang dibuat membunuh adalah senar nada G, wew.
  10. The Man in the Killer Suit
    Bayangkan jika orang yang akan kita nikahi ternyata jati dirinya palsu. Akankah kita juga mempercayai cintanya asli?
  11. Skinny Dipper
    Episode yang menunjukkan kecerdasan Adam. Adam berhasil memanipulasi Henry.
  12. The Wolves of Deep Brooklyn
    Ketika pelaku pembunuhan adalah orang kaya raya yang bisa membayar orang lain untuk mengakui dosanya.
  13. Diamonds Are Forever
    Episode ini banyak menyinggung mantan suami dari detektif Jo. Termasuk episode favoritku ke-2; karena di episode ini ada adegan masa lalu Henry bertemu dengan Pastor di penjara. Lantas pastor tsb mengatakan bahwa ia ada di dalam penjara jelas karena sebuah alasan (meskipun bukan untuk membenarkan dosanya), yaitu ada untuk Henry. Agar Henry sadar bahwa apa yang ia miliki adalah anugerah, bukan kutukan. (how sweet..)
  14. Hitler on the Half-Shell
    Semua jelas tahu bahwa Hitler suka mengumpulkan barang seni, yang mungkin jatuh ke tangan keturunan-keturunan kaki tangannya. Dalam episode ini, ada adegan yang menggelitik adalah bahwa si anak merasa tidak suka Ayahnya membagikan barang seni dengan cuma-cuma, padahal hidup anaknya sendiri susah.
  15. The King of Columbus Circle
    Hal yang penting yang dibuka di sini adalah garis keturunan di atas Abe.
  16. Memories of Murder
    Wanita yang menarik bagi Henry kembali muncul di sini.
  17. Social Engineering
    Episodenya jadi lebih modern sedikit, karena menyinggung kriminalitas di dunia teknologi.
  18. Dead men Tell Long Tales
    Termasuk episode yang dramanya bagus, karena di sini menceritakan ketakutan terbesar Henry, ia merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan banyak budak yang sekapal dengannya saat ia dibunuh.
  19. Punk Is Dead
    Kehidupan anak band punk.
  20. Best Foot Forward
    Episode dengan narasi terbaik. Setiap manusia pasti tahu bahwa dunia ini menyakitkan. Tapi ada orang-orang yang menggunakan rasa sakit itu untuk menciptakan sesuatu yang indah (seni), dan menjadi abadi (melalui karya seninya). Episode ke-2 dalam musim ini yang BUKAN pembunuhan.
  21. The Night in Question
    Pada Episode ini dibuka lah nasib Abigail. Apa yang terjadi dengannya.
  22. The Last Death of Henry Morgan
    Judulnya cukup membuat kita penasaran. Nah.. lebih baik tonton sendiri dulu (jika belum nonton) ^^

Resensi Film: Gone Girl (2014)

gone girlll

Gone Girl dinominasikan untuk best performance by an actress in leading role (pemeran utama wanita). Selain itu, juga dinominasikan dalam Golden Globe: Sutradara: David Fincher, Screenplay Writer: Gilian Flynn, dan Original Score: Trent Rezno & Atticus Ross. Memang Gone Girl layak untuk masuk nominasi!

Gone Girl menceritakan sepasang suami-istri, Nick Dunne (Ben Affleck) dan istrinya Amy (Rosamund Pike). Nick adalah seorang penulis, sementara Amy terkenal sebagai “Amazing Amy” yang cerita hidupnya ditulis oleh orang tuanya. Amy adalah “idola” bagi masyarakat: cantik, pintar, lulusan di berbagai universitas terkenal; hidupnya sempurna. Pada awalnya hubungan mereka begitu manis dan romantis; bahkan mereka berpendapat bahwa apapun yang terjadi, pernikahan mereka tidak boleh menjadi seperti orang-orang pada umumnya yang penuh tuntutan, dll. Namun ketakutan mereka pun justru terjadi tanpa mereka sadari, keadaan mulai berubah setelah Nick kehilangan pekerjaannya. Ketika keadaan sudah semakin runyam, justru kepribadian asli mereka muncul, menunjukkan siapa sebenarnya diri mereka.

Film berdurasi 149 menit ini adalah film drama yang mencekam karena sisi psikologisnya. Dalam film jenis ini, penonton sulit menebak, siapa “dalang” dan siapa “korban”. Serunya ada pada bagian menebak-nebak apa yang sebenarnya ada di pikiran para karakternya. Sebaiknya menonton film ini TANPA spoiler dahulu, sehingga saya juga tidak akan membocorkan cerita terlalu banyak di resensi ini.

Rosamund Pike memang keren! Di menit-menit awal saja, hanya dengan ekspresi wajah dia menoleh, ada rasa seram yang merambati penonton (creepy!). Selain memang Amy adalah tokoh sentral dalam film ini, Pike memang mampu menghidupkan karakter Amy dengan sangat baik. Dari penampilan fisik, gaya bicara, hingga tatapan mata. Chemistry dengan Ben Affleck juga sangat terasa. Affleck sendiri memang memiliki wajah yang cocok untuk memerankan sosok Nick Dunne yang “galau”. Sementara pemeran figuran, Neil Patrick Harris juga sangat cocok dengan peran yang dibawakannya.

Gilian Flynn menulis cerita yang luar biasa bagus; tetapi David Fincher juga sutradara yang mampu menciptakan “kondisi” yang kondusif, sehingga kekuatan masing-masing karakter dapat keluar total — bukan semata karena usaha para artisnya. Ketegangan dapat terbentuk dengan baik berkat soundtrack yang sangat mendukung: tidak berlebihan tapi diam-diam menghanyutkan. Secara keseluruhan, film ini patut mendapat nilai 9/10 @ristiirawan. Buktinya, meski durasinya panjang, saya tidak menguap sedikit pun, dan terus penasaran akan penyelesaian ceritanya seperti apa. Setelah selesai, saya masih memikirkan sosok “Amazing Amy”; bahkan merenungkan film tsb.

MESSAGES
* Bersyukurlah pasangan hidupmu bukan psikopat (hahaha).
* Pernikahan tidak seindah bayangan awal, semuanya harus dilakukan dengan usaha keras.
* Cinta atau lebih tepatnya obsesi bisa jadi sangat mengerikan. (Pada akhirnya, sulit menilai apakah kelakuan Amy itu cinta atau obsesi?).
* Karakter orang yang sebenarnya baru akan keluar setelah berada dalam keadaan “susah”.
* Selalu ada 2 sisi cerita.

gone-girl

Resensi Film: Interstellar (2014)

intbanner

Banyak sutradara+penulis yang memiliki imajinasi super tinggi, tetapi tidak banyak yang mampu “menceritakannya” sebaik Christopher Nolan. Terinspirasi dari teori fisika Klip Thorne, Nolan bersama saudaranya mampu menulis cerita science-fiction yang sebenarnya tidak mudah dicerna orang awam, tetapi berhasil membuat emosi penonton tercampur-aduk. Sejak awal munculnya promosi Interstellar, Nolan & tim produksi sangat menutup rapat plot cerita — yang justru semakin bikin orang penasaran. Setelah munculnya trailer, banyak yang bertanya-tanya akan jadi film seperti apa Interstellar ini; karena kalau hanya sekadar science-fiction tentang NASA dan semacamnya, jelas bukan barang baru. Tetapi, Nolan dan timnya berhasil membuat Interstellar tidak sekadar science-fiction yang memusingkan, tetapi juga yang sarat makna.

Tidak diceritakan tepatnya kapan, tapi yang pasti keadaan alam di bumi semakin parah, selalu ada badai debu dan kesulitan menanam, sehingga membuat banyak orang terpaksa menjadi petani, agar manusia tidak mati kelaparan. Salah satunya adalah Cooper (Matthew McConaughey), mantan insinyur dan pilot NASA, yang terpaksa hidup di rumah petani bersama Ayah almarhum istrinya, putra dan putrinya, Murphy (Mackenzie Foy, Jessica Chastain). Cooper tidak sengaja menemukan markas NASA yang sekarang bekerja secara rahasia, melalui koordinat “gaib” yang ditemukan Murphy di kamarnya. Cooper akhirnya berangkat dalam misi luar angkasa bersama Amelia Brand (Anne Hathaway), putri dari Prof. Brand (Michael Caine). Mereka harus mempertimbangkan mana planet yang harus dikunjungi untuk menjadi calon bumi kedua, hingga akhirnya memilih apakah akan meninggalkan manusia di bumi untuk mati demi misi “menyelamatkan spesies manusia dari kepunahan”.

Nolan berhasil membuat penonton merenungkan pesan tentang kemanusiaan yang hendak disampaikan. Manusia kadang bisa sangat mulia, melakukan suatu misi demi keberlansungan hidup spesiesnya, namun di satu sisi sangat jahat karena tidak segan untuk membunuh individu atau populasi manusia tertentu. Sejatinya manusia juga akan keluar ATAU manusia bisa menjadi jahat jika naluri bertahan hidupnya terancam. Kemampuan manusia yang tertinggi selain bertahan hidup juga adalah mencintai, rasa cinta yang belum bisa dihitung secara ilmiah, tetapi bisa dipastikan bahwa ada. Nolan juga mengeksplor perasaan manusia sebagai makhluk sosial — yang tidak mampu hidup tanpa manusia lain.

Aktor dan aktris pemeran film ini juga sangat memukau lewat akting kelas tingginya. Matthew Mcconaughey telah menjelma menjadi mega-bintang, bahkan Anne Hathaway seperti biasa selalu berhasil membuat penonton terharu. Aktris cilik Mackenzie Foy juga semakin baik aktingnya. Yang paling mengejutkan adalah peran Matt Damon di film ini (sorry tidak bisa membocorkan lebih lanjut). Robot TARS (Bill Irwin) maupun CASE (John Stewart) di film ini juga sangat humoris, menghibur. Selain casting, dari setting, grafis, sampai visual efek, semuanya memang dikerjakan dengan budget yang tidak sedikit untuk hasil yang luar biasa. Tetapi yang perlu mendapatkan applause secara khusus adalah Hans Zimmer. Dengan keunikannya, ia berhasil membuat soundtrack film tidak hanya sebagai suara latar-belakang saja, tetapi juga hal penting untuk membuat penonton semakin emosional. Buktinya, soundtrack Zimmer berhasil membuat penonton menangis hingga ikut deg-degan.

Setelah membahas dari sisi film, marilah kita mencoba mencerna apa makna “tersembunyi” dalam film ini. Berbicara tentang ilmiah, pada akhirnya yang penting bukanlah udara, air, tanah, atau gravitasi, melainkan waktu. Sudah berapa banyak film Hollywood yang bersuara bahwa “waktu” adalah komoditas yang paling berharga? Tentunya, setelah beputar sana-sini, ujungnya yang menjadi Tuhan adalah manusia itu sendiri. “The End of The Earth Will Not Be The End Of Us” — tagline percaya diri yang mencerminkan kesombongan manusia. Tidak hanya kitab suci saja, tetapi Hollywood pun turut memperingatkan bahwa akhir jaman sudah hampir dekat, terlihat dari tema-tema novel dan film dystopia yang semakin banyak. Dalam interstellar, manusia-lah, tanpa bantuan Siapa atau siapa-pun, berhasil melampaui akhir jaman, dengan menjamah ke planet baru atau memecahkan teori relativitas dan semacamnya; intinya manusia semakin pintar. Setujukah Anda dengan filosofi film ini? Anyway, secara bisnis dan ilmu dunia perfilman, Interstellar berhak mendapatkan rating tinggi. 9/10 @ristiirawan

MEMORABLE SCENES

Worst Scene: babak-babak awal yang agak lambat

Best Scene:

* Ketika Cooper & Brand kembali ke pesawat dan menemukan Romily yang mengatakan, “Aku sudah menunggu selama 23 tahun!” (shock).
* Ending film yang memperlihatkan dr. Brand

MESSAGES: Baca paragraph terakhir

Resensi Buku: The Fault In Our Stars by John Green (spoiler alert!)

Sebelum terlalu banyak spoiler yang kubuka, intinya adalah buku ini adalah satu dari buku kisah percintaan remaja yang tidak ada zombie, vampire, dan mutan di dalamnya. Yang ada hanyalah kisah tentang gadis yang paru-parunya bermasalah dengan laki-laki yang hanya berkaki satu. Meskipun mengangkat kisah tentang kanker dan terinspirasi dari tokoh nyata alm. Esther Earl, kisah ini adalah fiksi — seperti yang ditulis dengan sangat jelas oleh John Green (“This book is a work of fiction. I made it up”).  Saya baca e-book bahasa inggrisnya, dan menemukan bahwa buku ini lebih enak dibaca dalam terjemahan aslinya, karena banyak kata-kata lucu yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berasa aneh. Contohnya: “cancer perks”, terjemahan Indonesia : kemudahan kanker? tunjangan kanker? (waduh!). Selain isi buku, cover buku yang didesain oleh Rodrigo Corral juga mampu menarik perhatian. Covernya sederhana tapi memiliki kesan yang kuat. Gambar awan dan perpaduan warna biru-putih-hitam.

2014-06-28 10.55.24

Kisah ini diceritakan dari sudut pandang Hazel Grace, seorang remaja yang mengidap (awalnya) kanker thyroid tetapi sudah menyebar ke paru-paru, sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters, seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris kesalahan cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten.

Di bawah ini akan banyak spoiler, jadi kalau belum baca bukunya, lebih baik jangan melanjutkan baca review ini.
SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!

Kata-kata “The Fault In Our Stars” hanya muncul sekali di dalam buku, ketika Hazel Grace mengutip Shakespeare, “The fault, dear Brutus, is not in our stars, but in ourselves, that we are underlings”. Artinya “Kesalahan, Brutus sayang, bukan di bintang-bintang kita, tetapi pada diri kita sendiri, bahwa kita adalah bawahan.”

Apa yang membuat kisah ini terasa “nyata” — meskipun hanya fiksi — dan dapat membuat pembacanya menangis tersedu-sedu?

1. Ada kisah di dalam kisah

John Green dengan cerdas menyisipkan kisah di dalam kisah. Ketika kita membaca kisah Hazel-Augustus, mereka juga sedang membaca buku lain, kisah lain dalam AIA & The Price Of Dawn. Kita dapat memahami “penasaran”nya Hazel Grace terhadap AIA, karena kita juga ikut penasaran ketika menemukan penjelasan AIA berhenti di tengah kalimat. Secara psikologis, John Green mengajari kita menyukai bukunya, seperti Hazel-Augustus menyukai buku-buku mereka. Bahkan ada pesan tersembunyi, ketika Peter Van Houten menolak menceritakan kehidupan tokoh-tokoh lain setelah Anna meninggal; sama seperti mungkin John Green menyampaikan pendapatnya tentang kisah setelah The Fault In Our Stars ini tamat.

2. Siapa menyangka Augustus Waters akan mati duluan?

Sejak awal kita “ditipu” bahwa Hazel akan mati duluan. Bahkan memang dalam ceritanya, Hazel mengira ia yang akan mati duluan. Kita sudah bersiap-siap kalau Hazel mati. Kita jadi tidak sabar ketika Hazel tidak jujur terhadap perasaannya ke Gus. Sedihnya, John Green sukses memutar-balikkan cerita dengan membunuh Augustus Waters.

3. Karakter Augustus Waters & Hazel Grace

Augustus Waters adalah orang yang luar biasa baik dan manis, diragukan apakah masih ada orang seperti itu di dunia ini. Tetapi John Green mampu mengimbangi karakter ini dengan menciptakan Hazel Grace. Atau sebaliknya. Pada bagian akhir yang paling menyedihkan adalah bahwa Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan dari akhir buku itulah semuanya menjadi cocok. Mengapa Augustus bisa menyukai Hazel dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.

Well done, John Green. You have crushed our heart — successfully. 9/10.

My favorite lines from The Fault In Our Stars:

1. Then he pulled me to him and, his face inches from mine, resolved, “I’ll fight it. I’ll fight for you. Don’t you worry about me, Hazel Grace. I’m okay, I’ll find a way to hang around and annoy you for a long time”. I was crying. But even then he was strong, holding me tight that I could see the sinewy muscles of his arms wrapped around me as he said, “I’m sorry. You’ll be okay. It’ll be okay. I promise,” and smiled his crooked smile.

2. “I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”

3. “I don’t ever want to do that to you,” I told him.
“Oh, I wouldn’t mind, Hazel Grace. It would be a privilege to have my heart broken by you.”

4. “Animals are just too cute?” Gus asked.
“I want to minimize the number of deaths I am responsible for,” I said.

 

Resensi Film: How To Train Your Dragon 2 (2014) – SPOILER ALERT!

Tidak banyak sekuel film animasi yang melebihi atau minimal sama suksesnya dengan film pertama. Tetapi sepertinya sutradara Dean DeBlois bersama DreamWorks mampu terbang tinggi bersama Toothless. Sekuel How To Train Your Dragon tidak menambahkan subtitle pada judulnya, tetapi hanya membubuhkan angka 2. Dalam trailernya, kita sudah mengetahui bahwa Hiccup akan bertemu dengan Ibunya, serta naga raksasa yang jauh lebih besar dan garang daripada jenis Night Fury seperti Toothless.

how-to-train-your-dragon-2-poster1-690x1024

*SPOILER ALERT*

Ketika trailernya terlihat sudah sangat jelas “membocorkan” plot cerita, pertanyaan yang muncul adalah: “Apalagi yang akan disajikan di filmnya?”, maksudnya dengan cerita yang sudah ketahuan sejak awal, apakah mungkin film ini bisa tampil dengan kejutan lainnya? Jawabannya adalah YA, YA, dan YA. Cerita kali ini lebih dewasa daripada sebelumnya, dan memang sangatlah pas karena Hiccup sudah beranjak dewasa, di mana waktu dalam film itu adalah 5 tahun setelah Hiccup menjadi pengendara naga yang pertama. Ia sedang mencari jati diri, karena ia merasa tidak pantas menjadi kepala suku seperti Ayahnya. Bahkan ia heran dengan dirinya sendiri, karena sangat berbeda dengan Ayahnya. Hiccup lebih suka terbang bebas bersama Toothless membuat peta dibandingkan harus mengurus desa. Tetapi keadaan berubah ketika ada segerombolan orang yang berusaha menangkap naga dan merusak kedamaian. Akhirnya Hiccup mulai menemukan apa yang menjadi panggilannya.

Hiccup & Toothless di atas peta
Hiccup & Toothless di atas peta

Emosi penonton berhasil diombang-ambingkan dengan sangat baik. Kontras permainan psikologis penonton berhasil membuat HTTYD2 ini sukses membawa senyum lebar, tawa gembira, amarah, air mata, dan kesedihan. Setelah bahagia melihat persatuan manusia dan naga di Berk, penonton harus melihat naga-naga mereka  berubah menjadi jahat. Setelah bahagia melihat reuni Hiccup (Jay Baruchel), Stoik (Gerald Buttler) dengan Valka (Cate Blanchett), harus bersedih karena Stoik terbunuh. Lebih parahnya, yang membunuh adalah Toothless yang dipengaruhi oleh Sang Naga Alfa. Persahabatan Hiccup-Toothless sangat terasa, terutama setelah Toothless hampir tenggelam (yang tetap membuat kita ngeri– meskipun kita tahu Toothless tidak mungkin mati).

Naga Alfa Yang Jahat
Naga Alfa Yang Jahat

Selain permainan emosi yang sangat sukses di atas, adegan-adegan animasi disusun dengan sangat berkarakter. Tidak ada karakter yang terasa “sia-sia” dalam film ini, semuanya memiliki peran tersendiri dan membekas di ingatan. Bahkan ketika Hiccup berbicara dengan Astrid (America Ferrera), kita tetap dapat melihat Toothless bermain dengan Stormfly di belakangnya. Karakter para naga terlihat lucu dan menarik, karena mirip dengan gabungan antara anjing dan kucing. Kita bisa melihat betapa mesranya para manusia dengan naganya. Selain itu, film scoring dari John Powell sangat mengangkat mood penonton. John Powell dapat menggabungkan nuansa musik yang berbeda-beda, sehingga musik dalam film ini pun tidak membosankan. Contohnya saja saat Hiccup masuk ke wilayah asing, secara gambar tidaklah terlalu menyeramkan, tetapi musik John Powell benar-benar sukses membuat merinding.

Para tokoh manusia di How To Train Your Dragon
Para tokoh manusia di How To Train Your Dragon

Secara keseluruhan, How To Train Your Dragon 2 adalah sekuel yang lebih dewasa, indah, lucu menyenangkan, menarik, mengharukan dan menyentuh hati. Tidak ada satu pun adegan dalam HTTYD2 yang tidak berarti. Satu-satunya kekurangan adalah betapa cepat dan mudahnya Hiccup menerima kematian Ayahnya. My Score is 9/10. @ristiirawan

Figur domba yang juga jadi lelucon di sepanjang film
Figur domba yang juga jadi lelucon di sepanjang film

Resensi Film: X-Men: Days of Future Past

9/10! Why? Because I’m a fan of X-Men franchise and I’m glad that they reboot the stories; yang artinya mutan-mutan yang kemarin diceritakan sudah “mati” dapat kembali terlihat.

Jika Anda belum menonton ke-6 film sebelumnya, berikut penjelasan pendeknya:

1. X-Men (2000): cerita berfokus pada Rogue (Anna Paquin) yang akan digunakan sebagai “senjata” oleh kubu Magneto (Ian McKellen), sehingga Professor X (Patrick Stewart) berusaha menggagalkannya. Di sini Wolverine (Hugh Jackman) masih lupa ingatan dan tidak tahu masa lalunya.

2. X-2: X-Men United (2003): Kubu mutan di film ini bersatu karena memiliki musuh yang sama. Muncul nama William Stryker sebagai orang yang tahu masa lalu Wolverine.

3. X-Men: The Last Stand (2006): Jean Grey (Famke Janssen) bangkit sebagai Dark Phoenix; membunuh Cyclops (James Marsden) dan Professor X; dan demi menyelamatkan banyak individu, baik mutan maupun manusia; Wolverine harus membunuh wanita yang dicintainya ini.

4. X-Men Origins: Wolverine (2009): Cerita tentang masa lalu Wolverine dan cakarnya bisa menjadi andamatium karena ia adalah eksperimen dari William Stryker.

5. X-Men: First Class (2011): Waktu kembali pada jaman dahulu, ketika Charles Xavie, Erik Lehnsherr, Raven/Mystique (Jennifer Lawrence) masih muda dan bersahabat. Hingga pada akhirnya semua memilih jalan masing-masing.

6. The Wolverine (2013): Kembali menceritakan Wolverine pasca kejadian di X-Men: The Last Stand. Wolverine berpetualang di Jepang, menemukan teman lama yang nantinya justru mematahkan cakar Wolverine.

xmen2

Demi kepentingan bisnis, Franchise X-Men yang memiliki fanbase besar ini harus di”reboot” dari awal agar memungkinkan jaringan cerita tanpa membuang tokoh-tokoh mutan yang populer. Tanpa reboot, tentunya kita masih ingat bahwa di The Last Stand ada banyak mutan populer yang mati atau kehilangan kekuatannya. Film bermula dengan kekelaman yang ada di masa depan, di mana bangsa mutan dan manusia di ambang kepunahan, karena program sentinel yang membunuh banyak mutan dan manusia yang terdeteksi dapat menghasilkan keturunan mutan. Program sentinel ini dimulai oleh Ilmuwan Trask (Peter Dinklage). Dengan bantuan Kitty (Ellen Page), Logan/Wolverine (Hugh Jackman) harus kembali ke masa lalu.  Lompatan waktu yang dilakukan Wolverine ke masa lalu, memang membuat film ini menjadi lanjutan dari X-Men: First Class. Logan harus menemui Charles (James McAvoy) & Erik (Michael Fassbender) untuk mencegah program sentinel dimulai. Tetapi yang membuat rumit adalah Charles muda tidaklah seperti Charles masa tua. Charles masa muda bukan Professor X yang bijaksana, melainkan seorang pemuda yang kehilangan harapan. Logan harus berjuang keras untuk menyadarkan Charles sembari menyelesaikan misi utamanya. Selain cerita utama tentang mutan, di sini Mystique (Jennifer Lawrence) juga mendapat sorotan lebih, dilema psikologis yang ia alami dan pilihan-pilihan yang harus ia ambil.

Xmen_Tout_Photos
Mystique (Jennifer Lawrence) in action

Secara konsep cerita, penonton yang kritis mungkin akan bingung dengan time-line yang dihadirkan Bryan Singer. Karena terakhir kita tonton di The Last Stand, Professor X sudah tiada karena Jean Grey. Tidak pernah dijelaskan dalam film ini, bagaimana Professor X bisa “ada” di masa depan. Untuk penonton baru, mungkin akan lebih bisa menerima apa yang disajikan, karena toh mereka tidak pernah tahu apa yang sudah terjadi di film-film sebelumnya. Bagi penonton lama, mungkin akan ada kekecewaan karena takut film-film yang sebelumnya akan terhapus, karena perubahan sejarah. Namun untungnya, Bryan Singer menyisipkan ingatan-ingatan Wolverine untuk memastikan penonton bahwa film-film terdahulunya tetap terjadi. Memang Wolverine adalah penyambung dari seluruh film X-Men, pantaslah kalau Hugh Jackman meminta bayaran tinggi dan bahkan mengancam untuk pensiun. Tampaknya pihak Fox harus menyiapkan rencana cadangan agar tidak “diperas” oleh Hugh Jackman (LOL).

Berbicara tentang Hugh Jackman sebagai Wolverine, salah satu keunggulan casting dari film ini adalah banyak pemeran yang setiap memerankan satu tokoh dalam seri X-Men; sehingga penonton tidak kesulitan untuk mengenali mereka. Meskipun begitu, mungkin dikarenakan bayaran mereka yang semakin mahal, tokoh seperti Storm (Halle Berry), Kitty (Ellen Page), Rogue (Anna Paquin), dll tidak lagi mendapat banyak scenes. Sebagai penghiburan, dimunculkan tokoh-tokoh mutan yang baru, seperi Blink (Bingbing Fan), Bishop (Omar Sy), dll. Salah satu mutan baru yang tampil cukup menonjol adalah Quicksilver (Evan Peters) — yang sangat dimungkinkan muncul spin-off movie’nya. Semoga dengan reboot yang dilakukan oleh Fox ini tidak berujung pada kejemuan atau terlalu terpaku dengan alur cerita yang terus berputar-putar. Banyaknya tokoh dalam bahan-baku-dasar alias cerita asalnya bisa jadi senjata makan tuan. Sulit memang untuk membahagiakan penonton X-Men, karena setiap orang pasti memiliki jagoan/mutan favoritnya sendiri-sendiri. @ristiirawan

quicksilver-days-of-future-past
Wolverine (Hugh Jackman), Magneto (Michael Fassbender), Charles Xavier (James McAvoy) & Quicksilver (Evan Peters)

Resensi Film : The Raid : Berandal (2014)

Kesuksesan The Raid tentunya masih segar di ingatan penonton Indonesia. Meskipun tidak disutradarai oleh orang Indonesia, tapi film ini mengambil setting tempat dan pemeran di Indonesia. Gareth Evans membuktikan bahwa kecintaannya pada seni bela diri Indonesia mampu digambarkan dengan baik melalui film The Raid. Kesuksesan tersebut membuka jalan lebar bagi sekuelnya, The Raid 2 : Berandal.

Image
Masih memboyong Iko Uwais & Yayan Ruhian sebagai aktor sekaligus koreografer. Rama (Iko Uwais) memutuskan untuk menjadi polisi yang menyusup ke jaringan mafia, demi membalaskan dendam kakaknya, sekaligus menunaikan tugas mulia sebagai polisi. Rama harus berteman dengan Ucok (Arifin Putra — yang ganteng sekali *kya*), anak dari Bangun (Tio Pakusodewo) yang bekerja sama dengan pihak Jepang. Demi mensukseskan misinya, Rama harus menghadapi pertarungan demi pertarungan (BANYAK pertarungan).
 
Image
Kekuatan seri The Raid memang ada pada sajian bela dirinya. Setelah banyak menyorot pencak silat pada prekuelnya, kali ini Gareth Evans memasukkan gaya yang berbeda, seperti penggunaan rencong, palu, tongkat baseball, dsb. Bisa dijamin, semua penonton akan terbengong-bengong menyaksikan adegan tarung yang luar biasa bagus! Ditunjang dengan make-up yang bagus, penonton akan ikut “ngeri” dan berteriak setiap ada darah yang muncrat. Ya.. memang film ini tidak cocok bagi orang yang tidak suka dengan kekerasan dan darah. (NB. Pastikan sudah makan sebelum menonton)
 
Gareth Evans juga menambahkan unsur sensual yang sama sekali tidak ada di The Raid 1, di mana kali ini ada figuran dancer cewek, bahkan para istri juga mendapat sedikit porsi, dan…. setidaknya ada 1 petarung yang berjenis kelamin wanita, yaitu Julie Estelle yang kali ini tidak main bersama Kuntilanak tapi menjadi Hammer girl (kemajuan!) Sisi drama pun dikembangkan dengan lebih baik, ketika penonton lebih dapat merasakan sisi drama lewat hubungan ayah-anak, yang hanya sebentar, tapi membekas dengan baik.
Image
 
Setiap sinematografi bagian yang di-zoom juga sangat cocok penempatannya, seperti penonton ikut ngeri melihat sekrup penahan pintu yang pelan-pelan terlepas, tetesan air, ataupun leher yang digorok pelan-pelan (hiiiiy..!!) Bahkan boleh dibilang, setiap setting tempat berbeda-beda sehingga meskipun banyak adegan tarung, setidaknya penonton tidak akan bosan karena tempatnya berpindah-pindah — berbeda dengan The Raid 1 yang hanya bersetting di 1 bangunan. Adegan balapan mobil bahkan sampai menghancurkan halte bus pun boleh dibilang cukup “wow” meskipun tidak se-“wow” film Hollywood yang bombastis. Sound department juga mengerjakan PRnya dengan baik. Setiap efek suara dapat terdengar dengan jelas, bahkan menambah suasana menjadi lebih menegangkan. 
Image
Tetap yang paling harus diacungi jempol adalah para pemeran dari film ini, terutama Iko Uwais yang aktingnya sudah jauh amat sangat berkembang dari sebelumnya. Pemeran lainnya pun sudah dapat dipastikan tidak kalah buruk, seperti Yayan yang kali ini tidak jadi “mad dog” tapi sebagai Ayah sekaligus pembunuh handal.  Dalm film ini… mendadak semua orang jago tarung dan tidak takut mati. Wondering… apakah memang semua polisi Indonesia sejago ini?? I don’t think so.
 
Image
Satu kekurangan nyata dari film ini adalah.. meskipun bersetting di Indonesia, sepertinya Tim Produksi tidak bisa lepas dari kostum mafia pada umumnya, yaitu jas formal, yang agak tidak cocok digunakan di Indonesia. Lebih lucunya lagi, sepertinya mereka juga lupa kalau Jakarta tidak bersalju. Entah apa pemikiran yang mendasari salju-salju dan pakaian di film ini, yang pasti hal ini sedikit merusak tatanan yang sudah ada. Plot cerita yang ada juga tidak bisa dibilang tanpa cela, karena ada bagian yang membingungkan penonton karena minimnya informasi yang diceritakan padahal banyak karakter baru yang terlibat. Mungkin ada beberapa penonton yang ketika keluar dari bioskop masih tidak benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi, siapa di kubu siapa, siapa mengadu domba siapa. Durasi 2 jam 30 menit sepertinya agak terlalu kepanjangan dapat menyebabkan penonton merasa “lelah” dengan sajian pertarungan yang serius. Namun secara keseluruhan, jelas The Raid 2 merupakan film action yang sangat pantas untuk dipuji. 9/10. @ristiirawan
 

Movie Review : Lone Survivor (2014)

20140203-095718.jpg

Dibuka dengan potongan-potongan video dan foto mengenai pelatihan para marinir Amerika dengan kombinasi teknik kamera, membuat penonton dapat mengetahui betapa beratnya proses pembentukan prajurit SEAL. Pada kenyataannya, memang tidak banyak orang yang dapat menuntaskan pelatihan militer tsb.

Judul film ini sendiri telah membuka bagaimana nasib 4 orang anggota SEAL yang dikirim dalam Operasi Sayap Merah. Sebuah kisah nyata yang diadaptasi dari buku yang ditulis Marcus Luttrel, satu-satunya anggota yang selamat. Ia sempat dilindungi oleh warga asli Afganistan, Gulab, karena tradisi ribuan tahun (diceritakan pada epilog film — jawaban dari kenapa Gulab bersedia menolong Marcus; dan bukan sekadar karena karma ia tadinya tidak membunuh gembala kambing). Sutradara Peter Berg sangat efisien mengerjakan film ini, dengan budget yang tidak besar dan beberapa pemain bekerja dengan harga discount, film ini berubah menjadi sebuah tontonan yang menyentuh hati.

Jauh dari kesan glamour dan bombastis yang biasanya ada dalam film-film perang, Lone Survivor lebih down to earth, menceritakan perang lewat pandangan orang yang terlibat di dalamnya. Permainan emosi mampu dilakukan Berg dengan sempurna. Ketika dialog-dialog ringan tentang pacar/istri prajurit, bahkan tentang kuda, dan tarian plonco seorang anggota newbie diselipkan di sana-sini pada bagian awal hingga tengah, penonton merasa rileks dan terhibur. Setelah penonton menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka dan bersimpati pada keakraban para prajurit, digeber lah adegan-adegan misi yang membuat hari mencelos. Plot cerita yang efektif!

Para pemeran utama : Mark Wahlberg, Taylor Kitsch, Emile Hirsch, Ben Foster juga menunjukkan performa yang maksimal. Raut wajah mereka, gerakan tubuh, nada suara, semuanya terasa kompak. Bahkan hanya perdebatan mereka mampu membawa penonton merasakan ketegangan suasana. Para pemeran sampingan seperti Ali Sulaiman, Sammy Sheik, sebagai kaum Afganisthan juga sangat meyakinkan. Terutama Nicholas Patel sebagai anak kecil yang mampu menunjukkan ekspresi polos dengan cemerlang. Tidak dilupakan pula Eric Bana dan Alexander Ludwig, meski hanya peran kecil tapi membekas di ingatan.

Stunt film ini tentu juga patut mendapatkan penghargaan, karena banyak adegan jatuh yang membuat penonton mengerenyit. Sinematografi jauh dari kesan mahal, tapi justru membuatnya terasa nyata, penonton merasa sakitnya peluru dan patahnya tulang! Tim make-up juga membuktikan keterampilan mereka dalam permak wajah para prajurit yang penuh luka. Meski sayang kostum dan propertinya kadang terlihat palsu.

Yang membuat film ini semakin terasa menegangkan adalah departemen suara. Bagaimana mereka menempatkan kapan suara yang benar-benar hening harus ada, sehingga membuat suasana mencekam tepat waktu. Bahkan setiap suara yang ada terasa begitu natural dan membangun suasana.

Secara keseluruhan, Lone Survivor adalah film sederhana dan apa-adanya yang justru mampu menyentuh hati, membuat penonton merasakan ikatan persaudaraan yang kuat, dilema dan problem dalam peperangan, serta perjuangan yang sesungguhnya dari seorang prajurit lapangan. My score is 9/10.

20140203-102805.jpg

Movie Review : The Wolf Of Wall Street (2014)

20140126-224543.jpg

Kolaborasi Martin Scorsese sebagai sutradara dan Leonardo Dicaprio sebagai aktor telah menghasilkan karya-karya dashyat seperti The Aviator dan Shutter Island. Memasang nama mereka bersama sudah seperti jaminan mutu bagi film The Wolf Of Wall Street (TWOWS). Apalagi dengan sumber kisahnya sendiri yang memang menarik, yaitu kisah nyata perjalanan hidup Jordan Belfort, broker saham yang fenomena.

TWOWS dibuka dengan narasi Leonardo Dicaprio sebagai Jordan Belfort yang sedang bercakap-cakap dengan penonton. Dari sini saja, script dialog dan akting Leonardo sudah langsung mencuri perhatian penonton. Perpindahan timeline dan setting cukup berjalan mulus, meski tidak dibarengi dengan narasi yang konstan, sehingga mungkin akan sedikit membingungkan beberapa penonton, ditambah dengan minimnya petunjuk waktu. Keterangan waktu yang ada sering kali hanya disisipkan dalam dialog (jadi perhatikan dialognya baik-baik). TWOWS patut diacungi jempol dalam menyusun dialog yang hidup, bahkan gelora motivasi dapat tersampaikan dengan baik. Meski untuk kata-kata tidak senonoh dan umpatan terasa terlalu berlebihan dan agak mengganggu.

Casting film pun terasa tidak ada yang kurang. Semua pemeran sangat cocok berada di tempatnya, dari aktor dan aktris utama hingga figuran. Leonardo Dicaprio sudah tidak diragukan lagi, memang aktor kaliber oscar. Meski pernah memerankan Gatsby, yang juga orang kaya, sebagai Jordan ia mampu menjadi sosok yang memang harus berbeda. Dengan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang detail, Leo mampu membawakan tokoh Jordan yang visioner. Margot Robbie yang berperan sebagai Naomi, love affairs Jordan, sangat memukau dan sexy luar dalam. Tokoh sahabat Jordan, terutama Jonah Hill sebagai Donnie Azoff mampu menandingi akting Leonardo dengan sangat alamiah. Martin McConaughey pun tampil membekas, meski hanya di bagian awal. Rasanya tidak mungkin para aktor dan aktris itu mampu berakting dengan baik, apabila tidak ada pengarahan dari sutradara Martin Scorsese.

Beberapa bagian film dan sinematografi terasa sangat orisinil. Meski sudah berkali-kali melihat banyak film dengan adegan teler, TWOWS menghadirkan sensasi yang berbeda dengan tata kamera yang bagus. Kelemahan film ini adalah durasinya, yang membuat beberapa penonton tidak terlalu betah duduk manis menonton repetisi tingkah laku teler ataupun cuap-cuap Jordan lagi. Kadang-kadang setiap adegan kadang terasa agak tidak “nyambung” dan terkesan “messy”, layaknya aneka macam makanan yang diaduk menjadi satu. Kejatuhan Jordan sendiri kurang mendapat porsi yang cukup, sehingga kita akan lebih banyak melihat kesuksesan dan kebahagiaannya, dibandingkan usaha dan penderitaan serta akibat yang harus dialaminya. Secara keseluruhan, film rating dewasa (mendapatkan sensor yang lumayan banyak di Indonesia sepertinya) ini memang mengangkat tema yang perlu diketahui dan direnungkan oleh semua orang, terutama yang bergerak di saham dan sales. Pantas untuk masuk ke dalam nominasi Oscar. My score is 9/10

@ristiirawan
ristiirawan.wordpress.com