Warrior Nun (2020)

Bumi, Surga & Neraka memang tidak ada habisnya untuk dikembangkan secara imajinatif menjadi kisah fantasi; karena pada dasarnya manusia selalu tertarik tentang after-life dan semacamnya. Biasanya cerita akan mencocokkan dengan suatu kepercayaan atau mitos tertentu. Warrior Nun memilih agama Katolik sebagai landasan ilmu “cocoklogi” (semuanya serba dicocokkan sehingga terasa masuk akal) film ini. Kenapa aku tertarik jenis film seperti ini? Karena aku pengen tahu penulis ceritanya punya gagasan apalagi yang baru tentang konsep surga-bumi-neraka dan bagaimana mereka menggunakan alkitab sebagai bahan imajinasi mereka. Terkadang imajinasi atau teori (kalau yang lebih pintar) mereka cukup memukau. Sebut saja Davinci Code yang booming sampai disebut sesat dan dilarang di berbagai gereja (please ini cuma review film, jangan debat masalah sesat atau nggak ya!) karena high-skilled cucoklogi.

Warrior Nun ini tetapi jauh dari Davinci Code, malah lebih mirip Shadowhunters: The Mortal Instruments yang juga ada di Netflix. Sayangnya, meski bukunya populer, film dan serialnya tidak sepopuler itu. Filmnya flop di pasaran. Serialnya…. aku sendiri tidak tahan menonton karena akting dan naskahnya yang kaku kaya kanebo kering. Warrior Nun diangkat dari webcomic “Warrior Nun Areala” karya Ben Dunn ini dikembangkan oleh Simon Barry untuk Netflix, menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Ava (Alba Baptista) yang telah meninggal dunia, tetapi hidup kembali karena “The Halo” lalu mendapatkan kekuatan super, seperti: menyembuhkan diri dan menembus dinding. “Halo” yang sering kita kenal sebagai lingkaran malaikat itu, ternyata adalah barang berharga yang dilindungi oleh Sekte rahasia dari Gereja Katolik secara turun-temurun selama berabad-abad. Sekte tersebut terdiri dari biarawati yang setia, berdedikasi, dan terlatih untuk melawan roh jahat dan iblis di Bumi.

Halo yang malah mengingatkanku akan “sundel bolong”, gimana dong? haha.

“Halo” biasanya dimasukkan dalam punggung seorang biarawati terpilih yang telah dilatih khusus, disebut: “The Warrior Nun”. Tetapi Ava mendapatkan “Halo” tersebut karena suatu kecelakaan, tidak biasanya peristiwa tersebut terjadi. Ava adalah yatim-piatu yang lumpuh tangan & kakinya, sehingga ketika ia hidup kembali, semua hal yang ia rasakan adalah sesuatu hal yang baru. Ava yang tidak memiliki iman yang sama dengan para biarawati, berusaha kabur dari tugasnya. Sementara Sekte sedang menghadapi konflik internal yang berbahaya, termasuk kehadiran Iblis mematikan yang memburu “Halo”.

Warrior Nun cukup membuat penasaran pada awalnya, tetapi lama-lama aku merasa bosan karena jalan ceritanya bertele-tele. Selain itu, karakter tokoh utamanya, Ava, bukan tipe yang menarik simpatik. Sulit untuk menyukai suatu serial, jika kita tidak suka dengan tokoh utamanya. Sampai hampir Season 1 berakhir, Ava ditunjukkan sebagai sosok yang sangat egois dan tidak memiliki kelebihan apapun, selain jago membuat lelucon yang menyebalkan. Bahkan sampai suatu adegan yang seharusnya membuat ia mengambil keputusan bijak, Ava tetap lari dari “panggilan”nya. Dalam hal ini, mungkin pencipta dan penulis serial ingin menyajikan cerita yang bukan klise, yang lebih relevan dengan kondisi manusia pada umumnya: kabur jika ada hal yang menakutkan. Lalu seolah tersadar, tanpa suatu alasan yang jelas, tiba-tiba Ava bersedia masuk ke dalam Sekte dan membantu rencana mereka (ya elah kenapa gak dari awal sih, ribet amat ini ceritanya). Lebih parahnya lagi, belum selesai ceritanya bagaimana, sudah ENDING SEASON 1. Are you kidding me?! Kalau memang hanya punya jatah 10 episode, kenapa tidak menuntaskan satu putaran cerita? Kenapa harus membuang-buang waktu dengan dilema dan pergumulan Ava yang memakan sekian banyak episode (terasa sia-sia)? Mungkin ini yang dinamakan strategi marketing dalam serial TV. Tidak penting kepuasan penonton terhadap ceritanya bagaimana, yang penting buat ending menggantung, supaya mereka mau menonton Season selanjutnya.

Mother Superion, My Favourite Character of this Movie.

Sebenarnya Warrior Nun memiliki potensi besar untuk membuat kita menyukai Sekte mereka yang menjunjung loyalitas dan kesetia-kawanan. Tetapi entah kenapa, aku sulit merasakan chemistry di antara para biarawati ini, meskipun karakter pendampingnya banyak yang menarik, seperti: Beatrice yang serba bisa, Mother Superion yang tegas, dll. Mungkin karena “bahaya” dalam film ini tidak terasa menyeramkan. Lalu banyak kisah yang tidak dikembangkan dan hilang, termasuk kisah Ava dengan JC (Emiliki Sakraya) yang berhenti begitu saja (sia-sia lagi..). Plot Twist yang ada juga sudah bisa ditebak siapa penjahatnya. Satu hal yang menarik adalah bagaimana penulis menggunakan ayat-ayat kitab suci menjadi judul episode dan menyelipkannya dalam setiap dialog. Bahkan di sini kita bisa melihat pandangan-pandangan orang beriman dan tidak beriman terhadap kebaikan dan kejahatan. Setidaknya dari sisi iman, film ini boleh lah usahanya.

Walaupun Parent’s Advisory Rating nya TV-MA, sebenarnya tidak ada adegan sadis yang terlalu mengerikan…. wait! memang iblis yang muncul cukup mengerikan dan bisa menusuk manusia terus kelihatan ada darahnya; tetapi menurutku tidak mengguncang jiwa, karena kita masih bisa menerimanya sebagai “Hanya Animasi”. Ada adegan percintanya, tetapi hanya sedikit dan tidak vulgar. TV-MA diberikan karena banyak adegan kekerasan yang memang tidak cocok ditonton anak-anak. Secara keseluruhan, film ini bisa menjadi hiburan jika kita suka dengan tema fantasi surga-bumi-neraka; tanpa kita perlu merasa terlalu gloomy; tetapi ya sudah.. hanya lewat begitu saja, tidak ada kesan mendalam yang ditinggalkan. Oh.. ada sih.. KESAL karena ceritanya tidak ditutup dengan baik di Season 1.

Otomatis pasti mau dong nonton Season 2?

Strategi Marketing berhasil.

Resensi Film: Point Break (2015)

Jika Anda menyukai film-film yang berlatar-belakang keindahan alam, penuh dengan scene yang cantik, serta demonstrasi adegan ekstrim; maka Point Break adalah film yang cocok. Banyak penonton yang membandingkan film remake ini dengan film aslinya tahun 1991, dan mencelanya. Namun karena aku belum pernah menonton film orisinilnya, jadi mungkin penilaianku tidak seburuk mereka.

Utah — nama populer dari Johnny, adalah seorang atlit-ekstrim, yang suka melakukan tantangan penuh adrenalin dengan taruhan nyawa. Ketika melakukan salah satu aksi liarnya, ia kehilangan sahabat karibnya. Hal ini membuat Utah banting setir, alih profesi menjadi FBI. Atasannya meragukan Utah punya komitmen untuk menjadi FBI, dan hal ini teruji ketika Utah mendapatkan kasus untuk memecahkan pencurian & perampokan besar-besaran yang didalangi oleh sekelompok atlit-ekstrim.

Secara ceritanya sebenarnya Point Break memiliki modal yang baik, tetapi sayangnya sutradara Ericson Core kurang membangun intensitas cerita, pendalaman karakter yang dangkal, dan narasi yang mentah. Hal-hal dramatis juga lewat begitu saja di film ini, padahal seharusnya bisa menjadi sosok yang mengharukan. Luke Bracey sebagai Utah pun terasa kurang mampu menunjukkan dilema yang seharusnya dialami seorang Utah. Edgar Ramirez sebagai Bodhi pun tidak bisa muncul sebagai karakter yang seharusnya memiliki pesona karena idealismenya. Kesimpulan akhir dari ceritanya pun hanyalah: begitulah jika orang terlalu fanatik dengan suatu keyakinan.

Hal yang bisa dinikmati dari film ini adalah keindahan scene yang ada. Berbagai atraksi yang heboh, seperti terjun payung yang diikuti uang berterbangan, berselancar dengan ombak tinggi, wingsuit flying, panjat tebing tanpa alat pengaman; dan semuanya dilakukan di alam terbuka dengan view yang WOW. Tidak rugi jika menonton film ini di 3D, pasti seru!

Nilai: 5/10 @ristiirawan

Resensi Film: Fantastic Four (2015)

image

Biasanya, film superhero akan dengan cepat menceritakan “kehidupan sebagai manusia biasa” alias kehidupan sebelum menjadi superhero secara sekilas saja; lalu bergegas menayangkan aksi keren para pahlawan dengan kekuatan barunya. Entah apa yang ada di pikiran para penulis & sutradara Josh Trank yang justru melakukan sebaliknya. Cerita berlama-lama di proses terciptanya Fantastic Four, yang membuat film ini lebih seperti science fiction dan bukan film superhero seperti yang diharapkan mayoritas penonton. Wajar saja jika film ini jeblok di pasaran, karena salah memangkap apa yang dicari oleh penonton. Itu…dan sama sekali tidak ada “greget”nya.

Sejak setahun lalu, rumor tidak sedap tentang film ini memang sudah terdengar. Seperti yang kita tahu, Fantastic Four ini adalah proyek reboot, sehingga tidak ada hubungannya dengan film terdahulu. Butuh kerja keras untuk bisa mengalahkan versi Fantastic Four yang sudah ada. Proyek ini sempat mundur jadwal tayangnya karena studio tidak puas dengan hasil yang ada setahun lalu, lantas mereka meminta Josh Trank untuk reshoot. Beberapa waktu yang lalu, setelah tayang, Trank sempat berkicau di twitter (yang kemudian dihapus) bahwa dia punya versi yang lebih baik setahun lalu —- tapi kita juga tidak akan pernah tahu (karena sudah dirubah jadi seperti yang sekarang). Bahkan ketidakkompakkan sutradara dengan para aktrisnya juga sempat membawa kabar angin buruk. Hal-hal di atas mungkin menyebabkan film ini menjadi berantakan.

Selain ceritanya yang sangat tidak penting (akui saja, siapa yang mau berlama-lama menyaksikan orang membangun mesin untuk ke dimensi lain?), dialog yang ada juga terasa aneh (penonton tidak sebodoh itu untuk selalu diberitahu tentang apa yang terjadi di layar kaca), akting para pemainnya juga biasa saja dan tidak ada chemistry antar mereka. Hanya Reed (Miles Teller) & Ben (Jamie Bell) yang cukup meyakinkan sebagai sahabat. Dibandingkan dengan jajaran pemain Fantastic Four yang lama, pemain baru kali ini bukannya lebih baik, malah lebih buruk. Terutama performa Kate Marra yang jauh di bawah Jessica Alba sebagai Sue.

Bahkan ketika film sudah akan berakhir, kita masih bingung apa yang hebat dari film yang lewat ini. Konflik psikologis yang ditekankan dari awal film pun menguap begitu saja, karena tiba-tiba semua bisa menerima jati dirinya yang baru setelah mengalahkan Doom (Toby Kebbell) dan menyelamatkan dunia. Lucunya, pertarungan yang seharusnya menjadi klimaks film ini, justru terasa sepele, karena hanya dengan “keroyokan” atau bahasa kerennya “bersatu”, mereka bisa menang. Secara keseluruhan, Fantastic Four kali ini jelas gagal menyampaikam tujuan mereka, karena tidak terasa seperti sebuah film yang dikerjakam dengan serius. Film ini. isa dinikmati hanya jika Anda cukup sabar dan ingin tahu apa yang terjadi dengan Fantastic Four secara sisi ilmiah. My score is 5/10 @ristiirawan

MESSAGESS BEHIND THE MOVIE

Good : Jangan pernah merendahkan orang lain, sekalipun mereka tampak konyol/bodoh. Film ini menunjukkan seorang guru yang merendahkan muridnya karena merasa ia terlalu imajinatif. Tanpa sadar, di kenidupan nyata banyak guru yang seperti ini, merasa muridnya aneh — padahal sebenarnya itu hanya karena ia tidak menyadari potensi hang dimiliki anak tsb.

Bad : Dilarang terlalu ambisius. Keinginan untuk selalu menjadi yang terutama, haus akan kekuasaan, ingin dihormati, iri hati, akan membuat kita menjadi bukan diri kita yang sesungguhnya, dan justru berakhir menuju hal yang jahat. Anyway, layaknya film Hollywood, seperti biasa juga, film ini secara eksplisit menyatakan bahwa ada kekuatan yang bisa dipakai manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri (and trust me, we can not save ourselves from the end of the world).

Resensi Film: Chappie (2015)

Agak sedikit terlambat review-nya; tapi terlalu sayang untuk tidak ditulis ^^ enjoy!

chappie-internation-poster

Kalau ada film yang temanya sangat mirip dengan film yang telah ada, otomatis pasti kita akan membandingkan film-film tersebut; dan mencari kelebihan (atau kelemahannya). Ambisi manusia di bidang robotik tentu saja menciptakan robot semirip mungkin dengan manusia, dengan kecerdasan buatan atau A.I. (Artificial Intelligence). Tema ini tidak pernah pudar dari genre science-fiction & action.

Kali ini, menyorot di sebuah kota yang kepolisiannya didukung oleh polisi droid dari sebuah perusahaan senjata. Polisi droid ini sukses membuat tingkat kejahatan turun. Droid ini diciptakan oleh Deon Wilson (Dev Patel) Semua pihak bahagia, hanya 1 yang iri, yaitu Vincent Moore (Hugh Jackman). Vincent sendiri menciptakan robot besar “Moose” yang dioperasikan oleh pilat manusia dari jarak jauh. Deon terus berupaya membuat droid yang punya kesadaran, sehingga bisa berkreasi. Namun ide Deon ditolak mentah-mentah oleh perusahaannya, sehingga ia terpaksa melanggar protokol untuk mencapai ambisinya. Keadaan menjadi runyam, ketika satu-satunya droid yang memiliki kesadaran ini diculik oleh sekelompok mafia, Ninja & Yo-Landi (Yolandi Visser). Droid bernama “Chappie” (Sharlto Copley)  ini memiliki karakter seperti anak kecil, yang harus diajari agar mengerti. Jadi bagaimana nasib robot yang harus belajar memahami manusia ini? Tonton sendiri ya 🙂

Neill Blompkamp sebagai sutradara tampaknya memilih untuk mengeksplor proses yang dialami Chappie. Chappie sendiri menjadi robot yang lucu, menggemaskan, dan membuat penonton bisa menyayanginya. Yang unik juga efek suara yang dihasilkannya sebagai robot. Prosesnya sendiri persis seperti anak manusia belajar, namun lebih cepat. Hubungan Chappie dengan Ninja, dan terutama Yo-Landi berhasil dieskspos dengan baik; bahkan cukup mengharukan. Banyak adegan “drama” yang menarik simpati, salah satunya adegan Chappie kena bully. Namun dalam film dengan genre seperti ini, penonton tidak mengharapkan hal seperti itu. Penonton yang datang mengharapkan pertarungan yang seru, sehingga mungkin tidak akan sabar menghadapi adegan drama yang terlalu bertele-tele.

Bagian awal sampai hampir akhir film ini sebenarnya semuanya sudah terlalu basi untuk sebuah film robot. Yang cukup mencengangkan dari cerita film ini ada di bagian akhir, yang menjelaskan bahwa film ini sendiri adalah sutradara Blompkamp & Terri Tatchell berusaha keras menyiarkan apa yang menjadi imajinasi mereka. Terlalu memaksakan diri untuk mengungkapkan imajinasi juga tidak baik, karena film ini kurang landasan teori. Akibatnya, hal-hal ilmiah yang terjadi di film ini tampak tidak nyata dan tidak masuk di akal. Selain hal ilmiah yang tidak logis, ada juga hal sepele yang aneh, seperti: Bukankah seharusnya untuk sekelas pencipta droid yang laku keras dia sudah bergelimang harta? Bukannya bekerja di kubikel dalam perusahaan dan tampak miskin. That’s strange.

Karakter yang diperankan Patel, Copley, Ninja, dan Yolandi justru bagus; yang dipertanyakan adalah karakter Hugh Jackman sendiri di film ini, yang tidak memberikan kontribusi berarti. Tidak dibutuhkan seorang Jackman untuk memerankan karakter Vincent di sini. Sungguh disayangkan, ide cerita ini bisa jadi lebih baik, seandainya tidak terlalu mengingatkan kita pada “Robocop”. Robocop masih jauh lebih kuat di unsur cerita. Nilai total adalah 5/10 @ristiirawan.

chappie-poster

MESSAGES BEHIND THE MOVIE

Bagi orang yang percaya dengan afterlife, di mana kita akan menerima “tubuh baru”. Film ini juga berbicara tentang hal ini, yaitu memberikan gambaran kemungkinan bahwa “tubuh baru” kita ke depannya nanti adalah robot.
Pesan tersembunyi tapi tersirat juga bahwa ada teriakan-teriakan ke Sang Pencipta, “Kalau Anda menyayangiku, kenapa memberikan aku tubuh yang bisa mati? Kalau begitu, berarti Anda tidak menyayangiku.” Manusia di dunia ini tidak abadi. Berusaha melawan hal tsb, manusia mencari solusinya lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesan yang ada di film ini justru berkebalikan dengan taglinenya: “Humanity’s Last Hope Isn’t Human”. Karena harapan yang ditunjukkan di film ini, memang bukan manusia, tapi robot yang DICIPTAKAN manusia. Do you agree? Choose wisely 🙂

Resensi Film: Mortdecai (2015)

Sudah lama nggak eksis di dunia resensi film. Mortdecai sudah selesai tayang di bioskop, jadi resensinya terlambat nih. Tapi better late than never kan? =) enjoy!

Pro: Johnny Depp is a something
Con: Don’t like comedy

mortdecai
Charlie Mortdecai (Johnny Depp) adalah seorang bangsawan aneh yang bergelut di dunia barang antik. Ia memiliki pelayan pria yang sangat loyal bernama Jock (Paul Bettany) dan istri bijaksana bernama Johanna (Gwyneth Paltrow). Mortdecai hampir bangkrut karena banyak hutang, tapi permasalahan utama dalam rumah tangga mereka justru kumis baru Mortdecai. Tiba-tiba muncul Martland (Ewan McGregor) yang meminta bantuan Mortdecai untuk menyelidiki seorang artis yang meninggal ketika tengah mengerjakan lukisan Goya.
Melihat jajaran artis yang membintangi film ini, tentunya dari sisi akting tidak ada yang meragukan. Depp terbukti, seperti biasa, mampu memerankan sosok Mortdecai yang cerdas tapi bodoh, baik tapi kriminal. Meski sangat bodoh dan ceroboh dalam urusan sehari-hari sampai harus selalu dibantu Jock, Mortdecai terbukti sangat handal mengenali lukisan antik, dan mampu mencari datanya di perpustakaan. Mortdecai sangat aneh, sehingga sulit bagi penonton untuk dapat bersimpati kepadanya. Bahkan heran kenapa istri & pelayannya bisa sangat setia dengannya. Hanya samar-samar saja kita mengetahui kalau Mortdecai polos, setia dan tidak lupa balas budi.
Tidak semua orang dapat bertahan mengikuti alur cerita Mortdecai yang berbelit-belit, seolah sutradara David Koepp sedang belajar membuat cerita komedi. Semuanya terlalu difokuskan pada kelucuan karakter Mortdecai, sehingga menjadi membosankan.  Plot dan twist yang ada pun terasa sedikit membingungkan, karena porsi cerita yang acak-acakan. Tidak tahu kapan harus memberikan “clue” untuk sisi misteri lukisan. dan kapan harus membiarkan lelucon bodoh Mortdecai mendominasi cerita. Pembagian porsi yang kurang strategis inilah yang membuat hal yang lucu menjadi tidak lucu lagi. Sungguh sayang, mengingat para pemerannya sudah memiliki chemistry yang baik, dan punya banyak potensi untuk diekspos. Untunglah menjelang paruh akhir film, alur cerita menjadi lebih cepat dan ditutup dengan drama manis pasangan Mortdecai. Berangkat dengan terbata-bata, tapi berakhir dengan tegas. Nilai 5/10 @ristiirawan.
MESSAGES
Pesan negatifnya adalah yang penting licik dan pintar, pasti akan bisa selamat dari masalah. Tapi untunglah pada akhir cerita, Mortdecai tetap menginformasikan bahwa ia menyerahkan hal yang berharga ke tangan pihak berwajib.
Pesan positif adalah…. ketahuilah siapa sahabat yang sebenar-benarnya sahabatmu, dan siapa yang bukan. Selain itu, jadilah ahli dalam sesuatu, jangan menipu, dan carilah istri yanb cerdas, LOL.

Resensi Film: The Best Of Me (2014)

120377_gal

Bukan bermaksud spoiler, tapi sebelum menonton ini, hanya dengan mengetahui bahwa diangkat dari novel Nicholas Spark, pasti sudah bisa diduga kalau 1) ada tokoh yang mati; 2) ada yang mengidap kanker. Coba cek daftar orang yang “dibunuh” oleh Nicholas Spark di: http://filmschoolrejects.com/features/valentines-day-massacre-the-official-nicholas-sparks-body-count.php

Trailer-nya sih cukup menjanjikan, khas film romantis dengan adegan-adegan di tempat yang indah dan berbunga-bunga (secara harafiah), pemeran perempuan yang cantik & pemeran laki-laki yang ganteng; soundtrack yang mendayu-dayu, dan dialog-dialog lebay yang so sweet. Sayangnya casting yang ada terasa kurang pas, karena Luke Bracey & James Marsden tidak memiliki penampilan fisik yang mirip, begitu juga dengan Liana Liberato & Michelle Monaghan. Cuma sekadar memakaikan baju yang sama tidak bisa membuat orang menjadi mirip! Secara performa, para junior justru menunjukan chemistry yang lebih bagus daripada seniornya!

Karena dasar ceritanya saja sudah sangat “Nicholas Spark”, tidak heran kalau film ini sangat melodramatis. Menceritakan tentang “cinta pertama” yang tidak kesampaian karena sikon, dan harus dipertemukan lagi dengan kondisi yang tidak memungkinkan. Pertarungan antara harapan dan realita, antara ego dan tanggung-jawab. Tidak semua orang bisa menyukai cerita-cerita Nicholas Spark, terutama bagi kaum pria. Bagi yang menyukai kisah cinta yang menyedihkan dengan bumbu kalimat-kalimat romantis seperti: “You have the best of me”, pasti nyaman-nyaman saja menonton film ini. If you are into melodramatic movie, go for it! Jika tidak, bisa dipastikan Anda tertidur menontonnya (laugh). Nilai total 5/10 @ristiirawan

121507_gal

119123_gal

Resensi Film: The Giver (2014)

Pertama denger judul film ini gara-gara ada Taylor Swift yang main didalamnya. Tapi Taylor Swift hanya tampil sekitar 3 menit saja. Jadi buat fans Taylor Swift, jangan berharap banyak. The Giver masih merupakan kisah young adult dengan tema dystopian. Dibandingkan Divergent & The Hunger Games bahkan The Maze Runner, The Giver adalah versi yang jauh lebih sederhana.

Kesamaan dystopian adalah bahwa di masa depan nanti ada komunitas baru dengan pemerintahan atau pihak pemegang otoritas yang tampak baik tapi sebenarnya jahat. Teori konspirasi. Selain itu, tokoh jagoannya pasti berusaha menggulingkan atau melawan otoritas tersebut karena dia berbeda.

The Giver tidak jauh berbeda, di mana di masa depan komunitas manusia diatur dengan sangat rapi, dibantu dengan suntikan setiap pagi, maka manusia hidup berdampingan dengan damai, teratur, dan sehat. Dunia yang murni, bersih, tidak ada kejahatan. Hanya ada 1 orang di antara mereka yang bertugas untuk memiliki ingatan tentang dunia manusia di masa lalu, disebut “the giver”. Setiap periode, ditunjuk 1 orang baru yang bertugas untuk menerima ingatan dari pendahulunya, sebagai “the receiver”.

Sutradara Phillip Noyce bersama timnya menggambarkan dunia dan perasaan komunitas baru ini dengan warna grasycale alias hitam-putih. Ketika Jonas (Brenton Thwaites) mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda, dia melihat kilasan warna di wajah teman atau pepohonan. Ketika upacara kedewasaan, Jonas terpilih menjadi “the receiver”. Ia pun mulai berlatih dengan The Giver (Jeff Bridges), dengan cara berbagi ingatan. Setiap ingatan baru membawa kesan dan perasaan emosional, penuh dengan warna-warni. Lambat laun Jonas merasa bahwa dunianya yang sekarang adalah palsu dan penuh manipulasi di bawah Kepala Tetua (Meryl Streep).

Ia berusaha memberitahu teman-temannya, Asher (Cameron Monaghan) & Fiona (Odeya Rush). Tetapi Ibunya yang ada kepala ketertiban (Katie Holmes) terus mengingatkan ia tentang aturan yang dilanggarnya. Semakin lama, Jonas semakin merasa ada yang salah dan ia ingin mengubah dunianya yang sekarang. Sampai ia mendapatkan kenangan tentang perang. Apakah dunia yg ia miliki sekarang lebih baik daripada dunia yang lama?

The Giver cenderung membosankan karena plot cerita yang terlalu lambat. Apalagi orang-orang di dalam The Giver minim tantangan, tidak seperti rekannya Divergent atau The Hunger Games dengan “bahaya” yang jelas-jelas mengintai. Konflik cerita juga tidak sedalam rekan-rekannya, sehingga apa lagi yang bisa ditawarkan The Giver? Akibatnya film pun terasa dangkal. Mungkin hanya potongan-potongan gambar cantik yang mirip seperti Nat Geo. Dari segi casting, Brenton Thwaites tidaklah buruk sebagai pemeran utama, tetapi lawan mainnya Odeya Rush masih terlalu kaku. Casting yang menonjol selain Brenton Thwaites, tentunya Meryl Streep yang seperti biasa, selalu tampil memukau. My score is 5/10. @ristiirawan

MEMORABLE SCENE
*Best Scene: Upacara Kedewasaan (keren sekali upacaranya)
*Worst Scene: Adegan Fiona hendak disuntik (seharusnya menakutkan, tapi kok tidak ya?)

MESSAGES:
Kalau yang ini agak dalam ini analisa message’nya. Yang pastinya, berkali-kali film distopia berusaha menyampaikan bahwa ada suatu oknum yang akan menguasai kita di masa depan, dan kita tidak akan bisa lari daripadanya. Kemudian film ini juga “menggoda” kita tentang iman masa depan. Membuat kita berpikir bahwa dunia kita yang sekarang ini, yang penuh emosi, adalah dunia yang lebih baik (yang diperjuangkan oleh tokoh utama). Sementara dunia yang teratur, tenteram, karena diatur oleh Atas, bukanlah dunia yang baik. Ketua Pimpinan si Meryl Streep saja berkata, “Manusia selalu salah saat diberi pilihan”. Dalam hal ini, sisi bagusnya adalah teman-teman, kita punya kehendak bebas, jadi jangan salah pilih.

TheGiver-HowFarWouldYouGo-300x300

Resensi Film: Step Up All In (2014)

Franchise Step Up ini memang memiliki fans-base sendiri, terutama dari mereka yang doyan film dance. Meskipun cerita antar filmnya tidak ada yang berkesinambungan, ramuan Step Up selalu sama: kisah cinta antar dancer cowok & cewek dibalut tantangan dance. Meski tidak meraih kesuksesan besar baik secara komersial maupun kritik, nyatanya Step Up masih dengan sukses berlanjut sampai Step Up All In. Step Up pertama dibintangi Channing Tatum dan mempertemukannya dengan istrinya saat ini, Jenna Dewan. Berlanjut ke Step Up 2, yang berfokus pada “tarian jalanan” dan Step Up 3D, hingga ke Step Up Revolution yang lebih berfokus pada fenomena “Mob”.

Step_Up_All_In_poster

Step Up All In mempertemukan cast-cast lama seperti Sean (Ryan Guzman) dari Step Up Revolution; Andie (Brian Evigan) dari Step Up 2; tokoh penghubung franchise sejak Step Up 2, yaitu Moose (Adam G Sevani) bersama love affairs Cammile (Alyson Stoner) dari Step Up 3D. Masih ada pemeran lain yang tentunya familiar di ingatan penonton lama, yaitu: Santiago Twins (Martin & Facundo Lombard), Jenny (Mari Koda), dll. Ada pula tokoh baru Alexa (Izabella Miko) & Jasper (Stephen Stevo Jones) yang cukup mencuri perhatian.

Berbicara tentang benang merah antar film, tentu yang dapat menghubungkannya hanya Moose dan memang jalur pintas pun diambil, dalam film ini Moose-lah yang mengenalkan seluruh tokohnya kepada Sean. It’s a short-cut! Pada film sebelumnya Sean bukanlah pasangan Andie, untuk menjawab pertanyaan tersebut, sutradara Trish Sie memutuskan untuk menyelipkan pembicaraan tentang mantan mereka masing-masing dalam dialog. Short-cut again!

Secara tarian, memang Step Up kali ini lebih heboh. Didukung dengan setting tempat dan (tampaknya) budget yang lebih spektakuler, memang secara mata Step Up lebih menghibur. Tetapi jangan salah, justru dengan gegap gempita itulah, beberapa tarian tampak seperti instan, dan kurang natural. Bandingkan dari Step Up awal, yang membuat kita tampak menyadari betapa susahnya untuk menari. Step Up kali ini membuat kita berpikir bahwa menari seperti sulap! Tara.. foila.. langsung jadi bagus tanpa persiapan yang panjang (dan tidak diceritakan dalam film).

20140320213023!Step_Up_All_In_-_Teaser_Trailer

Untuk dialognya, Step Up All In juga bisa dibilang gagal total. Para pemerannya tidak dapat membawakan dialog dengan lugas, selain karena memang pilihan kata-katanya yang kaku, para pemerannya juga tampak seperti “diperintah” untuk berakting atau bergaya seperti itu, seperti tidak menjadi diri mereka sendiri.

Jelas ada sesuatu yang hilang dari Step Up ini. Kalau di Step Up lama kita masih merasakan chemistry tokoh utama yang sangat kuat boleh dibilang kali ini hambar. Kalau di Step Up yang lalu kita setidaknya deg-degan, kali ini kita mungkin akan menguap setelah tarian episode ke-sekian. Apabila ingin mensukseskan franchise ini, seharusnya tim penggarapnya tidak hanya memikirkan untuk membuatnya lebih megah, tetapi juga membuat cerita yang lebih bermutu dan kreatif. Tidak hanya menambah banyaknya orang dalam film itu, tetapi juga membuat setiap tokoh hidup dan efisien. Kalau hanya untuk menonton tarian yang bagus, tentunya tidak usah dijadikan film kan? My score is 5/10.

still-of-briana-evigan-in-step-up-all-in-(2014)

Resensi Film: The Edge Of Tomorrow (2014) – spoiler alert!

*SPOILER ALERT*SPOILER ALERT*SPOILER ALERT*

e1

Live. Die. Repeat.

Tagline yang bagus dan terus menempel di ingatan. Dengan dibintangi Tom Cruise & Emily Blunt, sci-fi yang terinspirasi dari novel “All You Need Is Kill” karya Hiroshi Sakurazaka ini pasti menarik perhatian. Bumi sedang dilanda perang besar antara umat manusia dengan alien, yang disebut “mimic”. Alien ini mampu bergerak sangat cepat, tak terduga, dan mampu beradaptasi untuk melawan manusia. William Cage (Tom Cruise) adalah seorang mayor yang lebih sering tampil di TV untuk iklan daripada berada di lapangan perang yang sesungguhnya. Sementara Rita Vrataski (Emily Blunt) adalah prajurit khusus yang terkenal karena mampu membawa kemenangan pada 1 perang. Ketika Cage menolak untuk ditugaskan di garis depan, ia dianggap desertir dan diperlakukan dengan buruk oleh teman-teman prajurit lainnya. Keadaan mulai bertambah rumit, karena Cage terus-menerus kembali di waktu sehari sebelumnya saat dia mati. Tampaknya pula, hanya Cage yang mengalami hal ini. Setelah ia bertemu dengan Rita, mulai ada titik terang dari permasalahan yang ia alami. Bahkan mungkin, Cage adalah kunci untuk membawa kemenangan abadi bagi manusia dalam perang epic ini.

Baliho Rita Vrataski di suatu setting di dalam film
Baliho Rita Vrataski di suatu setting di dalam film

Tom Cruise sepertinya terus mengembangkan sayap untuk film-film scifi, setelah Oblivion. Karakternya yang kali ini tidak jauh berbeda, hanya ia berperan sebagai seorang pengecut pada awalnya. Seperti yang bisa ditebak, si pengecut ini mampu berubah menjadi seorang pahlawan. Sutradara Doug Liman mendapatkan tantangan besar, ketika harus menyajikan sebuah film yang berputar-putar di satu timeline, tanpa harus membuat penonton bosan. Bisa Anda bayangkan jika Anda harus menyaksikan sebuah adegan yang terus-menerus terjadi? Anda harus menyaksikan adegan dalam 2 hari itu, terus..terus..dan terus nyaris sama. Kalaupun waktu bisa dilanjutkan, hanya sedikit saja, sebelum Anda mati dan harus mengulang lagi. Konsep pengulangan waktu yang diangkat oleh cerita ini adalah hal yang menarik, tapi sekaligus berbahaya. Benar saja, banyak penonton yang bosan karena tidak “termakan” oleh usaha Doug Liman yang sebenarnya tidaklah buruk. Ia mampu mengedit film ini menjadi scene-scene yang berarti, tetapi tidak mampu menghibur penonton yang mungkin jenuh melihat adegan yang sama berulang-ulang. Secara psikologis, film ini mampu menularkan tekanan yang dirasakan tokoh di dalamnya.\

Tom Cruise
Tom Cruise

Selain itu, penonton akan mulai  bingung dengan cerita yang ada, karena penjelasan yang terlalu minim. Awalnya, Cage mendapatkan kekuatan karena dia membunuh seekor alfa mimic — jenis yang sangat langka. Kemudian katanya, ketika ia mendapatkan visi, maka itu pertanda Omega mulai menemukannya; artinya mereka harus bergerak cepat untuk memusnahkan Omega sebelum kemampuannya hilang. Tapi kemudian Rita berkata bahwa kalau Cage mendapat transfusi darah, maka kemampuannya akan hilang.  Bahkan Alfa yang ia temukan di bendungan Jerman tampak bereaksi pada darahnya (tetapi tidak jelas reaksi yang dimaksud di situ kenapa?). Di sini kebingungan mulai bertambah, jadi kalau visi itu merupakan tanda bahwa Omega mulai menemukannya, mengapa film masih berjalan cukup lama, dan terus menerus terulang bahkan tidak ada tanda Omega mencarinya? Yang ada justru manusia yang mencari Omega karena ingin membunuhnya. Kemudian kenapa Omega memberikan visi sesat sebagai jebakan, kalau si Alfa malah bereaksi terhadap darah Cage? Pada akhirnya, ketika Cage mampu menghancurkan Alfa, kenapa waktu kembali berputar jauh sebelum Cage menjadi desertir? Apa yang menyebabkan waktu kembali berputar sejauh itu? Ketika waktu berputar, ternyata kaum alien masih hidup. Apakah itu artinya Omega belum mati atau Cage yang menjadi Omega — seperti ia menjadi Alfa?

Tom Cruise & Setting Medan Perang
Tom Cruise & Setting Medan Perang

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin memang sengaja tidak dijawab oleh tim produksi, supaya menimbulkan rasa penasaran dan kemungkinan yang terbuka untuk terserah penonton memutuskan akhir filmnya seperti apa. Tetapi tampaknya Doug Liman terlalu sibuk untuk mempercantik film agar tidak membosankan, sehingga melupakan esensi “hiburan” dan “penjelasan” bagi penonton. Tidak bisa dibilang bahwa film ini buruk, tetapi juga tidak bisa dibilang bahwa film ini bagus. Bagi yang menginginkan suatu film yang membuat kita berpikir, film ini mungkin cocok, selama Anda tidak keberatan untuk menonton suatu adegan yang sama berulang-ulang. My score is 5/10. @ristiirawan

Resensi Film: Odd Thomas (2014)

kinopoisk.ru

Odd Thomas (2014)

Odd Thomas diangkat dari novel karya Dean R. Koontz dengan genre thriller-horror. Film ini tidak seseram film horror pada umumnya, mungkin karena hantu-hantu yang disebut “bodachs” lebih terlihat seperti alien (dan oleh karena itulah saya mau menontonnya!). Ceritanya ber-setting di sebuah kota kecil di gurun, di mana seorang lelaki bernama Odd Thomas (Anton Yelchin) bekerja sebagai koki di sebuah restoran kecil. Odd memiliki kemampuan supranatural, yaitu bisa melihat hantu orang mati, bahkan sering membantu para hantu tersebut untuk menangkap pembunuh mereka. Odd memiliki pacar yang sudah setia mendampinginya dari kecil, Stormy (Addison Timlin) dan berkawan dengan kepala polisi Wyatt Porter (Willem Dafoe); yang tahu tentang kemampuan Odd dan sering terlibat dalam misinya.

ODD-THOMAS-Image

Sutradara Stephen Sommers mengangkat 2 tone yang bertolak-belakang, di satu sisi kadang kala film ini begitu aneh dan seram; tetapi kadang kala film ini muncul seperti komik komedi tetang cinta anak belasan tahun. Dua tone yang berseberangan inilah yang justru terasa mengganggu! Bagaimana karakter Stormy dalam kisah ini dibawakan oleh Addison Timlin sebagai sosok yang sangat mencintai Odd luar-dalam dan seolah-olah tidak pernah takut. Kesantaian Stormy justru membuat hal-hal seram yang terjadi di film terasa tidak nyata! Kenapa kerasa tidak nyata? Bagaimana kita bisa dibawa oleh ketegangan/kengerian di dalam film ini, apabila mimik muka Addion Timlin justru cengar-cengir? Meskipun Stormy mengucapkan kata-kata mengkhawatirkan Odd, tapi kita tidak bisa terbawa untuk khawatir, karena semua hal yang terjadi di dalamnya tidak terasa sungguhan!

Odd Thomas Movie

Script yang ditulis Stephen Sommers juga terlalu bergantung pada Anton Yelchin sebagai Odd. Secara penampakan memang Yelchin adalah pilihan yang cocok untuk memerankan sosok pemuda yang aneh seperti Odd. Bersyukurlah performa dan aktingnya juga terbukti sangat cocok, bahkan tanpa Yelchin mungkin Odd Thomas ratingnya akan semakin jatuh. Karena Yelchin jugalah, narasi pada film ini dapat dicerna oleh penonton. Plot cerita yang ada tidak bisa dibilang mengajak penonton berpikir, yang ada malah kita duduk manis makan popcorn dan sebagainya dengan cueknya sambil menonton Odd Thomas yang kelabakan memecahkan misteri. Toh pada akhirnya, narasi dari Odd menjelaskan satu-persatu duduk perkara yang ada dengan sabar. Tidak bagus bagi penonton yang tidak memperhatikan narasi Odd, karena pasti tidak akan paham apa yang sebenarnya sedang terjadi??

odd_thomas_2

Film thriller-horror ini juga memiliki sisi yang memanjakan mata sendiri, di mana bintang-bintang muda yang berperan di sini cukup memiliki penampilan yang memanjakan mata. Hal-hal yang menjijikkan dalam film ini pun tidak terlalu menjijikkan seperti film horror pada umumnya. Secara trhiller, beberapa adegan yang mengagetkan dapat dengan mudah ditebak kapan terjadinya, sehingga sebelum ada adegan kejutan, penonton sudah siap-siap menyumpal telinga atau menutup mata — no surprise! Not a bad movie, but not a good movie too. My score is 5/10.

odd_thomas