Kenapa Harus Les Musik?

Selama 10 tahun lebih saya bekerja di pendidikan musik, terutama kursus/ les musik, kebanyakan orang-tua (aku juga salah satunya) memasukkan anak mereka di tempat les dengan tujuan: (1) biar ada kegiatan, (2) biar bisa main alat musik, (3) siapa tahu besok bisa ‘ngelesin’ (bahasa kerennya dari “mengajar sebagai guru les), (4) dulu orangtuanya tidak bisa les, sekarang anaknya saja yang mau, dan lain-lainnya. Tidak ada alasan benar atau salah karena setiap orang punya kebutuhan yang berbeda-beda. Namun terkadang ada kontradiksi antara tujuan les dengan hasil akhir yang diharapkan atau lebih tepatnya “dituntut” dari orang-tua ke anaknya.

Orang-tua yang memiliki tujuan tersebut, dalam prosesnya terkadang justru lebih tidak sabaran daripada gurunya sendiri (ada pemikiran ini disebabkan karena guru yang dibayar, dan orangtua yang membayar — tapi marilah kita tidak melihat ke arah situ, karena saya percaya dua-duanya memiliki tujuan yang mulia: ingin anak/muridnya berkembang). Banyak anak berhenti atau dihentikan les musiknya karena orang tua berkata bahwa anak tersebut “tidak ada perkembangan” yang membuat saya sedih. Bagaimana seorang anak yang tadinya sama sekali tidak bisa main, lalu sudah bisa memainkan beberapa lagu, dibilang “tidak ada perkembangan”? Bagaimana anak yang tadinya sama sekali tidak tahu nama nada, lalu bisa membaca notasi, itu dikatakan “tidak berkembang”? Saya bukan psikolog, tapi saya banyak mendengar dari pakar dan praktisi psikolog tentang orang-tua tidak boleh judging anak dengan “tidak ada perkembangan”. Bahkan dalam ranah pendidikan, kita menggunakan kata “belum”, yang merujuk pada suatu proses yang sedang berjalan. Kita sebagai orang tua (termasuk saya!) perlu belajar menghargai usaha anak; melihat dari apa yang dia belum bisa lakukan dan perubahannya, bukan sebagai hakim ketok-palu yang memutuskan bersalah/ tidak bersalah, bisa/ tidak bisa. Tentunya untuk bisa menganalisa dan mengevaluasi progress anak, terlebih dahulu kita perlu paham dengan mengingat atau mencatat perkembangan anak, misalnya di bulan Januari, lalu membandingkannya dengan bulan Juni. Tidak mungkin tidak ada hal baru yang ia pelajari! 🙂

Jarang sekali ada orang-tua yang memasukkan anaknya les musik dengan tujuan ingin menjadi musisi profesional (ada tetapi hanya 1 di antara 10 orang). Jika tujuan orang tua sekedar memberikan kegiatan, biar anak bisa main musik, dan semacamnya; bukankah seharusnya orangtua juga mencocokkan ekspektasi mereka dengan tujuan mereka? Contohnya: tidak ada perkembangan biasanya lebih berhubungan dengan bagaimana orangtua kesal karena melihat anaknya tidak pernah berlatih di rumah. Latihan adalah keharusan dalam belajar apapun, termasuk musik. Guru akan mendorong muridnya untuk berlatih agar menguasai materi, dengan cara halus sampai tegas, tergantung guru masing-masing (nanti kapan kita akan bahas yang ini ya!). Namun aktifitas anak di rumah kembali kepada sejauh mana orang-tua bersedia untuk mendampingi dan memotivasi anaknya berlatih. Jika orang-tua merasa ‘lelah’ karena sulit menyuruh anak latihan, ini bukanlah alasan untuk menghentikannya les! Kembali lah pada tujuan semula, untuk apa anak kita les musik? Kenapa harus les musik?

Bulan yang lalu saya sedang intens mempelajari Teori Pemrosesan Informasi, yang berfokus tentang cara otak manusia mengingat informasi. Meskipun hal ini masih menjadi kajian neuroscience hingga sekarang, karena prosesnya tak terlihat; tetapi dikatakan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) bahwa otak manusia memiliki tiga level ingatan: inderawi, jangka pendek, dan jangka panjang. Semakin sering kita mengulang-ulang informasi, maka ingatan tersebut akan semakin kuat (itulah sebabnya kenapa kita butuh latihan!). Proses pengolahan informasi ini terjadi di bagian otak yang berbeda-beda tetapi satu kesatuan. Pada umumnya orang mengetahui otak kiri yang berkaitan dengan kemampuan berpikir analitis, verbal, dan logis; sementara otak kanan berkaitan dengan kreatifitas, emosional, dan visual (Centre of Educational Neuroscience). Otak kiri lebih aktif bekerja ketika kita memikirkan suatu hal-hal logis, misalnya soal matematika. Otak kanan bekerja lebih aktif dalam menggambar atau melukis. Lalu apa kaitan musik dengan ini?

Perhatikan perkembangan cara mendidik sekolah-sekolah di era sekarang ini: anak-anak sudah tidak dipaksa untuk “menghafalkan” seperti zaman dulu orang-tuanya belajar. Pendidikan sekarang lebih mengedepankan kompetensi, salah satunya adalah keterampilan kognitif. Kognitif berbicara tentang cara berpikir manusia. Saat memproses suatu informasi, otak manusia menerima data dari sistem sensorik alias panca-indera seperti mata, telinga, hidung, dan lainnya. Musik adalah bidang yang memberikan pengalaman multisensory, di mana hampir seluruh panca indera kita bekerja-sama untuk memprosesnya Neisser, 1967 dalam Qi-Zhang, 2018). Hal ini masuk akal karena misalnya: ketika seorang anak belajar bermain piano, ia harus mengolah notasi di depan mata dengan kemampuan logisnya (berhitung) sambil bersamaan ia harus memberikan dinamika seperti keras-lembut (emosional). Ketika seorang anak menyanyikan sebuah lagu bahasa asing dengan ekspresif tanpa menggunakan teks contekan (padahal teksnya panjang tetapi dia bahagia) secara tidak langsung ia sedang menggunakan otak kanan dan kirinya dengan seimbang.

Ada alasan yang sangat bermanfaat di balik “les musik” yaitu musik sebagai bidang yang menstimulus hampir seluruh bagian otak. Awal mula “Mozart Effect” muncul karena penelitian Francis Raucher dan Gordon Shaw tahun 1993 yang membuktikan bahwa mahasiswa yang belajar sambil mendengarkan “Sonata for Two Pianos in D Major, K. 448” menunjukkan peningkatan nilai saat ujian, meskipun tidak bertahan dalam waktu lama, efeknya hanya sementara — dari sinilah bermunculan banyak metode pengembangan kecerdasan dengan musik klasik. Walaupun efek musik klasik masih diteliti hingga sekarang, ada banyak riset yang menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran musik secara umum memang membawa peningkatan pada fungsi otak manusia. Anak yang belajar musik menunjukkan peningkatan IQ dan hasilnya bertahan lama (Schellenberg, 2006 dalam Nicolich, 2008). Latihan musik dapat mempercepat perkembangan otak dan membantu kemampuan literasi (Spray, 2015). Davies (2012) mengemukakan bahwa musik menciptakan koneksi neuron yang lebih kuat, sehingga mempermudah otak kita untuk mengambil kembali informasi yang telah disimpan. Penelitian-penelitian semacam ini lah yang menjadikan landasan mengapa musik dimasukkan sebagai kurikulum inti di berbagai negara.

Saya sempat mencoba mengikuti sebuah free-test secara online di www.personalitymax.com bersama beberapa teman saya dengan latar-belakang pendidikan, pekerjaan dan kebiasaan masa kecil yang berbeda-beda, range usia 25–35 tahun. Meskipun ini bukan rujukan yang bisa digunakan secara ilmiah, tetapi dari sharing antara kami, dapat disimpulkan bahwa hasil tes ini sesuai dengan apa yang kami alami.

Philo (nama samaran) adalah teman saya yang sejak kecilnya tidak pernah belajar musik dan tidak memiliki aktifitas musikal dalam sehari-harinya. Hasil tesnya adalah dominan otak-kiri yang cukup signifikan: 64% vs 36%. Philo memang orang yang cukup kuat dalam data-data logis, tetapi ia sering mengalami kendala karena dianggap terlalu ‘kaku’, baik dalam sosial maupun kegiatan-kegiatan yang membutuhkan jiwa seni, seperti mendesain atau menulis.

Image for post
Philo’s Left/Right Brain

Beda cerita lagi dengan Monstera (nama samaran) seorang akuntan yang waktu kecil pernah belajar musik dan suka bernyanyi, sampai hafal berbagai lagu barat. Otak kirinya dominan 58% vs 42%.

Image for post
Monstera’s Left/Right Brain

Sekarang mari kita beralih ke sample no.3 bernama Caladium yang semenjak kecilnya belajar musik dan bercita-cita menjadi arsitek; meskipun sekarang akhirnya menjadi musisi sekaligus entrepreneur. Otak kanannya dominan 53% vs 47% otak kiri.

Image for post
Caladium Left/Right Brain

Lalu bagaimana dengan otak saya? Di bawah ini adalah hasil tes saya yang bukan sulap, bukan sihir, dan bukan retake tes berkali-kali biar pas ya! (mana sempat?). Hasilnya “Even-Brained”.

Image for post
Ristis Left/Righ Brain

Hal yang mau saya soroti di sini BUKAN lebih bagus mana otak kiri atau kanan seimbang, sama sekali bukan; karena otak manusia bekerja dengan misterius dan menggunakan seluruh bagian otaknya untuk fungsi sehari-hari, tidak ada yang lebih bagus yang mana. Namun masalah fungsi otak ini dapat menjadi alasan penting KENAPA HARUS LES MUSIK. Ada manfaat yang musik bisa lakukan terhadap otak anak-anak kita lebih daripada bidang lain. Apapun pilihan karir anak kita nantinya, musik dapat menjadi satu sarana untuk ia mengembangkan potensi di dalam dirinya. Tidak melulu harus menjadi musisi atau sekedar bisa main alat musik, tetapi lebih kepada bagaimana anak kita akan belajar berpikir kritis untuk memecahkan masalah kehidupan, bagaimana mengelola emosi untuk berkomunikasi dan bekerjasama, serta bagaimana berpikir kreatif untuk menciptakan inovasi. Kemampuan-kemampuan itulah yang dibutuhkan seorang anak untuk “survive” di masa depan.

Jika anak kita suka musik dan inisiatif untuk berlatih, bersyukurlah, terus berikan ia apresiasi dan buka lebar-lebar pintu kesempatan untuk dia ikut lomba, membuat proyek, dan semacamnya. Berbahagialah jika anak kita ingin mencoba berbagai macam alat musik, artinya dia memiliki minat yang tinggi di situ; hanya kita perlu ajarkan tentang konsistensi. Sementara jika anak kita ‘malas latihan’, kita tidak perlu kesal, karena kita perlu mengingat kembali apa tujuan kita. Biarkan ia setidaknya punya 1 x 45 menit dalam seminggu untuk kegiatan musikal yang diawasi oleh pakar (guru dan instansi musik), satu kegiatan yang jelas-jelas akan berdampak pada perkembangan otaknya. Selama ia masih mau berangkat untuk les, itu adalah hal yang bagus. Jika ia mulai malas untuk berangkat les, mari kita lihat faktor penyebabnya, apakah itu karena fisik (terlalu lelah), disturbance (ada hal yang lebih menarik: game), atau psikologis. Jangan kan anak-anak, kita yang orang dewasa saja sering merasakan “malas”; bedanya kita sudah lebih terlatih untuk bertanggung-jawab. Nah, giliran kita yang memberikan teladan dan mengajarkan hal ini kepada mereka. Persistence, sebuah nilai hidup bahwa “jika kamu sudah memulai sesuatu, kamu harus gigih untuk menyelesaikannya”. Orangtua, guru, dan murid harus sama-sama belajar untuk menjadi pejuang. We are not quitters!

Terakhir, jika orang-tuanya punya obsesi masa muda les musik tidak kesampaian, tidak perlu anak yang menggantikan, karena musik tetap punya manfaat bagi orang tua hingga lanjut usia. Banyak terapi yang sekarang dikembangkan khusus untuk orang lanjut usia. Orangtuanya boleh ikut les dan mendapatkan manfaat positif belajar musik! 🙂

Please leave a message or a response below to share your thoughts with me 🙂

Image for post

Davies, M. A. (2012, July 25). Learning … the Beat Goes on. Childhood Education. doi:https://doi.org/10.1080/00094056.2000.10522096

Nicolich, J. (2008). Music’s Inflfluence on Cognitive Development. St. John Fisher College. Retrieved from https://fisherpub.sjfc.edu/education_ETD_masters

R.C. Atkinson, R. S. (1968). Human Memory: A Proposed System And Its Control Processes. In The Psychology of Learning and Motivation (pp. 89–195). New York: Academic Press.

Spray, A. (2015, July 21). The science of why music improves our memory and verbal intelligence. The Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/musical-training-can-accelerate-brain-development-and-help-with-literacy-skills-44946

Zhang, Q. (2018, March 23). Application of Music Education in Brain Cognition. Educational Sciences: Theory & Practice. doi:http://dx.doi.org/10.12738/estp.2018.5.09

The King: Eternal Monarch Review

Minoz (fans Lee Min-Ho) pasti girang setengah mati ketika menonton serial drama korea yang satu ini. Penulis, sutradara, produser atau siapapun dalam tim produksi ini pasti salah satu fans berat Lee Min-Ho juga; selain pasti bertujuan memanfaatkan kepopulerannya untuk menjaring penonton. Banyak adegan yang mengeksploitasi kegantengan Lee Min-Ho, terkadang “keterlaluan” bagi penonton yang bukan fans-nya. Dalam film ini, ia berperan sebagai Raja bernama Lee Gon dalam dunia paralel, Kerajaan Korea; bukan Republik Korea Selatan seperti yang ada di dunia ini. Ia tidak perlu bersusah-payah berakting karena perannya sebagai Raja nyaris sempurna: fisik menawan, kaya-raya, jenius matematika, dan baik hati. Jika aktingnya dalam film ini dikritik, sebenarnya bukan salahnya, karena karakter Lee Gon sendiri memang dangkal untuk sekelas penulis Kim Eun-Sook. 

Nama Kim Eun-Sook terkenal sebagai penulis serial drama korea yang selalu sukses. Sebut saja Descendants of the Sun, The Heirs yang juga dibintangi oleh Lee Min-Ho, dan Goblin, di mana pemeran utamanya sama dengan film ini: Kim Go-Eun. Meski wajahnya tidak secantik artis korea pada umumnya (sepertinya tidak operasi plastik), Kim Go-Eun selalu menunjukkan performa akting yang sarat emosi. Ketiga nama yang sudah disebutkan: Lee Min-Ho, Kim Go-Eun, dan Kim Eun-Sook seharusnya menjadi jaminan bahwa The King: Eternal Monarch akan menjadi Mega-Hit, menggeser kehebohan serial drama milik stasiun sebelah: Crash Landing On You. Sayangnya, jaminan ini meleset. 

The King: Eternal Monarch terlalu “maksa” untuk menggabungkan tema kerajaan (kuda dan pedang) dengan fiksi ilmiah seperti dunia paralel dan perjalanan waktu. Kita paham sih, bahwa kerajaan memang erat kaitannya dengan kuda dan pedang; tetapi banyak adegan yang terasa terlalu dipaksakan untuk ada “kuda” dan “pedang”nya. Apalagi setting waktu kejadiannya adalah di era sekarang ini, tahun 2020. Sebut saja ketika semua bergegas naik helicopter dan mobil; masa iya Raja sempat menyusul naik kuda? Mana logika perhitungan jarak dan waktunya?

Ide yang menarik tentang dunia paralel juga menjadi sia-sia karena penuturan jalan cerita yang dibuat terlalu rumit. Plot cerita yang berpindah-pindah dunia dan timeline; bukannya membuat penasaran, malah jadi bingung. Seharusnya penceritaannya dibuat linear, supaya penonton bisa lebih menikmatinya tanpa perlu latihan otak. Akibat penonton sibuk berpikir dan mencerna bagaimana jalan ceritanya, mereka tidak sempat menjalin ikatan emosi dengan para tokohnya. Bahkan dua tokoh utamanya: Lee Gon dan Jong Tae-Ul juga tiba-tiba saja sudah jatuh cinta setengah mati tanpa ada kejadian-kejadian yang membuat cinta mereka bertumbuh. Di episode 1–4, Tae-Ul masih detektif yang tegar, lalu tiba-tiba di episode 5, ia berubah menjadi bucin. Manis sih melihat chemistry di antara mereka; tetapi memang terasa ada yang kurang karena proses jatuh cinta mereka langsung “skip” ke fase cinta mati. Malahan sejujurnya, kisah cinta Kim Sin-Jae dan Jong Tae-Ul terasa lebih menarik. 

Jumlah karakter dalam The King: Eternal Monarch juga terlalu banyak. Waktunya tidak cukup untuk membuat penonton ingat dengan mereka. Bagi penonton yang tidak terbiasa dengan nama Korea, pasti sulit untuk mengidentifikasi “yang mana orangnya” ketika nama tertentu disebut dalam dialog. Meskipun demikian, tokoh yang tidak disangka-sangka mencuri perhatian adalah Woo Do-Hwan yang memerankan Jo Young & Jo Eun-Sup. Fansnya langsung bertambah; bahkan banyak yang meneruskan menonton The King: Eternal Monarch hanya karena dia. 

Kesimpulannya, The King: Eternal Monarch adalah film yang membahagiakan Minoz karena banyak “fans service”. Sebuah karya dengan pemikiran yang kompleks (berkat Kim Eun-Suk), kepuasan mata karena editing video dan efek visual yang tidak murah, dan Soundtrack yang bagus-bagus semuanya; melodinya ear-catchy dan menyentuh hati. Namun tidak bisa dibilang “bagus” karena penuturan cerita yang membingungkan, dunia fiksi yang terlalu “bohong”, dan hubungan antar karakter utama yang terlalu instan. @ristiirawan rates 7/10.

Peringatan Konten: The King: Eternal Monarch mengandung adegan kekerasan seperti pertarungan tangan kosong atau menggunakan pistol dan pedang, serta pembunuhan. Adegan sensual tidak terlalu banyak, hanya c*uman. 

Resensi Film: Ngenest (2015)

Ngenest adalah film komedi yang ditulis, disutradarai, dan dibintangi oleh Ernest Prakasa. Sebelumnya, Ernest dikenal lewat film layar lebar Comic 8 (2014) sekuelnya, Comic 8: Casino Kings (2015). Film ini LEBIH bagus daripada perkiraanku. Sederhana tapi sarat makna, lucu dan blak-blakan sebagaimana film komedi seharusnya.

Ngenest adalah film komedi yang ditulis, disutradarai, dan dibintangi oleh Ernest Prakasa. Sebelumnya, Ernest dikenal lewat film layar lebar Comic 8 (2014) sekuelnya, Comic 8: Casino Kings (2015). Film ini LEBIH bagus daripada perkiraanku. Sederhana tapi sarat makna, lucu dan blak-blakan sebagaimana film komedi seharusnya.

Ceritanya sendiri sederhana, bagaimana seorang Ernest menjadi korban “bully” semenjak kecil karena terlahir sebagai keturunan Cina. Untunglah ia memiliki sahabat sesama cina, Patrick (Morgan Oey). Ia pun mencoba berteman dengan musuhnya, tetapi gagal. Ernest pun berambisi untuk memiliki istri pribumi, agar ia dapat memutus “mata-rantai” Cina. Namun masalah baru justru timbul setelah ia menikahi Meira, wanita Sunda. Ia takut anaknya terlahir mirip bapaknya, alias sipit — kelihatan Cina.

Di balik kesederhanaan cerita hidup Ernest, ada beberapa topik yang sebenarnya sensitif, tapi diangkat dengan cukup fair dan ringan karena dibungkus sebagai film komedi. Bagi orang keturunan Cina, pastinya pernah merasakan apa yang dialami Ernest, dalam berbagai variasi level dan jenis. Meski humornya bukan sesuatu yang benar-benar baru (kita sudah pernah mendengarnya sebelumnya!); Contohnya: seperti  masalah wanita vs pria dalam urusan dandan; tetap saja penonton berhasil tertawa. Semuanya berkat naskah yang tersusun alami, dan dibawakan oleh para aktor dan aktris yang tampil apa adanya. Banyak dialog-dialog panjang (dan sejujurnya tidak penting) yang ada di film ini, tetapi masih bisa dicerna oleh penonton; karena terasa sangat mencerminkan kehidupan sehari-hari. Ya bagaimana tidak, karena toh ini adalah kisah kehidupan seseorang. Setidaknya, ada pesan positif yang berhasil disampaikan oleh film ini.

Tidak buruk untuk film komedi Indonesia. Setidaknya, saya bisa duduk menikmatinya dengan santai. Bahkan hingga kredit penutup habis pun, banyak penonton yang masih duduk dan menyaksikannya hingga habis. Pujian untuk Ernest dan tim produksi, you did a great job! Semoga bisa ada film-film lainnya yang lebih bagus lagi.

Nilai: 7/10
(dengan standar film Indonesia lho ya..)

Resensi Film: IP Man 3 (2015)

Film kungfu tentunya sudah ada banyak sekali. Jadi untuk membuat sebuah film kungfu yang bagus, tentunya tidak gampang. Ip Man 3 berhasil menjadi sebuah film kungfu yang artistik, didukung dengan koreografi yang keren, cinematografi dan efek audio yang sangat pas. Tidak boleh dilewatkan oleh penggemar film kungfu.

Film kungfu tentunya sudah ada banyak sekali. Jadi untuk membuat sebuah film kungfu yang bagus, tentunya tidak gampang. Ip Man 3 berhasil menjadi sebuah film kungfu yang artistik, didukung dengan koreografi yang keren, cinematografi dan efek audio yang sangat pas. Tidak boleh dilewatkan oleh penggemar film kungfu.

Lawan Ip Man kali ini adalah pihak Barat, Western Union, sedang seru-serunya menguasai Hong Kong secara legal maupun ilegal. Salah satu usaha mereka adalah memaksa untuk menggusur sekolah setempat, di mana anak Ip Man juga bersekolah di situ. Ip Man tidak bisa tinggal diam, dan bersama murid-muridnya ia menjaga sekolah tersebut; hingga akhirnya harus berhadapan dengan bos mereka, Frank (Mike Tyson). Ip Man juga sempat dibantu oleh Cheung Tin Chi (Jin Zhang) yang mengaku memiliki Wing Chun (aliran kungfu) yang lebih benar dari Ip Man. Namun ketika istrinya, Wing Sing (Lynn Hung) terkena kanker stadium akhir, maka Ip Man memilih untuk mengutamakan keluarganya. Dalam film ini, Ip Man mendapatkan musuh yang memiliki kehormata; yang gentle memegang janji dan mengakui kekalahan.

Koreografi seni bela-diri Ip Man 3 jelas disusun dengan matang, karena tetap tampil keren dibandingkan film-film kungfu yang telah ada sebelumnya. Hal ini juga didukung dengan pengambilan gambar yang bagus. Banyak gambar-gambar yang diambil dan ditata sehingga memberikan efek yang mengena. Untuk menghindarkan kebosanan dengan banyaknya adegan tarung, sutradara Wilson Yip dengan cerdas memilih setting tempat yang unik untuk pertarungannya; sebut saja di dalam lift sempit dengan ada seseorang yang harus dilindungi.

Poin tambahan untuk film ini adalah Donnie Yen yang benar-benar berkarisma sebagai sosok Ip Man. Seseorang yang luar biasa jago kungfu, tapi tetap rendah hati dan memegang nilai-nilai mulia. Tidak hanya lewat aksi Wing Chun yang lincah, tapi juga lewat pembawaan serta mimik wajahnya. Drama yang ia bangun bersama istrinya dalam film ini juga mampu memunculkan sisi melodramatis tersendiri. Di sisi antagonis, Mike Tyson dengan aktingnya yang buruk terselamatkan berkat aksi baku-hantam 3 menit yang terlihat meyakinkan. Setidaknya pertarungan yang sudah dinanti-nantikan oleh para fans ini tidak mengecewakan, Mike Tyson tetap tampil “besar”. Sesama Wing Chun master,  Jin Zhang tampil lebih meyakinkan sebagai musuh yang patut dihormati. Tampilnya Kwok-Kwan Chan sebagai Bruce Lee muda menjadi bonus khusus. Mungkin bisa menjadi spin-off atau lanjutan dari franchise ini ke depan.

Nilai: 8/10 @ristiirawan

NB: Bagi yang tidak menyukai film yang sadis, tenang saja, film ini tidak menunjukkan adegan terlalu berdarah.

Resensi Film: The Imitation Game (2014)

index

Biasanya film nominasi Oscar agak susah diterima oleh penonton awam, karena tema dan materinya yang berat. Namun The Imitation Game termasuk film nominasi Oscar yang menyenangkan untuk ditonton, karena alur cerita yang dinamis (sekaligus mengharukan) dan dukungan casting yang mantab.

The Imitation Game diangkat dari buku Andrew Hodges berdasarkan kisah nyata kehidupan Alan Turing. Film yang disutradarai Morten Tyldum & screenplay writer Graham Moore ini menceritakan Alan Turing, seorang jenius matematika dan pakar enkripsi, yang bekerja dalam proyek super rahasia di London. Benedict Cumberbatch sangat berjasa dalam menghidupkan tokoh Turing, sosok yang lebih bisa berkomunikasi dengan mesin daripada dengan manusia (dan terbukti banyak orang seperti ini juga di kehidupan nyata). Turing yang sangat kaku ini sempat mengalami kesulitan ketika harus bekerja sama dengan pakar lainnya, seperti Hugh (Matthew Goode) dkk. Untunglah ada Joan Clarke (Keira Knightley), satu-satunya wanita dalam tim yang mampu memahami Turing dan dapat memecahkan kebekuan di dalam tim kerja mereka.

The Imitation Game Movie New Pic (2)

Kekuatan film ini, selain pada cerita asli yang memang menginspirasi (khas film Oscar), juga pada editing film yang bagus. Tanpa berbelit-belit, penonton bisa menikmati lompatan timeline, dari present ke past moment dan seterusnya tanpa kebingungan. Setiap scene meskipun hemat budget (hanya menampilkan gambar kuno perang dunia & prajurit-prajurit dalam sesaat) juga efektif untuk membangkitkan suasana. Timing lompatan adegannya juga sangat bagus, sehingga intensitas ketegangan dapat terjalin dengan baik. Sebut saja adegan Cumberbatch lari-lari yang sebenarnya sederhana & tidak penting, tapi memberikan efek yang diperlukan. Dialog-dialog yang ada juga dapat disampaikan oleh para casting dengan sangat hidup. Jangan lupakan dialog Cumberbatch-Knightley tentang betapa mereka cocok hidup bersama meski tidak berfungsi layaknya suami-istri pada umumnya.

Tetap saja, kesuksesan terbesar film ini ada di Cumberbatch yang pandangan wajah, mimik wajah, bahkan logat gagapnya yang mampu menarik penonton untuk bisa sebal, simpatik sekaligus kagum terhadap sosok Turing. “Keunikan”nya pun disorot dengan cukup tanpa menjadikannya terlalu frontal atau seronok untuk diangkat. Duet pemeran Turing Muda, Alex Lawther & Jack Bannon sebagai Cristopher juga mampu menggelitik dan menyampaikan pesan romansa tanpa banyak bicara (mereka hanya tersenyum dan saling memandang! euhh..!). Nilai untuk film ini adalah 9/10 @ristiirawan .

MESSAGES
Good: Manusia memiliki pemikiran dan gaya berkomunikasi yang berbeda-beda. Kadang kita tidak mengira bahwa orang dapat melakukan apa yang tidak dikira sebelumnya.
Bad: Pada akhirnya, mayoritas film Hollywood yang menekankan bahwa manusia itu bisa menjadi Tuhan. Selain itu dalam film ini ada tema persamaan hak kaum homoseksual — yang mungkin tidak dapat diterima semua orang.

PS. Lagi-lagi ini film London kesekian yang kutonton bulan ini. Makin pengen ke London, hu hu hu… >_<

Resensi Film: The Maze Runner (2014)

the_maze_runner_lead

Diangkat dari novel berjudul sama karya James Dashner, The Maze runner adalah film yang membuat penonton terus penasaran (kalau Anda adalah tipikal penonton yang suka menebak-nebak “what’s going on here”). Dark tone yang diusung sutradara Wes Ball juga berhasil membuat aura film menjadi lebih menegangkan. Belum lagi sound & soundtrack yang bikin merinding (coba saja dengarkan suaranya doang tanpa melihat gambarnya, malah lebih seram). Dari segi efek audio-visual pun, cakupan The Maze Runner lebih bagus daripada film yang diangkat dari novel Young Adult lainnya, seperti Divergent (ups! sorry fans Divergent :p).

Kisah ini dilihat dari sudut pandang seorang pemuda yang terbangun di sebuah lift yang terus menuju ke atas. Ia tidak ingat apa-apa, bahkan namanya sendiri pun tidak. Ketika sampai di permukaan, ia bertemu dengan banyak pemuda lainnya di bawah pimpinan Alby (Aml Ameen). Setelah 1-2 hari, pemuda itu tersadar dan ingat namanya: Thomas (Dylan O’Brien). Alby memperkenalkan tempat barunya, yaitu Glade, padang terbuka di tengah-tengah tembok raksasa. Di salah satu sisinya, tembok tersebut terbuka di setiap pagi dan menutup di setiap malam. Ternyata tembok itu adalah sisi dari “Maze” (labirin). Tidak ada seorang pun yang selamat tinggal di dalam Maze lebih dari semalam. Alby menjelaskan peraturan-peraturan di Glade, yang berlandaskan kebersamaan, dan bahwa hanya “runner” terpilih yang bisa masuk ke Maze karena mereka adalah orang-orang yang larinya tercepat.

Thomas memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan ia ingin masuk ke Maze, karena ia yakin ada jalan keluar di dalamnya. Tetapi ia harus berhadapan atau bekerja-sama dengan penghuni Glade lainnya, seperti Newt (Thomas Brodie-Sanger), Chuck (Blake Cooper), Min Ho (Ki Hong Lee), Gally (Will Poulter), dll. Keadaan semakin runyam, ketika apapun yg Thomas lakukan sepertinya berefek buruk bagi Glade, belum lagi muncul seorang pemudi bernama Teresa (Kaya Scodelario). Pada akhirnya, Thomas harus menemukan siapa yang menaruh mereka di situ, dan kenapa.

The Glader (Penghuni Glade) di depan The Maze yang terbuka.
The Glader (Penghuni Glade) di depan The Maze yang terbuka.

Premise yg ditawarkan oleh The Maze Runner sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena kita sudah diterpa oleh kisah-kisah serupa tapi tak sama seperti Hunger Games & Divergent: Badan otoritas yang jahat, di mana seorang jagoan cewek/cowok harus menghadapi mereka. Memang premise seperti ini tampaknya sedang laris untuk dibukukan maupun difilmkan. Untunglah Sound effect, Visual Effect, Art Production, Cinematography dalam The Maze Runner bagus. Dalam penuturan cerita, sebenarnya Wes Ball sudah sangat bagus, karena membuat kita benar-benar penasaran apa akhirnya, namun sayangnya ada beberapa adegan yang terasa monoton, terlalu lama untuk penonton menurunkan antusiasmenya. Casting yang ada pun sebenarnya tidaklah buruk, tapi chemistry antar tokohnya terasa tidak kuat. Melihat pemerannya secara individu, memang akting mereka bagus. Tetapi melihat secara kesatuan, bahkan penghuni Glade pun tidak terasa kekeluargaannya. Adegan yang seharusnya mengharukan pun tidak membuat menangis (Bandingkan dengan adegan Jennifer Lawrence sebagai Katniss yang harus berpisah dengan adiknya).

The Maze Runner memang tidak pantas menerima pujian berlebihan, tetapi secara keseluruhan merupakan film yang asyik untuk ditonton, cukup menegangkan dan menarik. Yang pasti, ending dari film ini jelas menarik untuk ditunggu sekuelnya. My score is 7/10 @ristiirawan

MEMORABLE SCENES:
*Best Scene: Thomas & Min Ho berlari dari Maze yang akan menutup
*Worst Scene: Percakapan Thomas dengan Chuck (Aduh.. bikin lambat alurnya, tidak dapat chemistry-nya pula).

MESSAGES BEHIND THE MOVIE
*Good: Jangan pernah menyerah untuk mencari jalan keluar dari segala permasalahan. Bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk menjadikan segalanya lebih baik (bukan berdiam diri).
*Bad: Bahwa pencipta kita “mengorbankan” kita dengan jahat, dan bahwa kita memiliki kekuasaan untuk mengalahkan sang pencipta; karena yang terpenting bukan siapa kita di masa lalu (atau siapa yang menciptakan kita) tetapi apa yang akan kita perbuat untuk mengubah itu.

Anyway, my favourite character is Newt (Thomas Brodie-Sanger), what’s yours?

Resensi Film: The November Man (2014)

november_man_ver2

Satu lagi film yang trailernya lebih bagus daripada filmnya. Pierce Brosnan memang memiliki karisma tinggi. Menyaksikan ia kembali berperan di film action The November Man sungguh punya daya tarik sendiri. Apalagi dilihat dari trailernya, Brosnan yang berperan sebagai mantan agen CIA Peter Devereaux, akan “bersaing” dengan muridnya David Mason yang diperankan oleh Luke Bracey. Olga Kurylenko yang super cantik turut serta dalam film ini sebagai Alice Fournier. Cukup menarik.

The November Man adalah sebutan untuk Peter Devereaux yang pensiun dari CIA. Rekan kerjanya, Hanley (Bill Smitrovich) mendadak muncul dan meminta Peter untuk menjemput Natalia Ulanova (Mediha Musliovic). Ternyata Natalia menyimpan informasi penting tentang calon presiden Rusia, Arkady Federov (Lazar Ristovski). Informasi tersebut adalah nama satu-satunya saksi tentang konspirasi Federov di masa lalu. Siapa yang mendapatkan informasi tersebut, dia lah yang menguasai Federov. Saksi tersebut adalah Mira Filipova. Sementara orang yang mengetahui keberadaan Mira hanyalah Alice Fournier (Olga Kurylenko). Namun situasi menjadi rumit, ketika Peter justru diburu oleh CIA, yaitu Mason (Luke Bracey). Perburuan seru karena Peter sendiri adalah mentor dari Mason, dan Mason sendiri pernah melanggar perintah Peter ketika bertugas di lapangan.

The November Man memang bukan film action yang “lebay”. Dalam artian, semuanya tampak natural dan tidak berlebihan. Tidak ada teknologi yang terlalu fiktif, sehingga unsur “manusia” sangat terasa di sini. Dari segi efek visual pun tidak terlalu bombastis, karena tidak banyak adegan ledakan atau tembak-tembakan yang ramai seperti film action lainnya. Sehingga memang film ini hanya menjual jalan cerita dan perkelahian jarak dekat. Sayangnya jalan ceritanya sendiri tidak bisa dibilang fenomenal, karena issue “ada pengkhianat di dalam CIA” bukanlah barang baru.

Selain sudut pengambilan kamera yang kurang baik, banyak hal-hal bagus yang sayangnya kurang dieksplor oleh sutradara Roger Donaldson. Contohnya drama antara Peter-Mason. Pada trailernya, kita sudah membayangka hubungan mentor dengan anak didiknya yang setidaknya bisa mengharukan. Sayang sekali, kita hanya bisa menyaksikan hal ini di dua momen: 1) ketika mereka bertemu pertama kali & tidak jadi menembak; 2) ketika Peter mengancam pacar Mason. Selebihnya, hubungan Peter-Mason tampak seperti dua teman biasa saja. Padahal konsep ini bisa diolah lebih dalam lagi, jika Donaldson mau memberikan beberapa waktu untuk mempertemukan Peter-Mason — selain untuk berkelahi.

Selain drama antara Peter-Mason yang kurang, dari segi ketegangan pun kurang tercipta. Karena meskipun Federov adalah calon presiden Rusia, keamanan yang ada pun tampaknya sepele, karena hanya dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Orang dapat keluar-masuk hotelnya dengan sangat mudah, tinggal adu tembak dengan para bodyguard. Kemudian CIA yang besar, seolah tampak hanya berisikan 2-3 orang saja. Seperti CIA berubah menjadi organisasi bodoh yang hanya mengandalkan komputer data cerdas. Lebih konyolnya lagi, di film ini semua orang tampak membawa senjata dengan santai dan terang-terangan, tanpa diketahui oleh polisi lokal. Sosok antagonis yang menarik, Alexa (Amila Terzimehic) sebenarnya berpotensi menjadi tokoh penting, sayang sekali dia dengan mudahnya dibunuh oleh sekop. sekop. sekop. sekop!!

Overall, baiklah, The November Man memang film yang cukup enak dilihat, apalagi dengan adanya Pierce Brosnan, Luke Bracey (yang tampil menarik di film ini), dan Olga Kurylenko (yang super cantik & seksi). Tetapi untuk keistimewaannya? hmmhh… jelas tidak ada istimewanya. Nilai total: 5/10.

Memorable Scene
Worst Scene: Hanley ketakutan ketika menyadari rencananya gagal sampai terjatuh2 (Masa agen CIA senior berlaku ketakutan sampai seperti itu?)
Best Scene: Petak-umpet Peter & Mason ketika Peter menjemput Alice di cafe.

Messages
Good message: Pandai-pandailah menilai orang.
Bad message: Kekuasaan bisa menutupi kejahatan.

Cerita di Balik Kehilangan

This is not a moment that I enjoyed, but well.. definitely something memorial. Jadi, berikut cerita saya yang panjang (tarik nafas, hembuskan, tarik nafas, hembuskan…)

Karena sudah pernah hamil dan melahirkan 1 putri 2 tahun lalu, jadi saya lebih peka dengan perubahan tubuh saya. Ketika sudah telat datang bulan hampir 4 minggu (tidak biasanya) plus badan kok sepertinya tambah “ndut” (meski cuma sedikiiit), saya coba pakai test-pack dan hasilnya taraaaa… positif! Berita ini cukup surprising buat saya & suami karena sejujurnya kami belum berencana untuk menambah momongan. Tapi karena namanya mau dikasih anak, tentu saja tetap bersyukur dan senang.

Karena kesibukan pindah rumah serta libur lebaran, saya memang belum sempat berkunjung ke dokter. Apalagi saya optimis akan baik-baik saja, mengingat kehamilan pertama saya dulu juga sangat kuat. Sewaktu hamil yang pertama, saya masih beraktifitas penuh bahkan nge-gym, renang, dsb, bahkan sampai minum kiranti karena waktu itu mengira haid-nya “macet”. Saya juga tidak merasa ada masalah dengan kehamilan ke-2 ini, everything’s fine. Mualnya juga tidak separah waktu kehamilan pertama, hanya berasa kembung saja.

Hari Selasa, 12 Agustus, saya agak “memaksa” suami untuk menyempatkan diri berkunjung ke dokter sebelum ke kantor. Niatnya cuma mau periksa dan minta vitamin kehamilan. Kami pergi ke RS Omni Alam Sutera. Karena saya lebih pilih SPOG wanita, waktu itu kami mencari dokter wanita, sayangnya yang available waktu itu hanya dokter pria. Akhirnya saya diperiksa oleh dr. Rosa Rahmedi. Dokternya masih agak muda, cukup gaul dan suka bercanda. Ketika di-USG, dia menyuruh suami saya untuk memperhatikan, “Bapak, perhatikan ya, karena biasanya mata pria lebih awas. Kalau saya tunjukkan begini, tahu yang mana janinnya?”.

Sewaktu dokter bilang seperti itu, kami masih tersenyum-senyum. Bahkan saya yg mengenali bentuk janin (sudah kelihatan ada kepala & badan meski hanya kecil) juga senang. Tetapi kelanjutannya sungguh mengejutkan. Dokter berkata, “Ini janinnya, dan ini yang berkedip-kedip artinya aliran darah. Nah, yang seperti ini (dia menunjukkan dengan mouse) seharusnya tidak ada di sini.. bla bla bla. Ini namanya subcordinal bleeding. Coba kita lihat frekuensi detak jantungnya.. nah kalau jantungnya berdetak, harusnya ini tidak datar (menunjukkan semacam gelombang). Artinya.. janin ini sudah meninggal. Kalau melihat bentuknya yg masih bagus, baru saja terjadinya.”

O.M.G. Awalnya saya mengira saya akan tegar, apalagi malu donk menangis di situ. Tapi air mata saya mengkhianati saya, sudah keluar dengan sendirinya. Pertamanya pelan-pelan menetes, lama-lama langsung banjir. Tapi saya masih berusaha untuk tampak tegar. Suster yang menemani langsung peka dan menyodorkan saya tissue. Dokter tsb cukup ramah, ia menganjurkan kami duduk kemudian ia bertanya apa yang masih ingin ditanyakan. Dia juga berusaha menghibur dengan mengatakan, bahwa disyukuri saja tahunya “baru umur 9 minggu”, karena kalau sudah semakin besar pasti semakin sulit. Dia menjelaskan bahwa kalau tidak ada masalah dengan sel telur dan sel sperma, karena “bisa” jadi janin. Tetapi pelekatannya kurang baik, sehingga janin ini tidak bisa bertahan hidup. Dia juga memberikan options, apakah mau dikuret atau dengan obat. Namun dia menganjurkan untuk dikuret karena kalau dengan obat prosesnya lama dan belum tentu “bersih”. Kami disuruh pulang, dan saya.. ya saya khususnya disuruh menenangkan diri dulu, kalau sudah siap baru datang untuk dikuret.

Dari rumah sakit hingga perjalan ke rumah, hati saya rasanya hancur sehancur-hancurnya. Bahkan ketika Mama saya menelpon, saya tidak mampu berkata apa-apa. Okay, memang saya belum mengenal anak ini, dan anak ini baru berusia 9 minggu. Tetapi menyakitkannya adalah dia sudah hidup! Bahkan calon anak ke-2 saya ini sudah mulai menumbuhkan tangan dan kakinya. Rasanya sungguh menyakitkan, seperti dikasih kado kemudian diambil lagi. Otak saya rasanya sudah tidak ingin memikirkan apa-apa lagi, cuma ingin berbaring dan menangis tersedu-sedu, kenapaa kenapaa dan kenapaaa.. . Apakah salah saya karena tidak memeriksakan kehamilan sejak awal, alias terlalu menunda untuk periksa? Apakah salah saya karena saya tidak menjaga diri dengan baik? Apakah salah saya karena saya terlalu letih kemarin-kemarin? Saya tahu saya harus tegar dan tersenyum, tapi kalau sendirian, rasanya seperti bendungan yang “jebol”, alias air mata tumpah keluar terus-menerus tidak berhenti.

Karena saya maunya hanya dengan SPOG wanita, kami mencoba menghubungi dr. Wendy, dokter lama saya di RS Mayapada Modernland, tapi beliau sedang cuti. Akhirnya kami menghubungi RS St. Carolus dan menemui dr. Maria. Setelah agak tenang, sorenya kami berangkat ke sana. Suster2 & dr. Maria menyambut kami dengan cukup ramah, dan langsung memeriksa saya dengan USG transvaginal. Memang benar bahwa janin di dalam kandungan saya sudah meninggal, disebut kematian mudigah. Kematian mudigah artinya janin sudah berbentuk (beda dengan hamil anggur), tetapi tidak dapat bertahan hidup: janin berhenti hidup/tidak ada detak jantung/tidak berkembang, dsb. Dr. Maria menghibur dengan berkata bahwa kehamilan itu seleksi alam, harus yakin bahwa Tuhan selalu kasih yang terbaik. Seandainya janin ini berhasil hidup dan cacat, justru akan menjadi beban anak dan orang tua. Keputusan medisnya sama, saya harus dikuret. Tentunya harus puasa 8 jam dulu. Saya diberikan obat melalui v*gina untuk merangsang kontraksi, dan kalau sudah keluar darah malamnya boleh langsung ke RS. Saya juga dibawakan obat minum, kalau belum keluar darah harus diminum lagi.

Nah, ketika tengah malam sudah keluar darah, kami pergi ke St. Carolus langsung, Pk.01.00 WIB. Sampai di Emergency-nya, komunikasi antar bagian administrasi dan dokter sepertinya kurang baik, karena kami harus mengulang kembali informasi yg disampaikan dr. Maria. Kemudian kami disuruh registrasi dan diminta memberikan deposito sebesar 14 juta. APA?? 14 juta?? Kaget saja, karena waktu tanya biaya kuret, di OMNI sekitar 8 juta (all-in), di Mayapada 6 juta belum termasuk biaya lain2 & St. Carolus sekitar 6 juta (all-in). Ternyata, kena 14 juta karena masuknya malam dan dianggap sewa kamar (kaya hotel aja yak!). Kalau 6 juta itu sifatnya daycare (nggak pakai menginap). Yaaa.. akhirnya saya cuma bayar 20ribu untuk registrasi sebagai pasien, dicek “bukaan”nya sama dokter umum dan.. kami pulang lagi malam itu, dan saya langsung tidur pulas karena kecapekan menangis. Paginya kami berangkat lagi ke RS, dan St. Carolus cukup perhatian karena saya ditelp dan ditanya, “Sudah sampai mana bu? ditunggu oleh dr. Maria”. Tenang sus, saya nggak akan lari ke mana-mana, karena memang harus dikuret (senyum kecut).

Yang bikin menderita sebenarnya bukan karena efek obatnya yang bikin mules-mules — karena kalau sudah pernah melahirkan, rasa mules yang ini tidak ada apa-apanya dibandingkan mules mau melahirkan — juga bukan karena rasa takut mau operasi; tapi karena harus puasa nggak boleh minum, hiks hiks hiks. Kita memang harus puasa kalau mau kuretage, agar tidak muntah kena bius. Begitu sampai di rumah sakit, saya dicek darah & dipasang infus. Sewaktu dipasang infus sempat ga bisa masuk 1x, tapi susternya menenangkan, “kita sama-sama bekerja sama ya, Bu”. Kemudian disuruh ganti baju operasi, kemudian disuruh berbaring di kasur, dan dibawa ke ruang operasi. Rasanya cukup menyeramkan, merasa tidak berdaya (huh), kalau saya bayangkan seperti sapi digiring ke pemotongan (ups). Saya masuk kamar operasi jam 09.30 dan sempat menyuruh suami saya untuk mengantar putri kami ke sekolah dulu (I’m a super woman!); karena toh dia nggak bakal ngapa-ngapain di sini.

Begitu masuk di ruang operasi yang dingin, ada lagu rohani yang diputar, cukup menguatkan hati. Susternya pun mengajak berdoa sebelum mulai operasi. Tangan saya diikat (tapi bukan ikat kencang), kemudian dokter anestesi memperkenalkan diri, dan berkata, “kita mulai ya, Bu”, dan ia menyuntikkan bius melalui infus. Saya hanya sempat berdoa, “Tuhan, jagai saya”, dan langsung hilang. Hilang hilang. Hilang benar-benar hilang tidak berasa apa-apa, mimpi pun tidak. Tahu-tahu saya sudah tersadar di ruang observasi. Waktu buka mata, rasanya pusing sekali. Tapi saya ingat perkataan suster sebelumnya, “Nanti kalau sudah sadar, rasanya seperti setengah sadar setengah tidur, jangan panik dan jangan dilawan ya Bu, kalau pusing tidur saja.”. Sempat lupa saya di mana dan kenapa, tapi akhirnya ingat dan saya pun memaksa diri tidur lagi. Sempat mencoba untuk benar-benar bangun tapi super duper pusing. Setelah agak sabar, saya memanggil suster, dan berkata, “mual”. Karena memang rasanya mual sekali, tapi karena puasa jadi memang tidak ada yang dimuntahkan.

Seingat saya, Pk.11.30 saya sudah dikembalikan ke ruang pasien. Dr. Maria datang tak lama kemudian, mengatakan “sudah bersih ya”, kemudian mengingatkan suster untuk memesankan makan siang. Setelah makan siang, suster datang mengantarkan obat. Saya diijinkan pulang setelah berhasil buang air kecil & berganti pakaian — dibantu suster. Jaringan hasil kuratage sempat ditanyakan kepada saya, mau dibawa pulang atau dikirim ke lab. Saya minta dikirim ke lab, dan kena biaya 1, 2 juta. Total biaya yang kami keluarkan untuk tes darah di awal, tindakan, obat, tes lab jaringan dll sekitar 7,5 juta. Kalau dibandingkan dengan RS Omni Alam Sutera & RS Mayapada Modernland, RSIA St. Carolus ini agak kurang bagus di sistem komunikasi dan informasi, contohnya ketika kami ke CS dan kami disuruh ke atas bertemu dr. Maria; sampai di atas kami celingak-celinguk seperti orang bingung dan ketika bertanya ke suster yang ada di situ, dia juga kebingungan siapa kami dan di mana dr. Maria. Bahkan tidak ada yang mengarahkan kami tentang prosedur pembayaran, dsb sampai kami harus bertanya-tanya. Tetapi, yang saya suka adalah dokter dan suster-suster di St. Carolus ini sungguh manis dan baik hati. Suster-susternya sangat lembut, murah senyum, dan sabar menolong. Diberkatilah mereka!

Seminggu kemudian sewaktu kontrol, hasil lab hanya menunjukkan memang betul itu sisa janin, dan tetap tidak bisa menjawab penyebab keguguran ini. Dari banyak kasus kematian mudigah, penyebabnya memang 1001 alasan; mayoritas memang karena kelainan genetis. Dalam waktu seminggu, saya sudah terbebas dari masa nifas. Proses kuretage sendiri tidak menyakitkan, karena bius total. Hanya setelahnya saja ada rasa perih bekas alat-alat kuret, tapi juga tidak seberapa. Mungkin karena sudah pernah melahirkan normal sebelumnya, sehingga rasa sakitnya tidak ada artinya. Yang sakit ada di hatinya :’).

Saya sudah menerimanya dengan lapang dada, dan saya percaya bahwa semua ini adalah yang terbaik. Saya juga tidak menyalahkan diri sendiri maupun yang lain. Saya bersyukur ada banyak orang yang membantu saya dalam doa maupun materi. Karena anak pertama saya begitu “mudah” dan “lancar”, saya berpikir bahwa kehamilan itu mudah. Tetapi tidak ada kehamilan yang “mudah”. Kalau keguguran saja ada maksud Tuhan, tentu kehamilan bahkan kelahiran itu ada maksud Tuhan juga. Intinya adalah, sejak pembentukan janin, proses berkembang janin, sampai keluar jadi bayi, semuanya itu ada dalam rencana Tuhan. Tidak ada kehamilan dan kelahiran yang tidak dikehendaki Tuhan. @ristiirawan

Ada 1 perikop yang menguatkan saya, dari Mazmur 145:14-18 :jatuh

Tuhan itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk. Mata sekalian orang menantikan Engkau dan Engkaupun memberi mereka makanan pada waktunya. Engkau yang membuka tanganMu dan yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup. Tuhan itu adil dalam segala jalan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya. Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang yang berseru kepada-Nya dalam kesetiaan.

For every women out there, be strong ^^

Resensi Film: 22 Jump Street (2014)

22-Jump-Street

Setelah sukses menyamar sebagai anak SMA dan membongkar sindikat narkoba, dua polisi: Schmidt (Jonah Hill) & Jenko (the super hot – Channing Tatum) kembali ditugaskan untuk menyusup ke universitas. Mereka diminta melakukan “tepat sama” seperti misi sukses sebelumnya, demi keberlangsungan program “jump street” yang mulai kehabisan dana karena usaha-usaha gagal mereka. Selain karier mereka, persahabatan Schmidt-Jenko juga diuji dalam 22 Jump Street ini. Ketika Jenko yang lebih populer mendapatkan kesempatan untuk melepas karier dari kepolisian; sementara Schmidt dirasa hanya menjadi beban bagi Jenko.

Sutradara Phil Lord & Christopher Miller memang berhasil menyajikan hiburan yang mampu membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Apalagi chemistry Jonah Hill dengan Channing Tatum sangat cocok dan terlihat natural. Hanya dengan melihat raut muka Hill-Tatum saja, kita sudah bisa ikut geli sendiri. Tetapi memang humor yang ada cenderung “bodoh”, bukan jenis humor yang cerdas. Humor dan dialog konyol mendominasi sepanjang film, yang menyebabkan penonton jadi masa bodoh dengan cerita utamanya: siapa pengedar narkoba? Ketika teka-teki tentang pengedar narkoba mulai terbuka, penonton sudah tidak peduli dengan cerita tentang narkoba ini. Mereka  lebih terbuai dengan cerita persahabatan-hampir-gay antara Schmidt dan Jenko. Aura maskulin dalam film ini cukup kencang, karena selain kisah cinta Schmidt dengan Maya (Amber Stevens), nyaris tidak ada tokoh wanita menarik lainnya. Jelas bukan film yang menarik ditonton oleh kaum pria normal. Justru cowok-cowok yang ada di film ini, seperti Rooster (Jimmy Tatro) & Zook (Wyatt Russell) yang lebih pantas sebagai “eye-candy”.

Kembali berbicara tentang humor, tentu humor yang ada di Indonesia berbeda dengan di Amerika. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila beberapa humor akan dirasa “tidak lucu” oleh penonton Indonesia. Yang menarik adalah credit title di akhir film — yang menceritakan sejarah 21 jump street yang memang berasal dari serial TV. Bahkan ada cameo dari pemeran asli di serial TVnya. Namun, untuk hal yang terakhir ini juga, hanya penonton lama yang paham. Bagi penonton baru, tetap bisa menikmati film ini tanpa harus mengetahui sejarah sebelumnya. Secara keseluruhan, 22 Jump Street cukup menghibur, tidak perlu berpikir saat menontonnya, dan mudah dilupakan. My score is 5/10. @ristiirawan

My Trip To Tidung Island

My Trip To Tidung Island

SMI Alsut Go To Tidung Island
SMI Alsut Go To Tidung Island

Pulau Tidung adalah salah satu pulau yang paling terrkenal dari Kepulauan Seribu. Saya berangkat ke sana bersama teman-teman kantor untuk tour 2 hari 1 malam pada tanggal 27-28 Mei 2014. Dengan peserta 16 orang, kita cukup membayar 275ribu untuk paket wisatanya, sudah termasuk penginapan AC, makan 3x, snorkeling, sewa sepeda, BBQ. Kita pilih agen yang berangkat via Muara Angke karena itu yang murah. Kalau berangkat via Marina Ancol harus nambah 300-350ribu/orang. Tapi bedanya memang jauh, kalau lewat Muara Angke perjalanan di laut 3 jam, sementara dari Ancol hanya 1 jam. Jam 6 pagi kami sudah tiba di Muara Angke dan langsung naik kapal, tapi sayangnya, kapal masih menunggu penumpang lain sehingga kami baru berlayar jam 8. Kebayang kan bosannya menunggu? Apalagi laut di Muara Angke sangat kotor, banyak sampah-sampah, sehingga kurang sedap untuk dipandang.
Berikut beberapa tips yang mungkin berguna jika ada yang mau wisata ke Pulau Tidung:
1. Masker untuk di Muara Angke
Kalau Anda nggak tahan bau amis, yang satu ini wajib. Muara Angke jalanannya becek, kotor, dan so pasti baunya amis banget..
2. Sandal “layak pakai”
Berhubung jalanan dari Muara Angke sampai Pulau Tidung itu idntik dengan becek, kotor, dan nggak mulus, lebih baik pakai sandal dari bahan plastik, nyaman dipake, dan nggak takut kotor.
3. Botol air minum
Di Muara Angke nggak ada toilet yang bersih! Apalagi pas waktu itu, airnya lagi mati. Haduh… untung bawa air minum & tissue basah. Selain itu, perjalanan 3 jam di kapal maupun wisata ke mana saja, pasti bikin haus. Jangan sampai dehidrasi.
4. Obat anti mabuk, kipas, tas.
Perjalanannya 3 jam di atas kapal. Jadi buat yang nggak tahan mabuk, minum deh antimo. Terus tas kita yang gedhe juga bisa berfungsi buat bantal kalau pengen tidur di kapal. Kipas buat kipas-kipas saking panasnya. Oh ya, karena sekarang era digital, so pastikan gadget bisa jadi hiburan di atas kapal (sedia powerbank!)
5. Kantong Sampah
Sayang banget. laut kita itu banyak kotorannya, seperti plastik, bungkus makanan, botol minum, dsb. Usahakan sampah-sampah kita masukin kantong dan buang di tempat sampah begitu sampai darat. Kalau ditinggal di kapal, percuma, pasti dibuangin ke laut juga. Karena saya lihat sendiri, sudah ngumpulin sampah di 1 kantong, ehhhh.. ternyata sama mas-mas tukang kapalnya pas bersihin tetep dibuang ke laut. Haduh… heran deh. Mereka kan cari kerja di situ juga, kenapa nggak mencegah lautnya jadi kotor? Para turis juga harus mawas diri, ngakunya pecinta alam, harus bisa menjaga kebersihan alam dong?

Kondisi Di Atas Kapal
Kondisi Di Atas Kapal

6. Sunblock
Yang satu ini pasti wajar banget buat yang mau liburan ke laut. Kalau nggak pakai sunblock, siap-siap saja kulitnya kebakar.
7. Pakaian ekstra
Jangan ngirit pakaian! Karena bakal basah-basahan di sana, lebih baik bawa pakaian ekstra. Meskipun niat awal nggak mau basah, begitu lihat laut, pasti nggak tahan buat nggak mainan air! Kalau cuma travelling biasa bawa 3 pasang, kali ini bawa saja 5 pasang.
8. P3K & Cuka
Obat yang perlu dibawa selain obat pribadi, adalah betadine, tensoplast, panadol, tolak angin, counterpain dan norit. Norit penting banget karena kita bakal makan macam-macam hidangan laut kan? Yang terakhir, bawa cuka untuk mengobati kalau kena bulu babi. Bulu babi konon hanya bisa lepas kalau dikasi cuka. Untung selama perjalanan kemarin, nggak ada yang kena bulu babi, karena memang sedang nggak musim.
Processed with Moldiv
9. Bawa Jaket Anti Air
Waktu snorkeling, pasti tas dll kita tinggal, bahkan bawa baju ganti pun percuma karena nggak ada ruang ganti di atas kapal. Tapi supaya kita nggak pulang dengan pakain basah, mending kita siap jaket anti air buat dobelin baju kita. Karena kalau pakai baju biasa pun nanti basah, sayang bajunya. Menghindari masuk angin. Pastikan perut kita nggak kelaparan juga sebelum main air.
10. Manfaatkan Waktu
Manfaatkan waktu sebaik mungkin, semua wahana harus dicoba supaya merasakan liburan yang sesungguhnya. Snorkeling dsb itu wajib. Kemudian saat snorkeling, kalau waktu memungkinkan, kita bisa minta diangar ke-2 spot lainnya, yaitu pasir yang berwarna-warni & pulau yang bagus buat foto-foto. Jangan lupa lihat sunset-nya sambil makan otak-otak dan es kelapa. Saya melewatkan pasir warna-warni dan otak-otaknya karena terlalu lama leha-leha di penginapan, menyesal deh!

Sepeda Santai Setelah Snorkeling
Sepeda Santai Setelah Snorkeling

Secara keseluruhan, liburan ke Pulau Tidung 2 hari 1 malam saja sudah cukup menyenangkan. Bahkan bisa dibilang ini liburan termurah yang pernah saya dapatkan. Meskipun penginapannya kotor (tembok jamuran, sprei kusam, pasir di mana-mana, AC nggak dingin); makanannya nggak enak (kurang bumbu); sepedanya banyak yang reyot dan berkarat (kayuh sepeda saya sempat patah sebelah kirinya); BBQ sederhana (ikan & cumi yang nggak enak rasanya); tetapi dengan harga segitu sudah dapat semuanya, dipikir-pikir tetap itu murah sekali! Traveling is addictive! Jadi kecanduan pengen lagi liburan ke pulau! See my other photos at my Instagram or Facebook @ristiirawan

Photo Session Spot (di luar Pulau Tidung)
Photo Session Spot (di luar Pulau Tidung)