13 Reasons of Why (Season 4) Review

“Thirteen Reasons of Why” adalah sebuah film serial yang mengangkat hampir semua isu negatif yang ada di dunia remaja Amerika. Aku sudah pernah mengulas Season 1-3, dan menobatkan serial ini sebagai “A-List” dari serial drama remaja Netflix yang sedemikian banyak. Season 1 diangkat dari sebuah novel, sementara Season selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Netflix. Tidak heran jika kualitas cerita Season 1 jauh di atas semua Season.

Aku bersyukur Netflix memutuskan untuk mengakhiri kisah fenomenal Clay Jensen dan teman-temannya di Season 4. Rasanya kisah tentang masa SMA tidak perlu dibaut sampai berlarut-larut. Tokoh-tokohnya berhak untuk lulus SMA. Itu adalah hal yang alamiah. Ekspektasi tinggi tentang Season 4 ini membuatku agak kecewa setelah menontonnya. Season 1 memang “Masterpiece” yang akan selalu membekas di benak penonton; beda dengan Season 4.

Konflik dalam 13RY memang semakin brutal di Season 3; dari suicide hingga pembunuhan. Rasanya tidak sehat menonton bagaimana dunia remaja bisa sekejam itu. Wajar jika 13RY banyak mendapat kritik karena dianggap terlalu kelam dan dapat memberikan inspirasi yang salah bagi para ABG yang jiwanya masih labil. Namun konflik yang ada di 13RY selalu seru untuk didiskusikan dan dibicarakan, apalagi tidak hanya menyangkut kekerasan fisik, tetapi juga kesehatan jiwa. Banyak isu mental illness dalam film ini, terutama kesehatan mental Clay Jensen, sebagai tokoh utama, yang terus memburuk dari Season 1, hingga puncaknya di Season 4.

Selanjutnya aku ingin menyampaikan “uneg-uneg”ku yang membuatku kecewa dengan film ini dan memberinya rating 6.

jadi…

SPOILER ALERT SPOILER ALERT SPOILER ALERT!!!!!!!

Pertama, menurutku 13RY Season 4 ini agak menurun intensitasnya dalam membawakan cerita. Walaupun memang ada beberapa episode yang menegangkan, seperti percobaan adanya bencana di sekolah. Tetapi sisanya, selama 10 episode, lebih banyak adegan-adegan yang tidak penting. Apalagi gaya penceritaan yang melompat dari tokoh satu ke tokoh yang lain tidak semulus Season sebelumnya. Seharusnya Season 4 ini tidak perlu dibuat 10 episode; daripada bertele-tele.

Selain itu, karakter yang sudah berkembang dengan baik dari Season 1-3, malah disia-siakan. Sebut saja Zach Dempsey, yang menjadi karakter sentral, malah di Season 4 ini dibiarkan cuma mengacau begitu saja. Buat apa memberikan durasi sebegitu banyaknya hanya untuk menunjukkan kalau Zach sedang dalam fase membuang-buang hidupnya?

Sejak awal aku juga sudah curiga kalau Justin akan jadi orang yang “mati” dalam Season 4 ini, karena awalnya terlalu tampak indah. Dia pulang dari rehabilitasi, terlihat gemuk dan sehat, lalu… memutuskan Jessica. Bagian ini yang paling tidak cocok dengan karakter Justin selama ini. Seperti yang kita tahu, Justin selalu diceritakan mampu berbuat apa saja demi Jessica. Bahkan hingga akhirnya di Season 4 juga ia kembali seperti semula. Lalu buat apa dipaksa pada awalnya untuk memutuskan Jessica? Sepertinya yang nulis bingung mau buat konflik apa.

Belum lagi tokoh lainnya, seperti Winston yang aku kira akan jadi salah satu karakter yang kompleks dan membuat cerita jadi berbobot. Ternyata ia berubah hanya menjadi pengejar cinta dan rahasia yang terlihat bodoh. Kemunculan Diego Torres sebagai “atlet” baru mungkin bisa diterima; walau terasa aneh karena tidak pernah ada di Season sebelumnya.

Karena Diego tidak pernah disorot di Season sebelumnya, aku sulit berempati ketika ia mengatakan bahwa ia mencintai Monty, dan sebagainya. Demikian pula dengan kemunculan karakter Estela sebagai adik Monty yang tidak jelas apa kontribusinya dalam jalan cerita, selain menambah-nambahi daftar karakter baru. Mungkin harapannya biar penonton tidak bosan.

Masalahnya, dengan begitu banyaknya karakter yang melekat di benak penonton, penulis film ini seperti kebingungan membagi peran yang adil bagi mereka semua. Tentunya semua ingin karakter yang mereka ciptakan dari Season 1 mendapatkan peran yang bermakna. Sayang sekali implementasinya malah berantakan. Dialog-dialognya juga banyak yang ngalor-ngidul tidak jelas dan memaksakan propaganda LGBT. Tiba-tiba bermunculan banyak pasangan gay dalam film ini.

Jessica yang sangat dominan dalam film ini justru kehilangan pesonanya. Jika dalam season sebelumnya ia bermetamorfosis dari gadis penakut jadi pemberani; dalam season ini ia terus-menerus dipaksakan untuk terlihat pemberani —- dan jadinya tidak keren. Karakter Ani yang pemerannya menerima cyber-bullying (ironis) juga terlihat “diselamatkan” oleh penulis agar tidak dibenci lagi oleh pemirsa; tetapi justru membuat karakternya jadi tidak penting dan lemah. Satu-satunya tokoh selain Clay Jensen, yang perkembangan karakternya paling masuk akal dan konsisten adalah Tony Padilla; dengan pergumulannya antara mempertahankan warisan keluarganya atau memperjuangkan masa depannya.

Hal yang tidak masuk akal dalam cerita ini justru dari Clay Jensen sendiri. Bisa dimengerti bahwa ia banyak kehilangan ingatan karena seolah-olah ia menjadi orang lain di saat itu.

Tetapi yang tidak masuk akal adalah sutradara film ini tidak mau susah-susah untuk menjelaskan kepada penonton apa yang sebenarnya Clay lakukan. Terutama di adegan gua, yang sampai sekarang tidak logis bagaimana Clay bisa punya cukup waktu antara keluar dari gua, mengumpulkan hadiah, mengganggu temanya di gubug, menyiksa Breecher, memporak-porandakan tenda tanpa ketahuan Ibu & Gurunya. Meskipun sesi konseling Clay dan dr. Elman adalah hal yang menarik bagi beberapa orang yang suka dengan isu kesehatan mental; tetapi harusnya bisa ditulis dengan lebih baik. 

Banyak adegan dalam film ini yang terlihat kasar cutting & editing videonya, seperti sinetron Indonesia saja. Sungguh hasil yang mengecewakan untuk 13RY. Untung audio film ini cukup mendukung; tidak terlalu dominan, tetapi memberikan efek yang berguna untuk menambah “gereget”.

Secara keseluruhan, 13RY Season 4 tidak terlalu brutal seperti Season 1-3, mungkin karena ini seperti “hadiah perpisahan” bagi para fansnya. Isu baru tentang teknology & privacy juga ide yang sebenarnya cukup bagus.

Akting para pemerannya sudah berkembang dibandingkan Season 1. Terutama Brandon Flynn sebagai Justin, yang aktingnya berhasil membuatku meneteskan air mata. Semua pemeran berhasil membawakan karakternya dengan baik. Jika penampilan mereka buruk, itu bukan karena akting mereka yang kurang bagus; tetapi karena penulisan cerita yang payah.

Akhir kata, Season 4 sudah selesai. Selamat tinggal, Clay Jensen, Jessica Davis, Tony Padilla, Alex Standall, Zach Dempsey, Tyler Down dan Justin Foley. Terimakasih sudah menemani selama 4 Season.

Leave a comment