My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?

Leave a comment