Warrior Nun (2020)

Bumi, Surga & Neraka memang tidak ada habisnya untuk dikembangkan secara imajinatif menjadi kisah fantasi; karena pada dasarnya manusia selalu tertarik tentang after-life dan semacamnya. Biasanya cerita akan mencocokkan dengan suatu kepercayaan atau mitos tertentu. Warrior Nun memilih agama Katolik sebagai landasan ilmu “cocoklogi” (semuanya serba dicocokkan sehingga terasa masuk akal) film ini. Kenapa aku tertarik jenis film seperti ini? Karena aku pengen tahu penulis ceritanya punya gagasan apalagi yang baru tentang konsep surga-bumi-neraka dan bagaimana mereka menggunakan alkitab sebagai bahan imajinasi mereka. Terkadang imajinasi atau teori (kalau yang lebih pintar) mereka cukup memukau. Sebut saja Davinci Code yang booming sampai disebut sesat dan dilarang di berbagai gereja (please ini cuma review film, jangan debat masalah sesat atau nggak ya!) karena high-skilled cucoklogi.

Warrior Nun ini tetapi jauh dari Davinci Code, malah lebih mirip Shadowhunters: The Mortal Instruments yang juga ada di Netflix. Sayangnya, meski bukunya populer, film dan serialnya tidak sepopuler itu. Filmnya flop di pasaran. Serialnya…. aku sendiri tidak tahan menonton karena akting dan naskahnya yang kaku kaya kanebo kering. Warrior Nun diangkat dari webcomic “Warrior Nun Areala” karya Ben Dunn ini dikembangkan oleh Simon Barry untuk Netflix, menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Ava (Alba Baptista) yang telah meninggal dunia, tetapi hidup kembali karena “The Halo” lalu mendapatkan kekuatan super, seperti: menyembuhkan diri dan menembus dinding. “Halo” yang sering kita kenal sebagai lingkaran malaikat itu, ternyata adalah barang berharga yang dilindungi oleh Sekte rahasia dari Gereja Katolik secara turun-temurun selama berabad-abad. Sekte tersebut terdiri dari biarawati yang setia, berdedikasi, dan terlatih untuk melawan roh jahat dan iblis di Bumi.

Halo yang malah mengingatkanku akan “sundel bolong”, gimana dong? haha.

“Halo” biasanya dimasukkan dalam punggung seorang biarawati terpilih yang telah dilatih khusus, disebut: “The Warrior Nun”. Tetapi Ava mendapatkan “Halo” tersebut karena suatu kecelakaan, tidak biasanya peristiwa tersebut terjadi. Ava adalah yatim-piatu yang lumpuh tangan & kakinya, sehingga ketika ia hidup kembali, semua hal yang ia rasakan adalah sesuatu hal yang baru. Ava yang tidak memiliki iman yang sama dengan para biarawati, berusaha kabur dari tugasnya. Sementara Sekte sedang menghadapi konflik internal yang berbahaya, termasuk kehadiran Iblis mematikan yang memburu “Halo”.

Warrior Nun cukup membuat penasaran pada awalnya, tetapi lama-lama aku merasa bosan karena jalan ceritanya bertele-tele. Selain itu, karakter tokoh utamanya, Ava, bukan tipe yang menarik simpatik. Sulit untuk menyukai suatu serial, jika kita tidak suka dengan tokoh utamanya. Sampai hampir Season 1 berakhir, Ava ditunjukkan sebagai sosok yang sangat egois dan tidak memiliki kelebihan apapun, selain jago membuat lelucon yang menyebalkan. Bahkan sampai suatu adegan yang seharusnya membuat ia mengambil keputusan bijak, Ava tetap lari dari “panggilan”nya. Dalam hal ini, mungkin pencipta dan penulis serial ingin menyajikan cerita yang bukan klise, yang lebih relevan dengan kondisi manusia pada umumnya: kabur jika ada hal yang menakutkan. Lalu seolah tersadar, tanpa suatu alasan yang jelas, tiba-tiba Ava bersedia masuk ke dalam Sekte dan membantu rencana mereka (ya elah kenapa gak dari awal sih, ribet amat ini ceritanya). Lebih parahnya lagi, belum selesai ceritanya bagaimana, sudah ENDING SEASON 1. Are you kidding me?! Kalau memang hanya punya jatah 10 episode, kenapa tidak menuntaskan satu putaran cerita? Kenapa harus membuang-buang waktu dengan dilema dan pergumulan Ava yang memakan sekian banyak episode (terasa sia-sia)? Mungkin ini yang dinamakan strategi marketing dalam serial TV. Tidak penting kepuasan penonton terhadap ceritanya bagaimana, yang penting buat ending menggantung, supaya mereka mau menonton Season selanjutnya.

Mother Superion, My Favourite Character of this Movie.

Sebenarnya Warrior Nun memiliki potensi besar untuk membuat kita menyukai Sekte mereka yang menjunjung loyalitas dan kesetia-kawanan. Tetapi entah kenapa, aku sulit merasakan chemistry di antara para biarawati ini, meskipun karakter pendampingnya banyak yang menarik, seperti: Beatrice yang serba bisa, Mother Superion yang tegas, dll. Mungkin karena “bahaya” dalam film ini tidak terasa menyeramkan. Lalu banyak kisah yang tidak dikembangkan dan hilang, termasuk kisah Ava dengan JC (Emiliki Sakraya) yang berhenti begitu saja (sia-sia lagi..). Plot Twist yang ada juga sudah bisa ditebak siapa penjahatnya. Satu hal yang menarik adalah bagaimana penulis menggunakan ayat-ayat kitab suci menjadi judul episode dan menyelipkannya dalam setiap dialog. Bahkan di sini kita bisa melihat pandangan-pandangan orang beriman dan tidak beriman terhadap kebaikan dan kejahatan. Setidaknya dari sisi iman, film ini boleh lah usahanya.

Walaupun Parent’s Advisory Rating nya TV-MA, sebenarnya tidak ada adegan sadis yang terlalu mengerikan…. wait! memang iblis yang muncul cukup mengerikan dan bisa menusuk manusia terus kelihatan ada darahnya; tetapi menurutku tidak mengguncang jiwa, karena kita masih bisa menerimanya sebagai “Hanya Animasi”. Ada adegan percintanya, tetapi hanya sedikit dan tidak vulgar. TV-MA diberikan karena banyak adegan kekerasan yang memang tidak cocok ditonton anak-anak. Secara keseluruhan, film ini bisa menjadi hiburan jika kita suka dengan tema fantasi surga-bumi-neraka; tanpa kita perlu merasa terlalu gloomy; tetapi ya sudah.. hanya lewat begitu saja, tidak ada kesan mendalam yang ditinggalkan. Oh.. ada sih.. KESAL karena ceritanya tidak ditutup dengan baik di Season 1.

Otomatis pasti mau dong nonton Season 2?

Strategi Marketing berhasil.

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?

Perjalananku Ke Wisata Alam Kali Biru

Awalnya dari melihat foto temen (Ci Evy!) yang bagus banget. Ternyata lokasinya ada di dekat kampung halamanku. Jadi dicetuskanlah misi untuk liburan akhir tahun ini: berfoto di Kali Biru!

Berikut adalah hal-hal penting yang perlu diperhatikan ketika berkunjung ke Kali Biru

1. Cara menuju ke sana bisa dengan google map atau waze.

Kali Biru ini terletak di Kulon Progo, Yogyakarta, Jawa Tengah. Jangan khawatir, Google Map & Waze sudah cukup akurat; meski sinyal yang paling kuat di daerah sana adalah operator telkomsel (maaf, bukan iklan). Petunjuk jalan menuju ke Kali Biru juga cukup jelas.

2. Pakai mobil yang sehat & sopir yang terampil.

1483141800519Jalanan di daerah Kali Biru banyak yang tidak rata, bergelombang, dan berlubang. Semakin ke atas, jalannya akan semakin berkelok-kelok dengan tikungan tajam dan tanjakan + turunan yang tajam. Jika mobilnya sehat dan sopirnya terampil, sebenarnya tidak ada masalah, pasti bisa sampai. Tetapi jika mau lebih nyaman, bisa sewa jeep yang banyak tersedia begitu mendekati pusat wisatanya. Tinggal duduk manis dan bayar Rp. 40.000,00/ orang sudah pergi-pulang. Ada sekitar 3 tempat yang menyediakan jasa jeep atau ojek.  Dari parkiran mobil/jeep ke pintu masuk jalannya tinggi (tanpa tangga), lumayan buat kaki pegal. Ada sih ojek yang bisa disewa nganterin ke atas dengan biaya Rp 20.000,00.

 

3. Berangkat pagi-pagi

Sempat “mission failed” di hari pertama karena berangkat kesiangan. Aku berangkat dengan mobil pribadi dari Solo 7.30, kena macet parah di Prambanan karena harus jemput saudara dulu di Bantul. Solo-Jogja yang biasanya cuma 1,5 jam; hari itu sampai 3 jam karena musim liburan. Akhirnya begitu sampai di sana Pk. 13.00, di tengah perjalanan dengan jeep, kami mendapatkan informasi bahwa spot foto sudah ditutup (karena antrian sudah sangat banyak).

Belajar dari kegagalan di hari pertama, akhirnya besok pagi kami mengulang kembali, berangkat dari Solo Pk. 05.00 WIB dengan rute yang sama dan sampai di Kali Biru Pk. 09.00 WIB. Sayangnya…… hujan deras mengguyur semenjak dari Solo. Kondisi cuaca di Kali Biru tidak baik, gerimis & kabut tebal; sehingga petugas pun belum membuka spot foto karena berbahaya untuk keamanan jiwa. Kami memilih menunggu di warung dekat pintu masuk, dari makan indomie, ngopi, main kartu sambil menikmati hawa dingin & kabut.

4. Siap siaga untuk daftar ke petugas spot foto (bisa booking via telephone).

Pk. 12.00 WIB kabut sudah menghilang, tapi hujan masih rintik-rintik. Kami memutuskan untuk masuk mendekati spot yang kami inginkan. Hampir putus-asa dan mau pulang karena spot foto belum dibuka, tapi kami memutuskan mampir lagi di warung dekat spot bundar. Ibu yang punya warung Sido Mampir ini baik sekali, tahu kalau kami masih awam, dia menyarankan agar kami mencari petugas tiket spot foto untuk mendaftarkan nama terlebih dahulu. Dia juga menunjukkan di mana petugasnya sedang nongkrong. Berkat tips ibu warung ini, kami berhasil dapat giliran pertama di spot bundar! yeah!

1483141820611.jpg

Proses fotonya: daftar nama & jumlah orang yang mau foto, beli tiket foto, berfoto, lalu kita dibantu petugas lainnya untuk memilih foto yang mau diambil dengan menggunakan laptop. Mereka akan transfer hasilnya ke smartphone atau flashdisc (jika kita bawa). Mau foto sendiri pun bisa, tapi lebih baik gunakan jasa di tempat karena mereka sudah terbiasa untuk atur cahaya, termasuk gaya kita biar ga kikuk, hahaha..

Tiket masuk ke Kali Biru Rp. 10.000,00/ orang. Belum termasuk biaya untuk spot foto (tiap spot harus bayar lagi sekitar Rp 10.000-35.000 untuk flying fox); dan jasa foto (tiap foto yang diambil kena Rp. 5000, 00; minimal tiap orang ambil 4, bisa juga dapat diskon jika ambil semuanya).

img_0137

Spot foto yang ada di Kali Biru ada 5 buah. Tipsnya, waktu awal segera daftarkan nama di semua spot yang diinginkan (jangan nunggu spot 1 baru ke spot lainnya untuk antri). Beberapa spot banyak yang mirip (ada pohonnya), yang cuma ada 1 adalah spot love (for couple), spot bundar, dan spot panggung (untuk group). Waktu antri sempat diberi informasi bahwa kalau ada yang booking datang, maka nomor yang ini akan digeser. Rupanya bisa juga booking lewat telephone dulu baru datang! Tapi jika tidak mau booking pun, pakai caraku di atas juga cukup mujarab. Lincah.

16-12-31-06-16-39-232_deco

5. Pakai pakaian & alas kaki yang nyaman

Dari namanya “wisata alam” saja seharusnya semua sudah tahu ya.. Jangan memakai pakaian dan alas kaki yang tidak cocok untuk naik-naik (ada juga kemarin yang pakai rok atau pakai heels.. mau fashion show, mbak? haha). Siap-siap alas kakinya kotor juga kalau lagi musim hujan seperti sekarang. Untuk orang yang takut ketinggian tidak cocok buat berfoto di sini, walaupun semuanya aman. Tali pengaman yang digunakan juga sudah standard (konon kalau dulu masih pakai tali buat kambing, haha). Cuma mungkin waktu nak-turun tangga ke spot-nya yang bikin kaki gemeteran. Cuaca mendung ada plus-minusnya. Plusnya kita nggak silau kepanasan kena matahari, minus-nya warna langitnya jadi kurang bagus.

5. Jangan khawatir untuk akomodasi

Seperti yang sudah kusebutkan di atas, Kali Biru menyediakan banyak warung makan; ada mie, nasi pecel, dll. Jadi jangan khawatir kelaparan (atau kehausan). Untuk toiletnya masih toilet jongkok, tapi kebersihannya cukup baik dan airnya bersih. Di Kali Biru juga tersedia rumah-rumahan kecil yang bisa disewa untuk bermalam.

dsc_1187

Demikian cerita perjalananku ke Wisata Alam Kali Biru, berikut dengan tips sederhana yang sekiranya bisa membantu kalian berkunjung ke sana. Secara keseluruhan, Wisata Alam Kali Biru ini dikelola dengan cukup baik, pemandangan alamnya luar biasa indah (aku saja masih mau kalau diajak ke sana lagi), sehingga patut menjadi destinasi wisata unggulan di Kulon Progo. Oh ya, wisata alam ini tidak cocok untuk bayi & anak-anak (demi keselamatan mereka), orang lanjut usia, orang takut ketinggian, dan orang yang punya masalah kesehatan kaki. @ristiirawan

Resensi Film: Gone Girl (2014)

gone girlll

Gone Girl dinominasikan untuk best performance by an actress in leading role (pemeran utama wanita). Selain itu, juga dinominasikan dalam Golden Globe: Sutradara: David Fincher, Screenplay Writer: Gilian Flynn, dan Original Score: Trent Rezno & Atticus Ross. Memang Gone Girl layak untuk masuk nominasi!

Gone Girl menceritakan sepasang suami-istri, Nick Dunne (Ben Affleck) dan istrinya Amy (Rosamund Pike). Nick adalah seorang penulis, sementara Amy terkenal sebagai “Amazing Amy” yang cerita hidupnya ditulis oleh orang tuanya. Amy adalah “idola” bagi masyarakat: cantik, pintar, lulusan di berbagai universitas terkenal; hidupnya sempurna. Pada awalnya hubungan mereka begitu manis dan romantis; bahkan mereka berpendapat bahwa apapun yang terjadi, pernikahan mereka tidak boleh menjadi seperti orang-orang pada umumnya yang penuh tuntutan, dll. Namun ketakutan mereka pun justru terjadi tanpa mereka sadari, keadaan mulai berubah setelah Nick kehilangan pekerjaannya. Ketika keadaan sudah semakin runyam, justru kepribadian asli mereka muncul, menunjukkan siapa sebenarnya diri mereka.

Film berdurasi 149 menit ini adalah film drama yang mencekam karena sisi psikologisnya. Dalam film jenis ini, penonton sulit menebak, siapa “dalang” dan siapa “korban”. Serunya ada pada bagian menebak-nebak apa yang sebenarnya ada di pikiran para karakternya. Sebaiknya menonton film ini TANPA spoiler dahulu, sehingga saya juga tidak akan membocorkan cerita terlalu banyak di resensi ini.

Rosamund Pike memang keren! Di menit-menit awal saja, hanya dengan ekspresi wajah dia menoleh, ada rasa seram yang merambati penonton (creepy!). Selain memang Amy adalah tokoh sentral dalam film ini, Pike memang mampu menghidupkan karakter Amy dengan sangat baik. Dari penampilan fisik, gaya bicara, hingga tatapan mata. Chemistry dengan Ben Affleck juga sangat terasa. Affleck sendiri memang memiliki wajah yang cocok untuk memerankan sosok Nick Dunne yang “galau”. Sementara pemeran figuran, Neil Patrick Harris juga sangat cocok dengan peran yang dibawakannya.

Gilian Flynn menulis cerita yang luar biasa bagus; tetapi David Fincher juga sutradara yang mampu menciptakan “kondisi” yang kondusif, sehingga kekuatan masing-masing karakter dapat keluar total — bukan semata karena usaha para artisnya. Ketegangan dapat terbentuk dengan baik berkat soundtrack yang sangat mendukung: tidak berlebihan tapi diam-diam menghanyutkan. Secara keseluruhan, film ini patut mendapat nilai 9/10 @ristiirawan. Buktinya, meski durasinya panjang, saya tidak menguap sedikit pun, dan terus penasaran akan penyelesaian ceritanya seperti apa. Setelah selesai, saya masih memikirkan sosok “Amazing Amy”; bahkan merenungkan film tsb.

MESSAGES
* Bersyukurlah pasangan hidupmu bukan psikopat (hahaha).
* Pernikahan tidak seindah bayangan awal, semuanya harus dilakukan dengan usaha keras.
* Cinta atau lebih tepatnya obsesi bisa jadi sangat mengerikan. (Pada akhirnya, sulit menilai apakah kelakuan Amy itu cinta atau obsesi?).
* Karakter orang yang sebenarnya baru akan keluar setelah berada dalam keadaan “susah”.
* Selalu ada 2 sisi cerita.

gone-girl

Liburan di Taman Safari Bogor

Liburan ke Taman Safari Indonesia cukup menyenangkan. Tempatnya besar, sehingga 1 hari saja tidak cukup untuk mengunjungi semua wahana dan menonton semua pertunjukkan.

2014-11-21 15.07.26

Dalam rangka ulang tahun anak ke-3 (Bellatrix), maka kami memutuskan untuk berlibur ke Taman Safari di Cisarua, Bogor. Berangkat Pk. 12.00, mengandalkan aplikasi WAZE kami melewati jalan2 alternatif, jadi sampainya lebih cepat. Pk.15.00 kami sudah sampai di The Rizen Hotel (saya sudah booked sebelumnya via agoda). Tapi mengejutkannya, The Rizen belum siap menerima kami, karena tamu sebelumnya baru saja check-out & kamarnya masih dibereskan. Jadi lah kami menunggu 30 menit. Untuk hotelnya, secara kebersihan, sanitary, luas kamar, semuanya OK. Ada kolam renang & mainan buat anak-anak juga.

2014-11-21 03.15.58

2014-11-21 15.05.49

Ini kali ke-2 kami ke Taman Safari (TS). Pertama kali ke TS waktu musim liburan, jadi suasanannya “nggak banget”. Berharap di weekend biasa, kerumunannya tidak terlalu padat. Tapi ternyata dugaan kami salah, karena ada beberapa rombongan besar dari perusahaan tertentu, sehingga tetap saja ramaiiiiii!! Untuk makan siang saja, kami harus antri panjang. Tips: jangan beli masakan padang di sana, karena paling mahal di antara lainnya. Untung toiletnya di sini cukup bersih, meskipun bukan standard internasional. Bahkan ada internal train, sehingga kita tidak perlu berjalan dari ujung ke ujung. Gratis naik kereta ini jika beli tiket terusan.

Di safari track, kami menggunakan mobil pribadi. Sebelum masuk di taman safari, kami sudah membeli wortel & pisang di pinggir jalan. 15ribu dapat 2 ikat, pisangnya 10ribu, itu tanpa menawar sih.. . Wortel & pisang ini bisa kita kasih ke binatang-binatang yang ada di safari track (kalau untuk binatang yang di dalam dilarang keras memberi makan. Yg primata juga dilarang keras dikasih makan). Binatang-binatang di TS tampak antusias melihat mobil datang, karena sudah terbiasa diberi makanan. Lihat saja rusa di bawah ini yang antusias sekali meminta makanan.

2014-11-21 23.42.59

Bahkan unta rela menjulurkan lehernya supaya bisa menjangkau makanan yang kami berikan. Mereka dibatasi sih, jadi tidak bisa berjalan bebas seperti rusa, kijang, dll.

2014-11-21 23.52.12

2014-11-21 23.56.18

Yang di atas saya kurang tahu namanya apa, hehe.. tapi dia meminta makan dengan cukup sopan, meskipun tanduknya agak lumayan kayanya kalau “nanduk”.

Sementara Zebra-zebra malah tidak tahu malu! Mereka sangat percaya diri dan berani memasukkan kepalanya ke mobil. Jadinya cuma berani foto dari kaca saja.

2014-11-22 00.39.59

Ketika memasuki area singa, tiba-tiba mobil-mobil berjalan minggir ke kanan, ternyata ada sesosok makhluk yang tidur dengan santainya di jalanan.2014-11-22 00.31.07

Ini nih penampakan makhluknya jarak dekat! Singa betina ini tampaknya pengen “mejeng”. Agak tidak umum kalau singa berani mendekat seperti ini, karena biasanya mereka mencari tempat di atas batu atau yang tidak diganggu manusia, supaya tidur siangnya nyenyak. 2014-11-22 00.31.36

TS cukup luas, 2 kali kami ke sana, kami mampir ke area yang berbeda. Kalau yang lalu sempat ke rumah pinguin, dll. Kali ini kami menonton pertunjukan singa laut & harimau sumatera. Yang singa laut cukup seru! Awalnya, kami tidak tahu mengapa banyak penonton tidak mau duduk di area depan. Ternyata, pada akhir pertunjukan, salah 1 singa lautnya menunjukkan aksi melompat dan sengaja “menciprati” penonton. Jadi tentu saja yang deretan depan basah dehhh… Anyway, sudah tahu kan apa beda singa laut & anjing laut? salah satunya, singa laut punya daun kuping yang kelihatan. Melihat show ini FREE. Selain singa laut, harimau sumatera, masih banyak lainnya, tapi kami kehabisan waktu.

2014-11-22 03.05.14

Di bagian TS ini juga ada wahana yang bisa dinaiki anak-anak di bawah umur 8 tahun. Kalau membeli tiket terusan, bisa menaiki wahana ini 1x. Selebihnya bayar lagi.

2014-11-22 02.27.55

Yang terakhir, 1 jam sebelum tutup, kami sempat mampir ke rumah burung & baby zoo; tapi karena situasi gerimis, jadi agak was-was juga kalau tiba-tiba hujan deras. Untung bawa topi, jadi gerimisnya tidak kena kepala. Di baby zoo ini, kita bisa berfoto dengan anak harimau/leopard/orang utan. Tapi sekali lagi, karena waktu itu sudah mau tutup, sudah sepi dan banyak anak binatang yang sudah pulang. Di samping baby zoo ada replika taj mahal, dengan harimau putih di dalamnya. Keren sekali ya mereka!  2014-11-22 04.57.33

Sepulang dari TS, kami mampir beli peyem (tape dari singkong), dan makan malam di Cimory Mountain View. Di Restoran Cimory ini,  kita bisa menikmati pemandangan lampu-lampu kota. Menu yang kami coba adalah sosis & iga sapi bakar, yang cukup enak. Harganya bergisar antara 30-50 ribu. Selain itu, kita bisa minum yoghurt, beli cokelat & kue-kue. Kami tiba di Tangerang Pk. 22.00 malam, dan 2 hari ini menjadi perjalanan keluarga yang cukup memuaskan bagi kami. @ristiirawan2014-11-22 06.37.14

2014-11-22 06.45.34

Resensi Film: Dracula Untold (2014) *spoiler alert!*

dracula-untold-review-possibl-should-have-stayed-that-way-wait-is-this-batman

Aku suka posternya, boleh dibilang cukup menarik. Meskipun sudah banyak vampire yang lalu-lalang di perilman, katanya Dracula masih punya “sisa-sisa peristiwa” untuk diceritakan dalam “Dracula Untold”. Don’t expect too much, then you will enjoy this movie.

Cerita dimulai dari narasi anak kecil, Ingeras (Art Parkinson), anak dari Vladimir Dracula. Diceritakan bahwa Vlad terkenal karena pernah direkrut sebagai prajurit Turki dan sukses menakutkan banyak orang karena ia selalu menancapkan musuhnya di sula. 10 tahun telah berlalu, Vlad kembali ke Transylvania dan memimpin kerajaan dengan damai bersama istrinya Mirena (Sarah Gardon). Keadaan berubah ketika Sultan Mehmed (Dominic Cooper) memintanya untuk mengirim 1000 anak Transylvania, termasuk putranya untuk menjadi prajurit Turki. Vlad yang tidak punya pasukan menolak hal tsb dan terpaksa mencari bantuan dari kegelapan. Master Vampire (Charles Dance) bersedia mengubah Vlad menjadi vampire karena hal itu akan membebaskannya dari kurungan gua. Jika dalam waktu 3 hari Vlad berhasil menahan diri untuk minum darah manusia, maka Vlad akan menjadi manusia kembali. Vlad harus berstrategi melawan 100,000 prajurit Turki, apalagi karena vampire juga punya kelemahan terhadap sinar matahari dan perak.

Pemilihan Luke Evans sebagai Dracula sebenarnya tidak buruk. Terbukti film ini bisa cukup enak dilihat karena akting Luke Evans yang bagus. Bahkan chemistry-nya terhadap Sarah Gardon juga cukup terasa romantis. Tak lupa, aktor muda Art Parkinson yang juga menunjukkan akting dengan baik. Dari jajaran casting, Dracula Untold tidaklah mengecewakan. Film ini juga memiliki sisi artistik tinggi (sudah tampak dari posternya). Animasi, efek visual, desain, make-up, seni produksi, semuanya bagus. Sountrack & efek suaranya pun sejak trailernya sudah bisa diacungi jempol.

Yang jadi masalah adalah konsep cerita awal yang kurang kuat. Sejak awal, kita sudah familiar bahwa Dracula adalah vampire yang punya gigitan sensual, kekuatan super, tapi tidak tahan sinar matahari, bawang putih, salib, dan perak. Sehingga direktur Gary Shore memang tidak perlu menceritakan hal tsb ke kita. Akibatnya, ketika Vlad menerima kekuatan supernya pun, kita tidak terlalu kaget, karena sudah terlalu biasa, terlalu sering ditunjukkan oleh film vampire lainnya, sehingga sudah tidak terpesona. Mungkin karena hal ini lah Gary Shore menambahi atau melebih-lebihkan kekuatan seorang Dracula terhadap binatang kelelawar. Di film ini Dracula mampu menggerakan ribuan kelelawar seperti tangan ajaib — seperti dalam sebuah video game.

Taktik film ini terasa agak monoton karena resepnya sederhana. Setelah dikirim pasukan kecil, Vlad manusia mampu mengalahkannya, Sultan mengirim ratusan. Vlad menjadi vampire untuk mengalahkan ratusan. Sultan tidak terima, dan kemudian ia mengirimkan ribuan. Setelah akhirnya kubu Vlad kalah, dengan meminum darah, Vlad mampu menutup matahari dengan awan gelap sehingga ia tidak lagi bermasalah dengan sinar matahari. Hal ini agak mengganggu, karena seolah-olah sutradar sudah bingung untuk menciptakan solusi agar pertarungan tidak berakhir di kekalahan Vlad. Setelah itu, Vlad harus berhadapan dengan ribuan koin perak, ketika sudah hampir mati, taraaaa… dengan kekuatan entah dari mana, Vlad tetap yang menang — jalan pintas yang tidak cerdas.

Satu yang mungkin “dikira” sutradara sudah dimengerti penonton, adalah vampire-vampire buatan Vlad tiba-tiba menjadi liar, haus darah, dan tidak bisa berhenti. Pertanyaannya mungkin dibuat untuk dijawab sendiri: kalau vampire yang lain bisa sebegitunya haus darah, kenapa Vlad bisa sebegitunya mengendalikan kebutuhannya akan darah? Apakah semata karena Vlad punya hati yang kuat? Bahkan setelah ia minum darah manusia untuk pertama-kalinya pun, Vlad terlihat sangat terkontrol dan sangat-tidak-vampiriah.

Intinya bagi penonton yang sering menonton film semacam ini, tidak ada sisi “untold” dalam film ini. Karena makin lama kita mulai terbiasa dengan vampire yang baik hati. Sebenarnya Dracula Untold ini bisa menjadi lebih baik, apabila sutradara mau menyorot lebih ke peristiwa terbentuknya karakter Vlad (saat jadi prajurit Turki), atau bahkan lebih membuat konflik Vlad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Ayah saja. My score is 6/10 @ristiirawan.

MEMORABLE SCENES
*Best Scene: Dracula memukul bersama ribuan kelelawar (lebay, tapi memang scene ini tampak keren).
*Worst Scene: Dracula tiba-tiba diserang penduduknya sendiri di gubug (kapan mereka berkumpul untuk membakar Dracula?); kemudian jadi damai sendiri setelah Dracula tidak bisa mati. (maksudnya apa ini? penduduknya ababil?).

MESSAGES
*Good: jangan berurusan dengan kegelapan! selalu ada “hutang” di belakang yang lebih kejam.*Bad: film semacam ini sebenarnya membiasakan kita dengan makhluk-makhluk jahat, seolah-olah bahwa yang jahat bisa jadi baik, tergantung manusianya. Itu salah. Terang dan gelap tidak bisa menjadi satu.

Resensi Film: The Expendables 3 (2014)

The Expendables 3 menjawab kebutuhan sebuah film aksi: aksi bela diri yang keren, pertarungan tangan kosong, aneka pisau dan senjata api, bombardir tembakan dan ledakan bom. Dari awal hingga akhir, dipastikan penonton akan puas menyaksikan hal-hal di atas. Apalagi ada banyak wajah baru dengan perpaduan aktor-aktris muda; serta mulai masuknya elemen teknologi. Hal ini lebih manjur untuk menggaet penonton generasi muda, tidak hanya fans angkatan 1980-1990an. Dengan rating PG-13 film ini akan lebih “aman” ditonton oleh yang takut darah.

Ambisi Sylvester Stallone untuk “mengoleksi” aktor-aktor jagoan dalam satu film terus terwujud. Bahkan nama-nama besar terus bertambah dalam filmnya. Nama-nama yang telah bergabung di film sebelumnya tetap ada: Jason Statham (yang sangat keren di sini), Dolph Lundgren, Randy Couture, Terry Crews. Ada pemain yang berkurang durasinya, seperti Jet Li; Namun ada pula pemain yang bertambah durasinya seperti Arnold Schwaznegger. Meski kehilangan Bruce Wills, hal itu tidak masalah karena ada nama baru seperti Antonio Banderas, Harrison Ford, Wesley Snipes. Mel Gibson juga kembali bergabung sebagai antagonis. Selain aktor “angkatan tua”, juga ada wajah-wajah muda seperti Glen Powell, Victor Ortiz, Ronda Rosey (sebagai satu-satunya wanita dalam tim expendables), dan Kellan Lutz.

Peran yang paling mencuri perhatian dalam film ini justru Antonio Banderas. Berbeda dengan koleganya yang lain, ia memilih suatu karakter yang tidak terduga, bernama Galgo. Dengan kekonyolannya, Galgo mampu menyuntikkan elemen komedi dalam The Expendables 3. Selain itu, masuknya ke-4 “generasi muda”, terutama Kellan Lutz yang populer di kalangan remaja; tentu membuat sekuel ini terasa lebih segar. Apalagi dalam ceritanya, mereka memang membawa perubahan pada strategi tim Expendables. Pasti tidak semua fans akan setuju, karena mayoritas fans Sylvester Stallone memang ingin menonton film action khas 80an — tanpa banyak bantuan teknologi dalam berperang. Don’t worry, teknologinya hanya membantu sedikit.

Harus diakui, sejak awalnya memang seri The Expendables tidak menjual plot cerita yang cerdas, jadi jangan berharap terlalu tinggi untuk segi ceritanya. Bagi yang menonton 2 film sebelumnya, chemistry para tokohnya di sini jauh lebih baik daripada sebelumnya. Apalagi antara Stallone dengan Statham, yang memang terasa paling “kekeluargaan”. Dialog antar tokoh di sini juga terasa lebih alamiah, mungkin karena mereka tidak perlu berakting sebagai orang yang berbeda. Terimakasih pada akting hebat Mel Gibson yang bisa membuat musuh tim Expendables ini memiliki karakter kuat. Secara keseluruhan, The Expendables akan sangat menghibur, jika Anda memang mencari apa yang ditawarkan sutradara Patrick Hughes dan timnya. Nilai 8/10.

Memorable Scenes
*Worst Scene: Thorn mengoperasikan pengukur suhu untuk menghentikan bom. (Oh C’mon!! persoalan besar dapat diatasi semudah itu?!)
*Best Scene: Christmas, Barney, Toll berpindah mobil (dalam adegan pertarungan di awal).
*My Favourite Scene: “Thank you for listening” — kata Galgo ketika Barney tahu siapa saja nama teman-temannya yang gugur.

Messages
*Good messages: setia kawan, bahwa orang yang berjuang di samping kita adalah keluarga kita (Luna said it).
*Bad message: kekerasan & pembunuhan itu sah-sah saja dilakukan jika Anda merasa berada di pihak yang “benar” alias berhak untuk mengadili hidup orang lain. Sementara kebenaran yang seperti diperdebatkan oleh Stonebanks VS Barney Ross di sini tidaklah absolut.

@ristiirawanIMG_4837.JPG

Resensi Buku: The Fault In Our Stars by John Green (spoiler alert!)

Sebelum terlalu banyak spoiler yang kubuka, intinya adalah buku ini adalah satu dari buku kisah percintaan remaja yang tidak ada zombie, vampire, dan mutan di dalamnya. Yang ada hanyalah kisah tentang gadis yang paru-parunya bermasalah dengan laki-laki yang hanya berkaki satu. Meskipun mengangkat kisah tentang kanker dan terinspirasi dari tokoh nyata alm. Esther Earl, kisah ini adalah fiksi — seperti yang ditulis dengan sangat jelas oleh John Green (“This book is a work of fiction. I made it up”).  Saya baca e-book bahasa inggrisnya, dan menemukan bahwa buku ini lebih enak dibaca dalam terjemahan aslinya, karena banyak kata-kata lucu yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia akan berasa aneh. Contohnya: “cancer perks”, terjemahan Indonesia : kemudahan kanker? tunjangan kanker? (waduh!). Selain isi buku, cover buku yang didesain oleh Rodrigo Corral juga mampu menarik perhatian. Covernya sederhana tapi memiliki kesan yang kuat. Gambar awan dan perpaduan warna biru-putih-hitam.

2014-06-28 10.55.24

Kisah ini diceritakan dari sudut pandang Hazel Grace, seorang remaja yang mengidap (awalnya) kanker thyroid tetapi sudah menyebar ke paru-paru, sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters, seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris kesalahan cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten.

Di bawah ini akan banyak spoiler, jadi kalau belum baca bukunya, lebih baik jangan melanjutkan baca review ini.
SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!

Kata-kata “The Fault In Our Stars” hanya muncul sekali di dalam buku, ketika Hazel Grace mengutip Shakespeare, “The fault, dear Brutus, is not in our stars, but in ourselves, that we are underlings”. Artinya “Kesalahan, Brutus sayang, bukan di bintang-bintang kita, tetapi pada diri kita sendiri, bahwa kita adalah bawahan.”

Apa yang membuat kisah ini terasa “nyata” — meskipun hanya fiksi — dan dapat membuat pembacanya menangis tersedu-sedu?

1. Ada kisah di dalam kisah

John Green dengan cerdas menyisipkan kisah di dalam kisah. Ketika kita membaca kisah Hazel-Augustus, mereka juga sedang membaca buku lain, kisah lain dalam AIA & The Price Of Dawn. Kita dapat memahami “penasaran”nya Hazel Grace terhadap AIA, karena kita juga ikut penasaran ketika menemukan penjelasan AIA berhenti di tengah kalimat. Secara psikologis, John Green mengajari kita menyukai bukunya, seperti Hazel-Augustus menyukai buku-buku mereka. Bahkan ada pesan tersembunyi, ketika Peter Van Houten menolak menceritakan kehidupan tokoh-tokoh lain setelah Anna meninggal; sama seperti mungkin John Green menyampaikan pendapatnya tentang kisah setelah The Fault In Our Stars ini tamat.

2. Siapa menyangka Augustus Waters akan mati duluan?

Sejak awal kita “ditipu” bahwa Hazel akan mati duluan. Bahkan memang dalam ceritanya, Hazel mengira ia yang akan mati duluan. Kita sudah bersiap-siap kalau Hazel mati. Kita jadi tidak sabar ketika Hazel tidak jujur terhadap perasaannya ke Gus. Sedihnya, John Green sukses memutar-balikkan cerita dengan membunuh Augustus Waters.

3. Karakter Augustus Waters & Hazel Grace

Augustus Waters adalah orang yang luar biasa baik dan manis, diragukan apakah masih ada orang seperti itu di dunia ini. Tetapi John Green mampu mengimbangi karakter ini dengan menciptakan Hazel Grace. Atau sebaliknya. Pada bagian akhir yang paling menyedihkan adalah bahwa Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan dari akhir buku itulah semuanya menjadi cocok. Mengapa Augustus bisa menyukai Hazel dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.

Well done, John Green. You have crushed our heart — successfully. 9/10.

My favorite lines from The Fault In Our Stars:

1. Then he pulled me to him and, his face inches from mine, resolved, “I’ll fight it. I’ll fight for you. Don’t you worry about me, Hazel Grace. I’m okay, I’ll find a way to hang around and annoy you for a long time”. I was crying. But even then he was strong, holding me tight that I could see the sinewy muscles of his arms wrapped around me as he said, “I’m sorry. You’ll be okay. It’ll be okay. I promise,” and smiled his crooked smile.

2. “I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”

3. “I don’t ever want to do that to you,” I told him.
“Oh, I wouldn’t mind, Hazel Grace. It would be a privilege to have my heart broken by you.”

4. “Animals are just too cute?” Gus asked.
“I want to minimize the number of deaths I am responsible for,” I said.

 

15 Menit di Kawah Putih

Pertama kali saya melihat Kawah Putih adalah di film “Heart” yang diperankan oleh Acha Septriasa, Irwansyah, dan Nirina Zubir, rilis di tahun 2006. Jadul banget kan?! Sejak saat itu, pengen banget bisa melihat tempat itu dengan mata-kepala sendiri. Bukan karena filmnya bagus atau adegannya romantis sih.. Tapi lebih karena terkagum-kagum: “kok bisa ada tempat sebagus itu”. Kalau belum menginjakkan kaki sendiri ke sana, nggak puas rasanya cuma lihat dari foto-foto indah tersebut.

2014-06-08 14.13.44

Berangkat dari Bandung, karena semalam sebelumnya saya menghadiri Parahyangan Classical Festival karena Grenadilla Clarinet Quartet (yang dipimpin suami saya) tampil. Berangkatnya sekitar Pk.09.30 WIB dengan mobil pribadi dan bermodalkan hanya WAZE di gadget. Kebayang kan nekadnya? Apalagi ternyata jalan menuju Kawah Putih belum semuanya dapat terdeteksi oleh WAZE. Alhasil harus googling dulu, terus cari nama jalannya di WAZE (Pantang Menyerah!). Sempat salah googling jalan alternatif, di tengah-tengah baru nanya sama penduduk sekitar, tapi untungnya waktu itu jalannya tinggal terus saja (Jalan Soreang). Perjalanannya lumayan jauh, tapi karena kami santai, jadi sempat mampir sebentar untuk menikmati nasi padang di warung pinggir jalan.

 

Grenadilla Clarinet Quartet
Grenadilla Clarinet Quartet

Jalan menuju Kawah Putih cukup sempit, sering beberapa kali banyak kendaraan dari lain arah terlalu menjorok ke tengah sehingga mobil kami harus minggir sampai keluar jalan (bahaya, bahaya!). Tapi berkat rahmat Tuhan, akhirnya kami bisa sampai di Kawah Putih dengan selamat! Katanya Kawah Putih itu dingin, jadi sudah siap-siap bawa jaket. Ketika turun dari mobil pun terasa angin dinginnya. Tapi tidak sedingin yang dikatakan orang-orang, mungkin karena pengunjung di hari minggu tersebut sangatlah banyak. Kalau mengikuti jalur mobil pribadi langsung ke dekat kawah, dikenakan tarif parkir 150.000 dan masih harus bayar tiket masuk 25.000. Kami memilih untuk parkir di bawah dan naik “ontang-anting”, karena gratis dan kami hanya perlu membayar tiket masuk perseorangan saja. Oh ya, di situ banyak orang yang jualan masker, dan memang harus pakai masker. Kalau nggak mau beli di situ, bisa beli dari rumah saja.

Papan Peringatan & Bapak2 Jual Masker
Papan Peringatan & Bapak2 Jual Masker

Kirain ontang-anting itu apa.. ternyata ontang-anting adalah nama angkutan umum! Angkutan ini sudah dimodifikasi, satu sisi atau kadang dua sisinya terbuka seperti di safari. Jadi kita bisa terkena tiupan angin sejuk sepanjang perjalanan. Sopir angkutan yang waktu berangkat adalah seorang bapak yang sepertinya punya obsesi terpendam ikut Fast & Furious. Gas pol, rem pol…! Itu slogan si Bapak ini. Karena dia sudah senior dan kerjaan setiap harinya menyopiri angkutan ini, sepertinya dia sudah hafal betul kapan harus oper perseneling. Sambil tutup mata saja mungkin dia bisa. Si bapak sih santai saja nyopirnya, tapi yang penumpang pada deg-degan, sambil doa dalam hati, dan ketawa bodoh karena rasanya seperti naik wahana roller-coaster.

Keramaian Kawah Putih & "Ontang-Anting"
Keramaian Kawah Putih & Angkuta “Ontang-Anting”

Sesampainya di pusat kawah, ada beberapa tangga yang harus dilalui, tapi nggak banyak. Ada tulisan peringatan juga sebelum kita masuk area kawah, dan petugas sudah terus memperingatkan untuk pakai masker. Bahkan para petugas terus mengingatkan bahwa waktu yang diperbolehkan berada di pusat kawah hanyalah 15 menit. Tetapi jika sebelum 15 menit kita sudah merasa tenggorokan kering atau pusing, kita harus langsung menjauh dari pusat kawah. Kalau sudah sesak nafas, harus menuju ke mobil pertolongan yang ada. Wow, terdengar cukup menyeramkan (Jadi.. tak seindah yang ada di film).

2014-06-08 14.05.25

Begitu sampai di pusat kawah, rasanya seperti tiba di planet lain. Tanahnya berwarna putih (karena kapur), tanaman-tanamannya ada yang gundul, tapi ada juga yang berwarna hijau. Yang paling indah adalah danau tersebut berwarna biru muda, dikeliling oleh pegunungan hijau, sinar matahari menyinari langsung. OH MY GOD… IT’S BEAUTIFUL! Cantiknya Alam Indonesia! Kalau di film tampaknya dingin, kali ini Kawah Putih tidak terasa dingin. Mungkin karena waktu itu Pk.14.00 dan banyak orang, sehingga hawanya cenderung hangat. Apalagi ditambah belerang, yang selain hangat, baunya juga cukup menyengat. Untungnya masker tersebut membantu banyak, karena bau belerangnya jadi tidak terlalu tercium. Setelah sekitar 15 menit berada di pusat kawah, memang tenggorokan mulai terasa kering, sehingga mau tidak mau harus segera meninggalkan pusat kawah tersebut. Tetapi dengan waktu yang singkat tersebut, mata ini sudah cukup dimanjakan. Perjalanan jauh yang ditempuh menjadi sepadan dengan keindahan alam Kawah Putih.

2014-06-08 14.06.37

Tips ke Kawah Putih:
1. Pastikan kendaraan & sopirnya cukup mahir
2. Bawa kaca mata hitam & topi (kalau nggak mau kebakar matahari boleh juga pakai sun-block).
3. Bawa masker
4. Air minum

Sepulang dari Kawah Putih, banyak kebun Strawberry yang bisa dikunjungi. Tapi saat itu kami tidak mengunjunginya, kami memilih untuk singgah di Taman Wisata Kelinci. Di situ kita bisa bermain di taman dengan banyak kelinci yang bisa diberi makan. 15.000 harga tiket masuk 1 orang, gratis 2 wortel. Selain bisa bermain kelinci, bisa juga makan dan minum dengan banyak pilihan.

@ristiirawan

Taman Wisata Kelinci
Taman Wisata Kelinci

*Semua foto yang ada di sini tidak menggunakan filter

Resensi Film: The Edge Of Tomorrow (2014) – spoiler alert!

*SPOILER ALERT*SPOILER ALERT*SPOILER ALERT*

e1

Live. Die. Repeat.

Tagline yang bagus dan terus menempel di ingatan. Dengan dibintangi Tom Cruise & Emily Blunt, sci-fi yang terinspirasi dari novel “All You Need Is Kill” karya Hiroshi Sakurazaka ini pasti menarik perhatian. Bumi sedang dilanda perang besar antara umat manusia dengan alien, yang disebut “mimic”. Alien ini mampu bergerak sangat cepat, tak terduga, dan mampu beradaptasi untuk melawan manusia. William Cage (Tom Cruise) adalah seorang mayor yang lebih sering tampil di TV untuk iklan daripada berada di lapangan perang yang sesungguhnya. Sementara Rita Vrataski (Emily Blunt) adalah prajurit khusus yang terkenal karena mampu membawa kemenangan pada 1 perang. Ketika Cage menolak untuk ditugaskan di garis depan, ia dianggap desertir dan diperlakukan dengan buruk oleh teman-teman prajurit lainnya. Keadaan mulai bertambah rumit, karena Cage terus-menerus kembali di waktu sehari sebelumnya saat dia mati. Tampaknya pula, hanya Cage yang mengalami hal ini. Setelah ia bertemu dengan Rita, mulai ada titik terang dari permasalahan yang ia alami. Bahkan mungkin, Cage adalah kunci untuk membawa kemenangan abadi bagi manusia dalam perang epic ini.

Baliho Rita Vrataski di suatu setting di dalam film
Baliho Rita Vrataski di suatu setting di dalam film

Tom Cruise sepertinya terus mengembangkan sayap untuk film-film scifi, setelah Oblivion. Karakternya yang kali ini tidak jauh berbeda, hanya ia berperan sebagai seorang pengecut pada awalnya. Seperti yang bisa ditebak, si pengecut ini mampu berubah menjadi seorang pahlawan. Sutradara Doug Liman mendapatkan tantangan besar, ketika harus menyajikan sebuah film yang berputar-putar di satu timeline, tanpa harus membuat penonton bosan. Bisa Anda bayangkan jika Anda harus menyaksikan sebuah adegan yang terus-menerus terjadi? Anda harus menyaksikan adegan dalam 2 hari itu, terus..terus..dan terus nyaris sama. Kalaupun waktu bisa dilanjutkan, hanya sedikit saja, sebelum Anda mati dan harus mengulang lagi. Konsep pengulangan waktu yang diangkat oleh cerita ini adalah hal yang menarik, tapi sekaligus berbahaya. Benar saja, banyak penonton yang bosan karena tidak “termakan” oleh usaha Doug Liman yang sebenarnya tidaklah buruk. Ia mampu mengedit film ini menjadi scene-scene yang berarti, tetapi tidak mampu menghibur penonton yang mungkin jenuh melihat adegan yang sama berulang-ulang. Secara psikologis, film ini mampu menularkan tekanan yang dirasakan tokoh di dalamnya.\

Tom Cruise
Tom Cruise

Selain itu, penonton akan mulai  bingung dengan cerita yang ada, karena penjelasan yang terlalu minim. Awalnya, Cage mendapatkan kekuatan karena dia membunuh seekor alfa mimic — jenis yang sangat langka. Kemudian katanya, ketika ia mendapatkan visi, maka itu pertanda Omega mulai menemukannya; artinya mereka harus bergerak cepat untuk memusnahkan Omega sebelum kemampuannya hilang. Tapi kemudian Rita berkata bahwa kalau Cage mendapat transfusi darah, maka kemampuannya akan hilang.  Bahkan Alfa yang ia temukan di bendungan Jerman tampak bereaksi pada darahnya (tetapi tidak jelas reaksi yang dimaksud di situ kenapa?). Di sini kebingungan mulai bertambah, jadi kalau visi itu merupakan tanda bahwa Omega mulai menemukannya, mengapa film masih berjalan cukup lama, dan terus menerus terulang bahkan tidak ada tanda Omega mencarinya? Yang ada justru manusia yang mencari Omega karena ingin membunuhnya. Kemudian kenapa Omega memberikan visi sesat sebagai jebakan, kalau si Alfa malah bereaksi terhadap darah Cage? Pada akhirnya, ketika Cage mampu menghancurkan Alfa, kenapa waktu kembali berputar jauh sebelum Cage menjadi desertir? Apa yang menyebabkan waktu kembali berputar sejauh itu? Ketika waktu berputar, ternyata kaum alien masih hidup. Apakah itu artinya Omega belum mati atau Cage yang menjadi Omega — seperti ia menjadi Alfa?

Tom Cruise & Setting Medan Perang
Tom Cruise & Setting Medan Perang

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin memang sengaja tidak dijawab oleh tim produksi, supaya menimbulkan rasa penasaran dan kemungkinan yang terbuka untuk terserah penonton memutuskan akhir filmnya seperti apa. Tetapi tampaknya Doug Liman terlalu sibuk untuk mempercantik film agar tidak membosankan, sehingga melupakan esensi “hiburan” dan “penjelasan” bagi penonton. Tidak bisa dibilang bahwa film ini buruk, tetapi juga tidak bisa dibilang bahwa film ini bagus. Bagi yang menginginkan suatu film yang membuat kita berpikir, film ini mungkin cocok, selama Anda tidak keberatan untuk menonton suatu adegan yang sama berulang-ulang. My score is 5/10. @ristiirawan