My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?

Resensi Film: The Huntsman: Winter’s War (2016)

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)”

The-Huntsman-Winters-War-Billboard-Art.jpg

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)” . Masih diperankan oleh Chris Hemsworth sebagai Eric, Sang Pemburu, kali ini fokus ceritanya bukan pada putri putih salju, melainkan flash-back cerita romansa Eric dengan Sara (Jessica Chastain), sesama pemburu. Cerita berlanjut dari flash-back menuju peristiwa pasca kalahnya Ratu Jahat, Ravenna (Charlize Theron); yaitu munculnya permasalahan baru: Cermin Ajaib ternyata mengandung kejahatan, bikin stress Snow White, dan harus diamankan ke suatu tempat bernama “Sanctuary”. Namun dalam perjalanan, cermin ajaib dicuri! Eric awalnya enggan menolong Snow White untuk menemukan Cermin tsb, tapi ketika mengetahui musuh lamanya, Queen Freya (Emily Blunt) yang membunuh istrinya akan menjadi lebih bahaya jika mendapatkan Cermin Ajaib; akhirnya Eric bersedia menerima misi menemukan cermin tsb.

“The Huntsman: Winter’s War” didukung dengan animasi, make-up, dan kostum yang indah; jadi pasti kita akan betah duduk manis dan mengagumi semuanya. Sayangnya, cerita film ini tidak ditulis dengan baik. Plot cerita yang klise, dialog yang monoton, menjadikan film ini terasa “murah”, meskipun sudah dibintangi oleh para artis mahal. Sebut saja duet Ratu: Emily Blunt & Charlize Theron yang membuat mata kita tidak bisa lepas dari mereka (flawless make-up + amazing gown!). Sebaliknya, pemeran utama, Chris Hemsworth tidak kelihatan keren sama sekali (lebih karena pembentukan karakter yang lemah). Bahkan akan membuat kita heran: kenapa The Huntsman harus menjadi tokoh utama dari cerita ini? Lebih parahnya lagi, kenapa harus ada kata “Winter’s War” di judulnya, yang ternyata sama-sekali kita tidak disuguhi adegan perang yang bagus? Intinya, merasa di-PHP (lebih tepatnya: diberi harapan palsu) oleh judul yang dipasang. Bisa dibilang, harapan kita sudah terlalu tinggi saat mendengar judul dan melihat trailernya — tapi ternyata tak seindah yang terlihat pada awalnya. LOL!

Masih masalah di karakter, antagonis film ini, yaitu Queen Freya, memiliki terlalu banyak kemiripan dengan Queen Elsa di Frozen. Meskipun memang mereka (mungkin) berasal dari dongen yang sama, hal ini sedikit mengganggu; karena ide dari film ini jadi terasa tidak terlalu orisinil. Walaupun begitu, think positively, selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari sebuah film. Di luar premise yang dikumandangkan oleh film ini sejak awal, bahwa “Cinta tidak membuatmu lemah, melainkan memberikanmu kekuatan”; ada makna yang lebih tepat: Jangan biarkan hatimu menjadi pahit — atau dalam kasus ini: dingin. Meskipun kita dikecewakan oleh seseorang atau suatu hal, jangan “generalisasi”, alias menganggap semua akan sama; karena pada akhirnya, bukannya kita akan puas karena berhasil balas dendam; malah semakin terluka. @ristiirawan

6 out of 10 stars!

 

 

Resensi Film: Fathers & Daughters (2015)

Buat yang “father-less” atau kangen sama Papanya, kalau nonton film ini pasti nangis bombay. Makna yang terkandung di dalamnya juga cukup menohok: bagi seseorang yang kehilangan figur Bapa, pasti ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa ditutup begitu saja.

Ceritanya sederhana, tapi berkat akting Russell Crowe, Amanda Seyfried serta Kylie Rogers, filmnya jadi hidup dan cukup menyentuh hati. Setting waktunya campuran antara masa kini dan flash back; hanya dengan berfokus pada dialognya kita bisa menyadari pergantian waktu yang ada. Seorang penulis terkenal, Jake Davis (Russell Crowe) kehilangan istrinya dalam sebuah kecelakaan. Selain kehilangan istrinya, ia juga menderita sakit psikis. Ia harus berjuang untuk tetap memiliki hak asuh anaknya, Katie (Kylie Rogers/Amanda Seyfried), melawan sakit psikisnya, kebobrokan ekonomi dan saudara iparnya sendiri yang ingin mengadopsi Katie.

Fokus film ini ada dua, yang pertama adalah perasaan seorang Ayah yang harus berjuang menanggung semuanya sendiri; dan perasaan seorang anak yang (akhirnya) tumbuh besar dengan kerinduan kepada Ayahnya yang tidak pernah kesampaian. Film ini menunjukkan bagaimana keluarga memberikan efek besar bagi seseorang dalam mencari cintanya di masa depan dengan cara melankolis. Cerita sampingan, pekerjaan Katie sebagai seorang psikolog yang menangani anak yatim piatu juga menjadi sisi yang pas untuk menunjukkan bagaimana Katie menilai Ayahnya secara tidak langsung. Sayang sekali, chemistry antara Katie dan Cameron malah kurang terbangun; sehingga kurang tersampaikan ke penonton mengapa Katie akhirnya bisa menyadari ia mencintai Cameron — selain karena Cameron mengidolakan Ayahnya dan juga penulis. Selain itu, ada hal2 yang seharusnya bisa dibangun klimaksnya sehingga lebih dramatis. Nilai 7/10 @ristiirawan

 

.

Resensi Film: The Hateful Eight (2015)

Sesuai dengan opening credit, The Hateful Eight adalah film ke-8 Quentin Tarantino. Melihat nama sutradaranya saja, bisa dipastikan banyak kekerasan & nudity yang akan tersaji. Namun karena saya menyaksikannya di film Indonesia, ada beberapa bagian yang memang dipotong sensor; jadi tidak ada nudity di film ini; hanya tersisa adegan darah muncrat ke mana-mana (very Tarantino!).

The Hateful Eight dibukan dengan 1 scene gambar yang sama, dan ini membuat penonton mempunyai waktu untuk berfokus pada Original Soundtrack dari Ennio Morricone, yang luar biasa keren. Mendengar musiknya saja, sudah membuat perasaan tidak enak. Film ini dibagi menjadi beberapa chapter, dengan setting waktu setelah perang sipil di Amerika. Banyak issue mengenai kemanusiaan yang terkandung dalam dialog-dialog panjang.

Dimulai dari sebuah kereta kuda, dikemudikan O.B. (James Parks), berpenumpang seorang pemburu bayaran John Ruth (Kurt Russell), yang membawa tangkapannya, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) yang bernilai tinggi. John Ruth adalah pemburu bayaran yang unik, dia selalu menangkap buronannya hidup-hidup, meskipun ia sangat paranoid bahwa orang lain akan merebut tangkapannya. Dalam perjalanan awalnya, ia bertemu dengan 2 orang yang terpaksa ia tampung di kereta: Mayor Marquis (Samuel L. Jackson), seorang veteran negro yang menjadi pemburu bayaran; dan Mannix (Walton Goggins), yang mengaku calon sheriff baru di Red Rock.

Karena badai yang begitu hebat, mereka terpaksa singgah di Minnie’s Haberdashery; di mana di dalamnya sudah ada 4 orang lain: Bob (Demian Bichir) — yang mengaku sebagai orang yang “dititipi” tempat tersebut oleh pemilik aslinya; Oswaldo Mobray (Tim Roth), algojo resmi yang diundang ke Red Rock; Joe Gage (Michael Madsen), seorang koboi yang mau pulang untuk natal dengan ibunya; General Smithers (Bruce Dern), veteran perang yang sudah tua. Suasana menjadi runyam, karena ternyata 1 atau 2 orang lebih di antara mereka adalah komplotan dari Daisy, yang berniat membebaskan Daisy dengan cara apapun.

Tarantino memang berhasil menulis naskah film ini dengan sangat luar biasa. Lokasi yang dipakai pun hanya di 1 tempat, tapi tidak membosankan karena penonton terlalu penasaran untuk memahami apa yang terjadi. Kekurangan film ini ada di chapter-chapter awal, di mana Tarantino dengan sangat perlahan membangun karakter yang ada dengan dialog-dialog panjang yang tidak semua orang tahan untuk mengikutinya. Bagi Anda yang menyukai film drama, mungkin tidak keberatan dan merasa “masuk akal” jika Tarantino menghabiskan paruh awal film ini hanya untuk pembicaraan yang membangun image dan hubungan antara 3 tokohnya: John Ruth – Marquis – Mannix. Sementara bagi Anda yang kurang menyukai film drama, mungkin hanya akan menguap dan baru terbangun lagi di paruh akhir film; ketika tembakan mulai muncul. Nilai: 8/10.

Unanswered Question:
1. Jika dihitung-hitung lagi, pada akhirnya jumlah orang yang ada di situ bukan 8 orang. Jadi apakah judulnya hanya karena ini film ke-8?
2. Ada seekor kucing di di Minnie’s Haberdashery yang kemudian menghilang entah ke mana (tidak diceritakan).

Resensi Film: Sunshine Becomes You (2015)

Buat review film indonesia, harus menurunkan standar. Tapi tetap saja, kalau mau dinilai jujur, “Sunshine Becomes You” ini durasi filmnya kelamaan, dialognya kepanjangan, editing filmnya maksa, dan castingnya parah.

Ceritanya sendiri diadaptasi dari novel Ilana Tan berjudul sama. Setting lokasi di New York, diceritakan Ray Hirano (Boy William), seorang dancer keturunan Indonesia-Jepang sedang naksir Mia Clark (Nabila JKT48), anak adopsi dari pasangan Indonesia-Amerika. Tak sengaja, Mia justru menabrak Alex Hirano (Herjunot Ali), kakak dari Ray yang terkenal killer dan perfeksionis, dan mematahkan tangannya (tapi di dalam salah satu dialog sempat terucap “terkilir” — entah yang mana yang benar, Pak Sutradara?); padahal Alex adalah seorang pianis kelas dunia. Mia merasa harus bertanggung-jawab dan menjadi asisten Alex yang mengurus semua kebutuhan. Lanjutannya? Bisa ditebak, terjadi love-triangle.

LANJUTAN REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER.
*SPOILER ALERT*

Ternyata kisah pasangan yang dipisahkan oleh maut, karena salah satunya sakit; masih menjadi cerita yang laris untuk terus dijadikan bahan. Kali ini, Mia yang top dancer lulusan Julliard, mengidap sakit jantung; dan tentu saja pada akhirnya mati; meninggalkan Alex yang menulis lagu untuk Mia.

Secara segi cerita, layaknya novel-novel drama picisan, sudah pasti ceritanya mudah ditebak. Tapi novel Ilana Tan mungkin memiliki kekuatan karena “untuk dibaca”, sementara dalam film ini, naskahnya menjadi terlalu membosankan karena bertele-tele. Belum lagi karena para pemerannya seperti sedang memuntahkan hafalan mereka dalam kalimat-kalimat panjang. Tidak dibantu juga dengan editing film yang maksa, berusaha keras meyakinkan penonton bahwa semuanya terjadi di New York. Juga adegan bermain piano, semuanya pasti tahu kalau Herjunot Ali tidak benar-benar bermain piano, apalagi ada sound yang berbeda dari apa yang kelihatan di layar. Belum lagi tiap scene yang seharusnya romantis, tapi malah menjadi monoton.

Yang paling parah dari semuanya justru adalah casting pemeran wanita. Jika kita bicara tentang dancer, apalagi lulusan terbaik dari Julliard, sudah pasti bisa dibayangkan kalau ia adalah wanita yang pasti berlatih setiap saat setiap waktu; dan memiliki postur tubuh seorang penari. Well, bukan menghina Nabilah JKT48, karena pasti ia sudah berusaha keras, tapi jelas ia secara fisik tidak cocok memerankan tokoh tsb; jadi salah siapa? Mungkin ia akan bagus memerankan tokoh lain, tapi tidak sebagai penari profesional. Bahkan tariannya tidak cukup bagus. Sorry to say, saya sudah pernah melihat banyak penari Indonesia yang menari JAUH lebih bagus daripada di film ini (yang katanya lulusan Juliard). Menurut saya, jika ingin membuat film yang tokohnya adalah seniman (penari, pemusik, pelukis, dsb); seharusnya cast juga dipilih yang benar-benar MAMPU berakting sesuai tuntutan. Termasuk yang editing video-sound, harus PAHAM tuts apa yang bunyi jika dipencet di piano.

Nilai: 4/10 @ristiirawan

Resensi Film: In the Heart of the Sea (2015)

Film tentang perjuangan hidup di tengah laut, setelah berhadapan dengan paus raksasa (yang anehnya, secara jenius punya dendam kesumat terhadap manusia). Film ini diangkat dari dongeng yang menginspirasi novel Moby Dick atau The Whale (1851); kisahnya sendiri terjadi pada tahun 1820, di mana manusia menggunakan minyak paus sebagai bahan bakar lampu. Baru beberapa dekade setelahnya, manusia mengebor tanah untuk mendapatkan minyak (it mentioned in the end of the movie).

Film In the Heart of the Sea mengingatkanku akan film Life of Pi (2012), yang diangkat dari novel tahun 2001. Sama-sama menaruh anak laki-laki sebagai tokoh utamanya, bersama beberapa orang terpaksa berada di sekoci setelah kapal tenggelam, mampir di pulau aneh, serta terpaksa makan (ew!) temannya untuk bertahan hidup. Bedanya, di Life of Pi teman-temannya adalah harimau bengal, hyena, zebra dan orang-utan; yang bisa jadi adalah perumpamaan dari manusia-manusia yang ada di sekoci bersama si bocah. I guess Yann Martel (the writer of Life of Pi) & Herman Melville (the writer of Moby Dick) inspired by the SAME true story.

In the Heart of the Sea menceritakan Herman Melville (Ben Whishaw), mendatangi Thomas Nickerson (Brendan Gleeson) untuk mendapatkan inspirasi novelnya. Thomas adalah satu-satunya awak kapal Essex yang masih hidup. Essex adalah salah satu kapal pemburu paus, yang akhirnya tenggelam secara misterius, dan hanya sedikit dari awak kapal yang kembali hidup-hidup. Tenggelamnya Essex diceritakan akibat diserang oleh paus putih raksasa. Paus ini unik, karena tidak seperti paus pada umumnya, selain lebih besar, paus ini juga seperti punya tujuan untuk membalas-dendam.

Ceritanya sederhana dan bagus, dibawakan dengan narasi yang cukup telaten. Namun sutradara Ron Howard gagal menyajikan ketegangan yang semakin mengendor di paruh akhir film. Setelah klimaksnya (hancurnya kapal oleh si paus), alur cerita menjadi bertele-tele, dan tidak lagi seru untuk diikuti. Audio dan visualnya pun terasa biasa saja, kurang terasa menggelegar jika mengingat bagaimana seharusnya badai heboh di tengah laut (haha, seperti saya pernah merasakannya saja! :p). Sayang, padahal aktor yang dipakai sudah hebat-hebat, sebut saja Chris Hemsworth sebagai Owen Chase, Benjamin Walker sebagai Capt. Pollard, dan Cillian Murphy sebagai Matthew Joy, dan Tom Holland sebagai Nickerson kecil. Bahkan para pemeran pembantu dan figuran pun sudah sangat menjiwai, dari mimik wajah dan gerakan tubuh saja kita sudah bisa ikut merasakan lelah dan putus-asanya mereka di tengah laut.

Film  jenis seperti ini memang banyak menyodorkan pesan kehidupan; dari yang jelas-jelas disampaikan: JANGAN SERAKAH, sampai hikmat yang tersirat lainnya. Yang pasti, film ini tidak cocok buat yang mabuk laut & phobia lihat orang muntah. Plus yang tidak suka film dengan visual yang kurang indah. Saya sendiri sungguh tidak tega melihat para paus itu diburu  *tears*.

Nilai: 6/10 @ristiirawan.

Resensi Film: Point Break (2015)

Jika Anda menyukai film-film yang berlatar-belakang keindahan alam, penuh dengan scene yang cantik, serta demonstrasi adegan ekstrim; maka Point Break adalah film yang cocok. Banyak penonton yang membandingkan film remake ini dengan film aslinya tahun 1991, dan mencelanya. Namun karena aku belum pernah menonton film orisinilnya, jadi mungkin penilaianku tidak seburuk mereka.

Utah — nama populer dari Johnny, adalah seorang atlit-ekstrim, yang suka melakukan tantangan penuh adrenalin dengan taruhan nyawa. Ketika melakukan salah satu aksi liarnya, ia kehilangan sahabat karibnya. Hal ini membuat Utah banting setir, alih profesi menjadi FBI. Atasannya meragukan Utah punya komitmen untuk menjadi FBI, dan hal ini teruji ketika Utah mendapatkan kasus untuk memecahkan pencurian & perampokan besar-besaran yang didalangi oleh sekelompok atlit-ekstrim.

Secara ceritanya sebenarnya Point Break memiliki modal yang baik, tetapi sayangnya sutradara Ericson Core kurang membangun intensitas cerita, pendalaman karakter yang dangkal, dan narasi yang mentah. Hal-hal dramatis juga lewat begitu saja di film ini, padahal seharusnya bisa menjadi sosok yang mengharukan. Luke Bracey sebagai Utah pun terasa kurang mampu menunjukkan dilema yang seharusnya dialami seorang Utah. Edgar Ramirez sebagai Bodhi pun tidak bisa muncul sebagai karakter yang seharusnya memiliki pesona karena idealismenya. Kesimpulan akhir dari ceritanya pun hanyalah: begitulah jika orang terlalu fanatik dengan suatu keyakinan.

Hal yang bisa dinikmati dari film ini adalah keindahan scene yang ada. Berbagai atraksi yang heboh, seperti terjun payung yang diikuti uang berterbangan, berselancar dengan ombak tinggi, wingsuit flying, panjat tebing tanpa alat pengaman; dan semuanya dilakukan di alam terbuka dengan view yang WOW. Tidak rugi jika menonton film ini di 3D, pasti seru!

Nilai: 5/10 @ristiirawan

Resensi Film: The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 (2015)

maxresdefault

Bukan film yang terbaik dari seri “The Hunger Games”, tetapi tetap punya daya tariknya tersendiri. Film “The Hunger Games” terakhir yang juga film paling lemah dari semuanya. Jika bukan penggemar yang mengikuti franchise ini, pastilah merasa bingung dan hambar. Namun bagi fans setianya, Part 2 ini merupakan salam perpisahan yang melegakan.

*SPOILER ALERT*

Setelah Part 1 ditutup dengan sangat mencengangkan, yaitu Peeta dicuci otak dan jadi ingin membunuh Katnis; Part 2 dilanjutkan dengan momen Peeta yang benar-benar sudah berubah 180 derajat. Katniss kali ini harus berjuang meyakinkan Distrik 2 untuk menyerah, karena Distrik 2 adalah pusat persenjataan Capitol. Setelah itu, pasukan pemberontak di bawah pimpinan Presiden Coin, sudah semakin kuat dan segera menyerang Capitol. Tetapi tidak semudah itu, karena Katniss semakin menyadari bahwa Presiden Coin tidak jauh beda dengan Presiden Snow. Jadi, siapa yang sedang bermain dan dipermainkan?

Kekuatan The Hunger Games memang ada pada cerita aslinya yang ditulis oleh Suzanne Collins. Filmnya sendiri mampu melengkapi apa yang ada di imajinasi pembaca.Meski sungguh disayangkan, sutradara Francis Lawrence terlalu bertele-tele pada momen-momen yang kurang penting, yang membuat durasi film 2 jam 16 menit terasa lama. Memang sih, penonton tidak keberatan untuk menyaksikan setting,properti, make-up dan kostum yang bagus; tetapi hal ini mengakibatkan alur ceritanya menjadi kurang greget. Justru kali ini, pusat cerita terlalu banyak berfokus pada dilema suara hati dan politik yang dialami Katniss. Seharusnya, lebih banyak waktu digunakan untuk menceritakan perjuangan skuadron menemani Katniss hingga ke Capitol; agar ketika banyak dari mereka yang terbunuh; penonton bisa lebih merasa kehilangan.

Untungnya, khas film The Hunger Games, selalu ada momen-momen mencengangkan dan diakhiri dengan dramatis. Jennifer Lawrence sekali lagi berhasil membawa suasana itu ditangkap oleh penonton. Akting lewat ekspresi mukanya sungguh luar biasa berkarakter. Josh Hutcherson juga berhasil tampil memukau, meski porsinya tidak terlalu banyak. Setidaknya chemistry mereka berdua tetap terasa kuat.

Pada akhirnya, sekali lagi, cerita lah yang menjadi kekuatan The Hunger Games; bagaimana Primrose — alasan kenapa Katniss bisa masuk di Hunger Games, demi menggantikan adiknya — tetap mati pada akhirnya.  Bagaimana perbedaan prinsip, tanpa perlu dibicarakan, mengakhiri hubungan antara Gale dengan Katniss; bagaimana presiden Snow & Katniss — musuh abadi  — justru menjalin satu pengertian atas hal yang sedang terjadi; serta betapa banyak orang yang sudah mati berkorban (Finnick, hu hu hu… ). Ketika hal-hal yang essensial dalam buku ini bisa divisualisasikan dengan baik dalam sebuah film; maka itu cukup. Jangan lupakan soundtracknya yang juga sangat membangun nuansa film ini. Secara keseluruhan, jelas bukan film terbaik The Hunger Games, tapi tetap film yang mampu menggerakan emosi penonton. 7/10. @ristiirawan

Resensi Film: Spectre (2015)

bond1

Sulit mempertahankan kesuksesan franchise yang hitungan umurnya sudah per dekade. Adaptasi harus mengikuti kemajuan jaman, dan akhirnya James Bond harus berhadapan dengan era di mana semua informasi kita akan dapat diketahui onlineno privacy. Masa lalumu, di mana kamu berada dan apa yang sedang kamu lakukan, semuanya mudah diketahui lewat kemajuan teknologi.

Sejak dibintangi oleh Daniel Craig, meski awalnya dihujani caci-maki karena dianggap secara fisik tidak cocok; Craig justru membawa karakter James Bond menjadi lebih dalam, gelap, berwibawa, dan garang; tidak hanya sekedar agen rahasia flamboyan yang doyan cewek. Dalam Spectre, karakter Bond berubah menjadi semakin pendiam dan misterius. Hal ini cocok dengan pemilihan soundtrack “Writing’s on the Wall” yang dinyanyikan Sam Smith sebagai opening credit; mungkin adalah soundtrack Bond yang paling mellow. Ceritanya pun memang semakin dalam menyentuh aspek kehidupan pribadi dan masa lalu James Bond. Mengejar hantu dari masa lalunya. Sayang sekali, Christoph Waltz sebagai antagonis di sini masih kurang seram.

Film mahal ini dari awalnya sudah memukau, bayangkan berapa banyak budget yang dihabiskan hanya untuk mengambil adegan festival orang mati di Mexico. Terasa mewah berkat setting tempat, properti, serta cinematography dan editing film yang cantik. Bagi penggemar action Bond, banyaknya perkelahian tangan kosong di film ini juga menjadi momentum tersendiri untuk menunjukkan bahwa Bond memang jagoan di lapangan. Namun, dibandingkan film terdahulunya, boleh dibilang secara plot cerita “Spectre” ini terasa sangat lambat dan hambar. Naskahnya juga dangkal dan tidak secerdas film-film pendahulunya. Naskah juga mempengaruhi bagaimana chemistry Madeleine Swann diperankan oleh Lea Seydoux, dengan Bond masih kurang terbangun — dibandingkan dengan Bond Girl lain yang namanya juga disebut dan tersirat “dicintai Bond”: Vesper Lynd. Padahal bisa dibilang Seydoux memiliki wajah yang sangat berkarakter.

Secara keseluruhan, tidak seperti opening creditnya yang mempesona (pemilihan tema gurita cukup mikin merinding), film Spectre ini justru terasa kurang membuat deg-degan, kurang membuat cemas, kurang menyedihkan, dan sebagainya. Jika tidak digarap dengan budget besar (yang otomatis membuat segala audio visual dan efek menjadi bagus), mungkin tidak akan menjadi semenarik sekarang. Anyway, satu lagi pembuktian (terakhir), bahwa Daniel Craig pantas menjadi Bond. He looks so HOT in this movie *___* 7/10 @ristiirawan

NErH2l9ZK6C6uv_1_b

Resensi Film: The Little Prince (2015)

Apa yang paling penting bukan apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang dirasakan oleh hati.

“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.”
― Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

Apa yang paling penting bukan apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang dirasakan oleh hati.

“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.”
Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

IMG_9590

Trailer film ini SANGAT luar biasa bagus. Selain editing videonya yang keren, musik layar dari Richard Harvey & Hans Zimmer bikin merinding banget. Cerita tentang THe Little Prince ini diambil dari buku berjudul sama, karya ANtoine de Saint-Exupery (I haven’t read the book, anyway). Sudah pernah dibuat menjadi layar lebar, dan kali ini di tangan Mark Osborne berubah menjadi sebuah film sastra yang cantik.

Untuk menonton film ini, kita harus memahami bahwa film ini bercerita tentang imajinasi anak-anak. Di mana setiap orang pernah menjadi anak-anak, tetapi cenderung melupakannya. Seorang gadis kecil (Mackenzie Fox) dan Ibunya (Rachel McAdams) bertekad masuk ke sekolah ternama. Mereka adalah orang yang sangat teratur dan terjadwal dengan detail. Seperti pada masyarakat umumnya, mereka sangat amat disiplin waktu dan terencana. Namun, gadis kecil tersebut mulai “keluar dari jalurnya” setelah bertemu dengan tetangganya yang eksentrik, seorang Kakek (Jeff Bridges). Si Kakek menceritakan tentang “The Little Prince”, seorang pangeran dari sebuah asteroid B-612.

Pangeran kecil tersebut merawat sebuah mawar; namun karena mawar itu egois; akhirnya ia berpindah ke asteroid-asteroid yang lain. Ia bertemu dengan Raja, Businessman, Orang Sombong; dan akhirnya bertemu dengan Penerbang yang terdampar di padang pasir. Dalam prosesnya, Pangeran kecil juga bertemu dengan Rubah liar, dan ular. Semua tokoh-tokoh di dalam cerita ini sebenarnya adalah perumpamaan dari tipe-tipe manusia, serta hubungan antar manusia.

Yang paling berkesan bagiku adalah ketika Pangeran Kecil terkejut ternyata ada banyak bunga mawar, lantas ia mulai bertanya, apa istimewanya mawarku? Jawabannya ada pada quotes di bawah ini:

“It is the time you have wasted for your rose that makes your rose so important.”
Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince

yang artinya: “Waktu yang kamu habiskan buat mawarmu lah yang membuat mawarmu menjadi begitu penting”.

Selain itu, ada rubah yang tadinya liar kemudian dijinakkan; melalui film ini juga diingatkan bahwa ketika kita sudah dekat dengan seseorang, atau dalam kasus ini binatang peliharaan; maka kita harus bertanggung-jawab pada hidupnya. Karena setelah menjadi jinak, maka rubah itu akan terikat pada kita. (OK, saya jadi teringat kucing saya yang tertinggal di rumah lama. Don’t worry Silky, I will come everyday to get u back home).

Nah, cukup bahas ceritanya. Secara film, mungkin banyak penonton yang akan bengong dan sulit menangkap arti ceritanya; karena batas antara imajinasi dan kenyataan tidak jelas. Itu saja bagi orang dewasa; apalagi bagi penonton muda. Jelas film ini meskipun animasi, tidak ditujukan untuk anak-anak. Animasinya tidak diragukan lagi, luar biasa bagus dan spesial. Karena tidak seperti animasi pada umumnya, gambaran-gambaran di sini seolah-olah terbuat dari prakarya tangan, crayon, seni kertas, dsb. Musiknya tidak bisa diragukan lagi, ISTIMEWA. Sebuah film yang bisa dibilang, agak “nyentrik”, tapi indah. Nilai 7/10.