Resensi Film: The Huntsman: Winter’s War (2016)

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)”

The-Huntsman-Winters-War-Billboard-Art.jpg

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)” . Masih diperankan oleh Chris Hemsworth sebagai Eric, Sang Pemburu, kali ini fokus ceritanya bukan pada putri putih salju, melainkan flash-back cerita romansa Eric dengan Sara (Jessica Chastain), sesama pemburu. Cerita berlanjut dari flash-back menuju peristiwa pasca kalahnya Ratu Jahat, Ravenna (Charlize Theron); yaitu munculnya permasalahan baru: Cermin Ajaib ternyata mengandung kejahatan, bikin stress Snow White, dan harus diamankan ke suatu tempat bernama “Sanctuary”. Namun dalam perjalanan, cermin ajaib dicuri! Eric awalnya enggan menolong Snow White untuk menemukan Cermin tsb, tapi ketika mengetahui musuh lamanya, Queen Freya (Emily Blunt) yang membunuh istrinya akan menjadi lebih bahaya jika mendapatkan Cermin Ajaib; akhirnya Eric bersedia menerima misi menemukan cermin tsb.

“The Huntsman: Winter’s War” didukung dengan animasi, make-up, dan kostum yang indah; jadi pasti kita akan betah duduk manis dan mengagumi semuanya. Sayangnya, cerita film ini tidak ditulis dengan baik. Plot cerita yang klise, dialog yang monoton, menjadikan film ini terasa “murah”, meskipun sudah dibintangi oleh para artis mahal. Sebut saja duet Ratu: Emily Blunt & Charlize Theron yang membuat mata kita tidak bisa lepas dari mereka (flawless make-up + amazing gown!). Sebaliknya, pemeran utama, Chris Hemsworth tidak kelihatan keren sama sekali (lebih karena pembentukan karakter yang lemah). Bahkan akan membuat kita heran: kenapa The Huntsman harus menjadi tokoh utama dari cerita ini? Lebih parahnya lagi, kenapa harus ada kata “Winter’s War” di judulnya, yang ternyata sama-sekali kita tidak disuguhi adegan perang yang bagus? Intinya, merasa di-PHP (lebih tepatnya: diberi harapan palsu) oleh judul yang dipasang. Bisa dibilang, harapan kita sudah terlalu tinggi saat mendengar judul dan melihat trailernya — tapi ternyata tak seindah yang terlihat pada awalnya. LOL!

Masih masalah di karakter, antagonis film ini, yaitu Queen Freya, memiliki terlalu banyak kemiripan dengan Queen Elsa di Frozen. Meskipun memang mereka (mungkin) berasal dari dongen yang sama, hal ini sedikit mengganggu; karena ide dari film ini jadi terasa tidak terlalu orisinil. Walaupun begitu, think positively, selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari sebuah film. Di luar premise yang dikumandangkan oleh film ini sejak awal, bahwa “Cinta tidak membuatmu lemah, melainkan memberikanmu kekuatan”; ada makna yang lebih tepat: Jangan biarkan hatimu menjadi pahit — atau dalam kasus ini: dingin. Meskipun kita dikecewakan oleh seseorang atau suatu hal, jangan “generalisasi”, alias menganggap semua akan sama; karena pada akhirnya, bukannya kita akan puas karena berhasil balas dendam; malah semakin terluka. @ristiirawan

6 out of 10 stars!

 

 

Resensi Film: Deadpool (2016)

Beberapa tahun belakangan ini, banyak super-hero yang menyerang baik dari kubu Marvel maupun DC. Berasal dari dunia yang sama, yaitu Marvel; Deadpool termasuk kubu X-Men yang “diasuh” oleh 20th Century Fox. Dengan banyaknya film super-hero bermunculan, persaingan pun sudah bukan lagi masalah jagoan siapa yang lebih hebat keahliannya atau visual-audio efek studio mana yang lebih bombastis; melainkan bagaimana seorang sutradara mampu menghadirkan sosok pahlawan yang berbeda — dare to be different.

Sutradara Tim Miller cukup percaya diri dengan membiarkan karakter Deadpool/Wade Wilson, yang diperankan oleh Ryan Reynolds, muncul sebagai sosok yang cerewet tiada taranya. Meski pergaulannya cenderung kelam, Wade punya cinta yang sangat besar terhadap Vanessa (Morena Baccarin). Maka, Deadpool muncul sebagai “love story”, alias kisah mengenai perjuangan cinta seorang pria. Demi cintanya inilah, Wade rela dijadikan kelinci percobaan oleh Ajax (Ed Skrein) yang ingin menciptakan pasukan super. Sayangnya, untuk mengaktifkan gen mutan yang disuntikkan dalam tubuh Wade; Wade harus disiksa sedemikian-rupa sehingga wajah dan tubuhnya menjadi seperti monster. Di sinilah, “love story” berubah menjadi HOROR.

Semakin horor dengan rating “R” yang dipasang, artinya banyak adegan sadis di film ini. Penonton yang mengira akan menyaksikan stereo-type super-hero, pasti akan terperangah menyaksikan kekerasan yang dibalut oleh humor sarkasme di film ini. Sedikit mengingatkan kita akan film Kick-Ass. Selain adegan sadis, banyak kata-kata jorok dan kasar. Jadi, sangat jelas sekali kalau Deadpool memang tampil berbeda dari kubu lain. Jika kubu lain menyajikan film superhero yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, Deadpool jelas tidak.

Sisi positifnya, Deadpool terasa segar dan menghibur bagi penonton yang sudah mulai jengah dengan banyaknya superhero yang bermunculan. Meski harus diakui, karena perbedaan budaya, tidak semua penonton dapat memahami humor yang dilemparkan oleh Deadpool. Bagi fans X-Men sendiri, ada beberapa humor “jujur” yang membuat kita tertawa terbahak-bahak, salah satu contohnya adalah ketika Colossus mengajak Wade bertemu Professor X, dan ia berkoar “McAvoy atau Stewart?”. Seperti yang fans tahu, Stewart adalah pemeran Prof. X lama, sementara McAvoy adalah Prof. X masa muda yang mulai muncul di X-Men:First Class.

Humor dan dialog yang terasa panjang ini memang merebut perhatian penonton, sehingga plot cerita yang disuguhkan pun agak tidak diperhatikan. Suatu kelebihan dan kekurangan, karena sebenarnya plot ceritanya biasa-biasa saja. Opening Credit yang lucu, penggunaan alur flash-back di paruh awal film juga membuat film ini semakin menarik. Promosi yang memancing rasa penasaran publik tidak sia-sia, karena pada akhirnya Deadpool memang menyajikan suatu film super-hero yang tidak terduga. Nilai 8/10.

 

Resensi Film: The Finest Hour (2016)

Resensi FIlm: The Finest Hour (2016)

The Finest Hour, film yang diangkat dari kisah nyata, mengajarkan arti ketaatan, tanggung-jawab, dan keberanian yang sesungguhnya. Filmnya disusun dengan baik, sampai-sampai dua tokoh di fim ini: Bernie Webber (Chris Pine) & Ray Sybert (Casey Affleck) terlihat sungguh keren. Sukses membangkitkan rasa kagum dari penonton.

Bernie Webber sendiri adalah seorang penjaga pantai yang bernyali kecil. Bagusnya film ini, sutradara Craig Gillespie tidak membuang waktu menceritakan sejarah Bernie mentah-mentah, tapi menyisipkannya ke dalam dialog-dialog para figuran. Penonton bisa mengira Bernie bernyali kecil, karena pernah gagal dalam menyelamatkan sebuah kapal, sehingga ia terus dihantui rasa bersalah. Bernie menemukan seorang gadis, Miriam (Holliday Granger) yang luar biasa dominan, tidak seperti wanita pada umumnya.

Ketika sebuah badai hebat menghantam mereka, ada 2 kapal tank yang terbelah menjadi dua. Namun karena beberapa faktor, seluruh bantuan terfokus pada 1 kapal saja. Kapten Daniel Cluff (Eric Bana) yang diragukan karena orang baru, memerintahkan Bernie untuk berangkat menyelamatkan kapal tank yang lain. Misi ini dinilai mustahil dilakukan, tetapi Bernie tetap patuh dan berangkat untuk menyelamatkan kapal tank tersebut, hanya bermodalkan dukungan 3 orang lain (yang sebenarnya tidak sepenuhnya mendukung).Di sisi lain, tank yang tanpa bantuan itu berusaha mengulur waktu di bawah pimpinan Sybert, yang bukan orang favorit seantero kapal. Apa boleh buat, karena mereka kehilangan kapten mereka. Lewat sosok Sybert inilah kita melihat bagaimana kerennya seorang yang “biasa saja”, bisa menjadi “luar biasa”, karena dia benar-benar mengenal bidangnya, dalam hal ini kapal yang ia cintai. Sybert berhasil mengulur waktu, dan Bernie yang awal mulanya dicap sebagai orang tak bernyali, justru membuktikan bahwa di tengah cibiran dan kemustahilan, ia tetap teguh dan menyelamatkan belasan nyawa.

Bisa dibayangkan, cukup sulit pasti membuat film yang settingnya hanya di laut dalam kegelapan badai. Tetapi The Finest Hour tampil cukup meyakinkan, meskipun tampaknya tidak ada satupun karakter di film ini yang takut tenggelam atau bisa mabuk (mungkin karena mereka pelaut?) meski sudah digoncangkan ombak sedemikian hebat. Setting tempat yang relatif sedikit ini juga mungkin sempat menimbulkan kebosanan bagi penonton yang tidak betah menyaksikan film dengan pemandangan itu-itu saja. Bagian awal filmnya juga terasa agak bertele-tele. Selain itu, ada beberapa adegan yang seharusnya bisa dibuat lebih mengharukan, tetapi momennya terlewat karena kurang diperhatikan. Pembagian durasi untuk plot ceritanya kurang merata. Nilai 7/10 @ristiirawan.

Resensi Film: Fathers & Daughters (2015)

Buat yang “father-less” atau kangen sama Papanya, kalau nonton film ini pasti nangis bombay. Makna yang terkandung di dalamnya juga cukup menohok: bagi seseorang yang kehilangan figur Bapa, pasti ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa ditutup begitu saja.

Ceritanya sederhana, tapi berkat akting Russell Crowe, Amanda Seyfried serta Kylie Rogers, filmnya jadi hidup dan cukup menyentuh hati. Setting waktunya campuran antara masa kini dan flash back; hanya dengan berfokus pada dialognya kita bisa menyadari pergantian waktu yang ada. Seorang penulis terkenal, Jake Davis (Russell Crowe) kehilangan istrinya dalam sebuah kecelakaan. Selain kehilangan istrinya, ia juga menderita sakit psikis. Ia harus berjuang untuk tetap memiliki hak asuh anaknya, Katie (Kylie Rogers/Amanda Seyfried), melawan sakit psikisnya, kebobrokan ekonomi dan saudara iparnya sendiri yang ingin mengadopsi Katie.

Fokus film ini ada dua, yang pertama adalah perasaan seorang Ayah yang harus berjuang menanggung semuanya sendiri; dan perasaan seorang anak yang (akhirnya) tumbuh besar dengan kerinduan kepada Ayahnya yang tidak pernah kesampaian. Film ini menunjukkan bagaimana keluarga memberikan efek besar bagi seseorang dalam mencari cintanya di masa depan dengan cara melankolis. Cerita sampingan, pekerjaan Katie sebagai seorang psikolog yang menangani anak yatim piatu juga menjadi sisi yang pas untuk menunjukkan bagaimana Katie menilai Ayahnya secara tidak langsung. Sayang sekali, chemistry antara Katie dan Cameron malah kurang terbangun; sehingga kurang tersampaikan ke penonton mengapa Katie akhirnya bisa menyadari ia mencintai Cameron — selain karena Cameron mengidolakan Ayahnya dan juga penulis. Selain itu, ada hal2 yang seharusnya bisa dibangun klimaksnya sehingga lebih dramatis. Nilai 7/10 @ristiirawan

 

.

Resensi Film: The 5th Wave (2016)

Tagline meyakinkan, trailer mempesona, artis utama terkenal; tapi.. semuanya hanya bertahan sampai “4th wave” alias gelombang ke-4. The 5th wave ternyata adalah sebuah cerita tentang kiamat yang membosankan, dan sepertinya dibuat khusus untuk anak-anak dan remaja. Ide ceritanya sendiri terlalu mirip dengan The Host karya Stephanie Meyer.

Bercerita bahwa muncul sebuah kapal luar angkasa yang super besar dan mengitari bumi; lantas kapal tsb mengeluarkan gelombang pertama, yang mematikan seluruh listrik & mesin di bumi. Gelombang ke-2 adalah tsunami. Gelombang ke-3 adalah wabah flu burung. Gelombang ke-4 adalah mereka seperti parasit yang bisa masuk dan mengendalikan manusia. Dengan ke-4 gelombang yang nyaris membuat manusia punah, maka manusia yang tersisa sangat ketakutan dengan gelombang ke-5 — yang entah apa.

*SPOILER ALERT!!!* *SPOILER ALERT!!!* *SPOILER ALERT!!!*

Lanjutan ceritanya, Cassie (Chloe Grace-Moretz) yang mengungsi di kamp bersama Ayah dan adiknya akhirnya diselamatkan oleh Angkatan Darat yang memboyong anak-anak duluan demi alasan keselamatan. Ternyata malah Angkatan Darat tsb menyerang dan membunuh semua pengungsi, aneh bukan? Jika belum cukup mencurigakan dan membongkar cerita; lantas anak-anak tersebut disuntik oleh pelacak dan dilatih untuk menjadi prajurit. Anak-anak? jadi prajurit? Masuk akal kah manusia yang putus asa sempat-sempatnya melatih anak-anak untuk berperang?

Nah, ketika semua plot terbuka, bahwa pelacak tsb justru yang membuat mereka melawan manusia yang tidak dihinggapi parasit; ceritanya jadi semakin tidak masuk akal. Alasan mereka menggunakan anak-anak adalah karena mudah dimanipulasi. Pertanyaan besarnya: Jika alien tsb dengan canggih mampu mendatangkan gelombang elektromagnet, tsunami, wabah burung, bahkan sampai menyusup; untuk apa susah-susah menggunakan anak-anak untuk melawan manusia yang tersisa? Tidak cukup hebatkah mereka?

Dalam hal cerita, The 5th Wave masih kalah jauh dengan Stephanie Meyer. Bahkan dramanya saja cukup memuakkan. Ketika seorang gadis sudah hampir mati, muncullah pria ganteng yang memiliki kemampuan super karena ia adalah separuh alien. Tidak adakah alur cerita yang lebih tidak mudah tertebak? Efek visualnya sebenarnya tidak terlalu buruk; tapi dengan cerita yang tidak bermutu, film ini jadi terasa hambar. Nilai 4/10 @ristiirawan.

 

 

 

Resensi Film: The Hateful Eight (2015)

Sesuai dengan opening credit, The Hateful Eight adalah film ke-8 Quentin Tarantino. Melihat nama sutradaranya saja, bisa dipastikan banyak kekerasan & nudity yang akan tersaji. Namun karena saya menyaksikannya di film Indonesia, ada beberapa bagian yang memang dipotong sensor; jadi tidak ada nudity di film ini; hanya tersisa adegan darah muncrat ke mana-mana (very Tarantino!).

The Hateful Eight dibukan dengan 1 scene gambar yang sama, dan ini membuat penonton mempunyai waktu untuk berfokus pada Original Soundtrack dari Ennio Morricone, yang luar biasa keren. Mendengar musiknya saja, sudah membuat perasaan tidak enak. Film ini dibagi menjadi beberapa chapter, dengan setting waktu setelah perang sipil di Amerika. Banyak issue mengenai kemanusiaan yang terkandung dalam dialog-dialog panjang.

Dimulai dari sebuah kereta kuda, dikemudikan O.B. (James Parks), berpenumpang seorang pemburu bayaran John Ruth (Kurt Russell), yang membawa tangkapannya, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) yang bernilai tinggi. John Ruth adalah pemburu bayaran yang unik, dia selalu menangkap buronannya hidup-hidup, meskipun ia sangat paranoid bahwa orang lain akan merebut tangkapannya. Dalam perjalanan awalnya, ia bertemu dengan 2 orang yang terpaksa ia tampung di kereta: Mayor Marquis (Samuel L. Jackson), seorang veteran negro yang menjadi pemburu bayaran; dan Mannix (Walton Goggins), yang mengaku calon sheriff baru di Red Rock.

Karena badai yang begitu hebat, mereka terpaksa singgah di Minnie’s Haberdashery; di mana di dalamnya sudah ada 4 orang lain: Bob (Demian Bichir) — yang mengaku sebagai orang yang “dititipi” tempat tersebut oleh pemilik aslinya; Oswaldo Mobray (Tim Roth), algojo resmi yang diundang ke Red Rock; Joe Gage (Michael Madsen), seorang koboi yang mau pulang untuk natal dengan ibunya; General Smithers (Bruce Dern), veteran perang yang sudah tua. Suasana menjadi runyam, karena ternyata 1 atau 2 orang lebih di antara mereka adalah komplotan dari Daisy, yang berniat membebaskan Daisy dengan cara apapun.

Tarantino memang berhasil menulis naskah film ini dengan sangat luar biasa. Lokasi yang dipakai pun hanya di 1 tempat, tapi tidak membosankan karena penonton terlalu penasaran untuk memahami apa yang terjadi. Kekurangan film ini ada di chapter-chapter awal, di mana Tarantino dengan sangat perlahan membangun karakter yang ada dengan dialog-dialog panjang yang tidak semua orang tahan untuk mengikutinya. Bagi Anda yang menyukai film drama, mungkin tidak keberatan dan merasa “masuk akal” jika Tarantino menghabiskan paruh awal film ini hanya untuk pembicaraan yang membangun image dan hubungan antara 3 tokohnya: John Ruth – Marquis – Mannix. Sementara bagi Anda yang kurang menyukai film drama, mungkin hanya akan menguap dan baru terbangun lagi di paruh akhir film; ketika tembakan mulai muncul. Nilai: 8/10.

Unanswered Question:
1. Jika dihitung-hitung lagi, pada akhirnya jumlah orang yang ada di situ bukan 8 orang. Jadi apakah judulnya hanya karena ini film ke-8?
2. Ada seekor kucing di di Minnie’s Haberdashery yang kemudian menghilang entah ke mana (tidak diceritakan).

Resensi Film: Ngenest (2015)

Ngenest adalah film komedi yang ditulis, disutradarai, dan dibintangi oleh Ernest Prakasa. Sebelumnya, Ernest dikenal lewat film layar lebar Comic 8 (2014) sekuelnya, Comic 8: Casino Kings (2015). Film ini LEBIH bagus daripada perkiraanku. Sederhana tapi sarat makna, lucu dan blak-blakan sebagaimana film komedi seharusnya.

Ngenest adalah film komedi yang ditulis, disutradarai, dan dibintangi oleh Ernest Prakasa. Sebelumnya, Ernest dikenal lewat film layar lebar Comic 8 (2014) sekuelnya, Comic 8: Casino Kings (2015). Film ini LEBIH bagus daripada perkiraanku. Sederhana tapi sarat makna, lucu dan blak-blakan sebagaimana film komedi seharusnya.

Ceritanya sendiri sederhana, bagaimana seorang Ernest menjadi korban “bully” semenjak kecil karena terlahir sebagai keturunan Cina. Untunglah ia memiliki sahabat sesama cina, Patrick (Morgan Oey). Ia pun mencoba berteman dengan musuhnya, tetapi gagal. Ernest pun berambisi untuk memiliki istri pribumi, agar ia dapat memutus “mata-rantai” Cina. Namun masalah baru justru timbul setelah ia menikahi Meira, wanita Sunda. Ia takut anaknya terlahir mirip bapaknya, alias sipit — kelihatan Cina.

Di balik kesederhanaan cerita hidup Ernest, ada beberapa topik yang sebenarnya sensitif, tapi diangkat dengan cukup fair dan ringan karena dibungkus sebagai film komedi. Bagi orang keturunan Cina, pastinya pernah merasakan apa yang dialami Ernest, dalam berbagai variasi level dan jenis. Meski humornya bukan sesuatu yang benar-benar baru (kita sudah pernah mendengarnya sebelumnya!); Contohnya: seperti  masalah wanita vs pria dalam urusan dandan; tetap saja penonton berhasil tertawa. Semuanya berkat naskah yang tersusun alami, dan dibawakan oleh para aktor dan aktris yang tampil apa adanya. Banyak dialog-dialog panjang (dan sejujurnya tidak penting) yang ada di film ini, tetapi masih bisa dicerna oleh penonton; karena terasa sangat mencerminkan kehidupan sehari-hari. Ya bagaimana tidak, karena toh ini adalah kisah kehidupan seseorang. Setidaknya, ada pesan positif yang berhasil disampaikan oleh film ini.

Tidak buruk untuk film komedi Indonesia. Setidaknya, saya bisa duduk menikmatinya dengan santai. Bahkan hingga kredit penutup habis pun, banyak penonton yang masih duduk dan menyaksikannya hingga habis. Pujian untuk Ernest dan tim produksi, you did a great job! Semoga bisa ada film-film lainnya yang lebih bagus lagi.

Nilai: 7/10
(dengan standar film Indonesia lho ya..)

Resensi Film: IP Man 3 (2015)

Film kungfu tentunya sudah ada banyak sekali. Jadi untuk membuat sebuah film kungfu yang bagus, tentunya tidak gampang. Ip Man 3 berhasil menjadi sebuah film kungfu yang artistik, didukung dengan koreografi yang keren, cinematografi dan efek audio yang sangat pas. Tidak boleh dilewatkan oleh penggemar film kungfu.

Film kungfu tentunya sudah ada banyak sekali. Jadi untuk membuat sebuah film kungfu yang bagus, tentunya tidak gampang. Ip Man 3 berhasil menjadi sebuah film kungfu yang artistik, didukung dengan koreografi yang keren, cinematografi dan efek audio yang sangat pas. Tidak boleh dilewatkan oleh penggemar film kungfu.

Lawan Ip Man kali ini adalah pihak Barat, Western Union, sedang seru-serunya menguasai Hong Kong secara legal maupun ilegal. Salah satu usaha mereka adalah memaksa untuk menggusur sekolah setempat, di mana anak Ip Man juga bersekolah di situ. Ip Man tidak bisa tinggal diam, dan bersama murid-muridnya ia menjaga sekolah tersebut; hingga akhirnya harus berhadapan dengan bos mereka, Frank (Mike Tyson). Ip Man juga sempat dibantu oleh Cheung Tin Chi (Jin Zhang) yang mengaku memiliki Wing Chun (aliran kungfu) yang lebih benar dari Ip Man. Namun ketika istrinya, Wing Sing (Lynn Hung) terkena kanker stadium akhir, maka Ip Man memilih untuk mengutamakan keluarganya. Dalam film ini, Ip Man mendapatkan musuh yang memiliki kehormata; yang gentle memegang janji dan mengakui kekalahan.

Koreografi seni bela-diri Ip Man 3 jelas disusun dengan matang, karena tetap tampil keren dibandingkan film-film kungfu yang telah ada sebelumnya. Hal ini juga didukung dengan pengambilan gambar yang bagus. Banyak gambar-gambar yang diambil dan ditata sehingga memberikan efek yang mengena. Untuk menghindarkan kebosanan dengan banyaknya adegan tarung, sutradara Wilson Yip dengan cerdas memilih setting tempat yang unik untuk pertarungannya; sebut saja di dalam lift sempit dengan ada seseorang yang harus dilindungi.

Poin tambahan untuk film ini adalah Donnie Yen yang benar-benar berkarisma sebagai sosok Ip Man. Seseorang yang luar biasa jago kungfu, tapi tetap rendah hati dan memegang nilai-nilai mulia. Tidak hanya lewat aksi Wing Chun yang lincah, tapi juga lewat pembawaan serta mimik wajahnya. Drama yang ia bangun bersama istrinya dalam film ini juga mampu memunculkan sisi melodramatis tersendiri. Di sisi antagonis, Mike Tyson dengan aktingnya yang buruk terselamatkan berkat aksi baku-hantam 3 menit yang terlihat meyakinkan. Setidaknya pertarungan yang sudah dinanti-nantikan oleh para fans ini tidak mengecewakan, Mike Tyson tetap tampil “besar”. Sesama Wing Chun master,  Jin Zhang tampil lebih meyakinkan sebagai musuh yang patut dihormati. Tampilnya Kwok-Kwan Chan sebagai Bruce Lee muda menjadi bonus khusus. Mungkin bisa menjadi spin-off atau lanjutan dari franchise ini ke depan.

Nilai: 8/10 @ristiirawan

NB: Bagi yang tidak menyukai film yang sadis, tenang saja, film ini tidak menunjukkan adegan terlalu berdarah.

Resensi Film: Sunshine Becomes You (2015)

Buat review film indonesia, harus menurunkan standar. Tapi tetap saja, kalau mau dinilai jujur, “Sunshine Becomes You” ini durasi filmnya kelamaan, dialognya kepanjangan, editing filmnya maksa, dan castingnya parah.

Ceritanya sendiri diadaptasi dari novel Ilana Tan berjudul sama. Setting lokasi di New York, diceritakan Ray Hirano (Boy William), seorang dancer keturunan Indonesia-Jepang sedang naksir Mia Clark (Nabila JKT48), anak adopsi dari pasangan Indonesia-Amerika. Tak sengaja, Mia justru menabrak Alex Hirano (Herjunot Ali), kakak dari Ray yang terkenal killer dan perfeksionis, dan mematahkan tangannya (tapi di dalam salah satu dialog sempat terucap “terkilir” — entah yang mana yang benar, Pak Sutradara?); padahal Alex adalah seorang pianis kelas dunia. Mia merasa harus bertanggung-jawab dan menjadi asisten Alex yang mengurus semua kebutuhan. Lanjutannya? Bisa ditebak, terjadi love-triangle.

LANJUTAN REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER.
*SPOILER ALERT*

Ternyata kisah pasangan yang dipisahkan oleh maut, karena salah satunya sakit; masih menjadi cerita yang laris untuk terus dijadikan bahan. Kali ini, Mia yang top dancer lulusan Julliard, mengidap sakit jantung; dan tentu saja pada akhirnya mati; meninggalkan Alex yang menulis lagu untuk Mia.

Secara segi cerita, layaknya novel-novel drama picisan, sudah pasti ceritanya mudah ditebak. Tapi novel Ilana Tan mungkin memiliki kekuatan karena “untuk dibaca”, sementara dalam film ini, naskahnya menjadi terlalu membosankan karena bertele-tele. Belum lagi karena para pemerannya seperti sedang memuntahkan hafalan mereka dalam kalimat-kalimat panjang. Tidak dibantu juga dengan editing film yang maksa, berusaha keras meyakinkan penonton bahwa semuanya terjadi di New York. Juga adegan bermain piano, semuanya pasti tahu kalau Herjunot Ali tidak benar-benar bermain piano, apalagi ada sound yang berbeda dari apa yang kelihatan di layar. Belum lagi tiap scene yang seharusnya romantis, tapi malah menjadi monoton.

Yang paling parah dari semuanya justru adalah casting pemeran wanita. Jika kita bicara tentang dancer, apalagi lulusan terbaik dari Julliard, sudah pasti bisa dibayangkan kalau ia adalah wanita yang pasti berlatih setiap saat setiap waktu; dan memiliki postur tubuh seorang penari. Well, bukan menghina Nabilah JKT48, karena pasti ia sudah berusaha keras, tapi jelas ia secara fisik tidak cocok memerankan tokoh tsb; jadi salah siapa? Mungkin ia akan bagus memerankan tokoh lain, tapi tidak sebagai penari profesional. Bahkan tariannya tidak cukup bagus. Sorry to say, saya sudah pernah melihat banyak penari Indonesia yang menari JAUH lebih bagus daripada di film ini (yang katanya lulusan Juliard). Menurut saya, jika ingin membuat film yang tokohnya adalah seniman (penari, pemusik, pelukis, dsb); seharusnya cast juga dipilih yang benar-benar MAMPU berakting sesuai tuntutan. Termasuk yang editing video-sound, harus PAHAM tuts apa yang bunyi jika dipencet di piano.

Nilai: 4/10 @ristiirawan

Resensi Film: In the Heart of the Sea (2015)

Film tentang perjuangan hidup di tengah laut, setelah berhadapan dengan paus raksasa (yang anehnya, secara jenius punya dendam kesumat terhadap manusia). Film ini diangkat dari dongeng yang menginspirasi novel Moby Dick atau The Whale (1851); kisahnya sendiri terjadi pada tahun 1820, di mana manusia menggunakan minyak paus sebagai bahan bakar lampu. Baru beberapa dekade setelahnya, manusia mengebor tanah untuk mendapatkan minyak (it mentioned in the end of the movie).

Film In the Heart of the Sea mengingatkanku akan film Life of Pi (2012), yang diangkat dari novel tahun 2001. Sama-sama menaruh anak laki-laki sebagai tokoh utamanya, bersama beberapa orang terpaksa berada di sekoci setelah kapal tenggelam, mampir di pulau aneh, serta terpaksa makan (ew!) temannya untuk bertahan hidup. Bedanya, di Life of Pi teman-temannya adalah harimau bengal, hyena, zebra dan orang-utan; yang bisa jadi adalah perumpamaan dari manusia-manusia yang ada di sekoci bersama si bocah. I guess Yann Martel (the writer of Life of Pi) & Herman Melville (the writer of Moby Dick) inspired by the SAME true story.

In the Heart of the Sea menceritakan Herman Melville (Ben Whishaw), mendatangi Thomas Nickerson (Brendan Gleeson) untuk mendapatkan inspirasi novelnya. Thomas adalah satu-satunya awak kapal Essex yang masih hidup. Essex adalah salah satu kapal pemburu paus, yang akhirnya tenggelam secara misterius, dan hanya sedikit dari awak kapal yang kembali hidup-hidup. Tenggelamnya Essex diceritakan akibat diserang oleh paus putih raksasa. Paus ini unik, karena tidak seperti paus pada umumnya, selain lebih besar, paus ini juga seperti punya tujuan untuk membalas-dendam.

Ceritanya sederhana dan bagus, dibawakan dengan narasi yang cukup telaten. Namun sutradara Ron Howard gagal menyajikan ketegangan yang semakin mengendor di paruh akhir film. Setelah klimaksnya (hancurnya kapal oleh si paus), alur cerita menjadi bertele-tele, dan tidak lagi seru untuk diikuti. Audio dan visualnya pun terasa biasa saja, kurang terasa menggelegar jika mengingat bagaimana seharusnya badai heboh di tengah laut (haha, seperti saya pernah merasakannya saja! :p). Sayang, padahal aktor yang dipakai sudah hebat-hebat, sebut saja Chris Hemsworth sebagai Owen Chase, Benjamin Walker sebagai Capt. Pollard, dan Cillian Murphy sebagai Matthew Joy, dan Tom Holland sebagai Nickerson kecil. Bahkan para pemeran pembantu dan figuran pun sudah sangat menjiwai, dari mimik wajah dan gerakan tubuh saja kita sudah bisa ikut merasakan lelah dan putus-asanya mereka di tengah laut.

Film  jenis seperti ini memang banyak menyodorkan pesan kehidupan; dari yang jelas-jelas disampaikan: JANGAN SERAKAH, sampai hikmat yang tersirat lainnya. Yang pasti, film ini tidak cocok buat yang mabuk laut & phobia lihat orang muntah. Plus yang tidak suka film dengan visual yang kurang indah. Saya sendiri sungguh tidak tega melihat para paus itu diburu  *tears*.

Nilai: 6/10 @ristiirawan.