Review: The Old Guard (2020)

Netflix sering memberikan kesempatan menyutradarai film layar lebar untuk pertama-kalinya kepada sutradara-sutradara berbakat. The Old Guard adalah film layar lebar Gina Prince-Bythewood yang pertama. Hasilnya diterima dengan baik oleh khalayak ramai. Awalnya aku ragu apakah film action berdurasi 2 jam ini bisa mempertahankan daya tariknya sepanjang film.

Charlize Theron sebagai Andromache of Scythia

Charlize Theron jelas adalah magnet dari The Old Guard. Penampilan fisiknya cocok dan aksinya KEREN BANGET! (Umurnya 45 tahun lho..) Ia berperan sebagai Andy, seorang pemimpin tim berisi orang-orang yang berhenti bertambah tua, bisa menyembuhkan diri sendiri (seperti Deadpool), dan otomatis hidup abadi. Selain hidup abadi, tim yang hanya terdiri dari 4 orang ini sangat terampil di lapangan. Tentu saja, karena mereka punya ratusan atau ribuan tahun untuk menimba pengalaman. Suatu saat, mereka dijebak oleh pihak yang ingin menjadikan mereka sebagai bahan percobaan di Laboratorium. Ketika mereka sibuk melarikan diri, malahan muncul satu orang abadi lagi yang harus mereka rekrut.

Gina Prince-Bythewood memberikan sentuhan yang bagus bagi film yang disadur dari komik karya Greg Rucka ini. Banyaknya film tentang manusia berkekuatan super pada dekade ini telah membuat masyarakat tidak mudah terkagum-kagum lagi dengan Superhero. Sang Sutradara tidak sekedar memamerkan kekuatan super para tokohnya dengan adegan aksi yang memukau, tetapi juga memberikan banyak porsi untuk para pemeran bisa menunjukkan akting emosi mereka. Kisah hidup tiap karakternya disisipkan dalam dialog-dialog yang ditata dengan rapi dari awal-akhir film untuk membuat penonton mengenal “penderitaan” mereka sebagai manusia abadi. Sisi emosional ini lah yang membuat The Old Guard bernilai lebih sebagai film aksi.

Sayangnya karakter antagonisnya terlalu jelas “jahatnya”, kurang meninggalkan kesan yang dalam; sangat kontras dengan para jagoan kita. Alur ceritanya juga mudah ditebak, pasti happy ending, sehingga intensitas atau ketegangan film tidak terlalu terasa. Walaupun banyak adegan aksi yang bagus, tetap saja tidak terasa “ngeri”, karena yah… kita sudah tahu bahwa mereka tidak bisa mati. Tambahan yang menarik justru ada di kredit ketika kita menyaksikan kolase foto orang-orang yang pernah mereka selamatkan… ternyata membawa perubahan baik bagi umat manusia. The Old Guard memang berpotensi menjadi franchise dan sekuelnya akan dinantikan banyak orang, karena memang kisah mereka masih ada banyak sekali yang belum tergali; terutama tentang Quynh; yang kisahnya paling membekas dalam ingatanku (tragis soalnya..)

The Old Guard memang pantas diberikan rating “R” oleh MPAA karena banyak kekerasan dan bahasa kasar di dalamnya. Berhubung tokohnya immortal, jadi banyak ditunjukan luka tersayat sampai isi perut yang berantakan. Banyak juga orang yang mati dalam film ini. Namun jika kita sudah terbiasa menonton film “gore” ala Superhero seperti Kick-Ass dan Deadpool, apa yang disajikan The Old Guard masih bisa kita tonton sambil makan.

Warrior Nun (2020)

Bumi, Surga & Neraka memang tidak ada habisnya untuk dikembangkan secara imajinatif menjadi kisah fantasi; karena pada dasarnya manusia selalu tertarik tentang after-life dan semacamnya. Biasanya cerita akan mencocokkan dengan suatu kepercayaan atau mitos tertentu. Warrior Nun memilih agama Katolik sebagai landasan ilmu “cocoklogi” (semuanya serba dicocokkan sehingga terasa masuk akal) film ini. Kenapa aku tertarik jenis film seperti ini? Karena aku pengen tahu penulis ceritanya punya gagasan apalagi yang baru tentang konsep surga-bumi-neraka dan bagaimana mereka menggunakan alkitab sebagai bahan imajinasi mereka. Terkadang imajinasi atau teori (kalau yang lebih pintar) mereka cukup memukau. Sebut saja Davinci Code yang booming sampai disebut sesat dan dilarang di berbagai gereja (please ini cuma review film, jangan debat masalah sesat atau nggak ya!) karena high-skilled cucoklogi.

Warrior Nun ini tetapi jauh dari Davinci Code, malah lebih mirip Shadowhunters: The Mortal Instruments yang juga ada di Netflix. Sayangnya, meski bukunya populer, film dan serialnya tidak sepopuler itu. Filmnya flop di pasaran. Serialnya…. aku sendiri tidak tahan menonton karena akting dan naskahnya yang kaku kaya kanebo kering. Warrior Nun diangkat dari webcomic “Warrior Nun Areala” karya Ben Dunn ini dikembangkan oleh Simon Barry untuk Netflix, menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Ava (Alba Baptista) yang telah meninggal dunia, tetapi hidup kembali karena “The Halo” lalu mendapatkan kekuatan super, seperti: menyembuhkan diri dan menembus dinding. “Halo” yang sering kita kenal sebagai lingkaran malaikat itu, ternyata adalah barang berharga yang dilindungi oleh Sekte rahasia dari Gereja Katolik secara turun-temurun selama berabad-abad. Sekte tersebut terdiri dari biarawati yang setia, berdedikasi, dan terlatih untuk melawan roh jahat dan iblis di Bumi.

Halo yang malah mengingatkanku akan “sundel bolong”, gimana dong? haha.

“Halo” biasanya dimasukkan dalam punggung seorang biarawati terpilih yang telah dilatih khusus, disebut: “The Warrior Nun”. Tetapi Ava mendapatkan “Halo” tersebut karena suatu kecelakaan, tidak biasanya peristiwa tersebut terjadi. Ava adalah yatim-piatu yang lumpuh tangan & kakinya, sehingga ketika ia hidup kembali, semua hal yang ia rasakan adalah sesuatu hal yang baru. Ava yang tidak memiliki iman yang sama dengan para biarawati, berusaha kabur dari tugasnya. Sementara Sekte sedang menghadapi konflik internal yang berbahaya, termasuk kehadiran Iblis mematikan yang memburu “Halo”.

Warrior Nun cukup membuat penasaran pada awalnya, tetapi lama-lama aku merasa bosan karena jalan ceritanya bertele-tele. Selain itu, karakter tokoh utamanya, Ava, bukan tipe yang menarik simpatik. Sulit untuk menyukai suatu serial, jika kita tidak suka dengan tokoh utamanya. Sampai hampir Season 1 berakhir, Ava ditunjukkan sebagai sosok yang sangat egois dan tidak memiliki kelebihan apapun, selain jago membuat lelucon yang menyebalkan. Bahkan sampai suatu adegan yang seharusnya membuat ia mengambil keputusan bijak, Ava tetap lari dari “panggilan”nya. Dalam hal ini, mungkin pencipta dan penulis serial ingin menyajikan cerita yang bukan klise, yang lebih relevan dengan kondisi manusia pada umumnya: kabur jika ada hal yang menakutkan. Lalu seolah tersadar, tanpa suatu alasan yang jelas, tiba-tiba Ava bersedia masuk ke dalam Sekte dan membantu rencana mereka (ya elah kenapa gak dari awal sih, ribet amat ini ceritanya). Lebih parahnya lagi, belum selesai ceritanya bagaimana, sudah ENDING SEASON 1. Are you kidding me?! Kalau memang hanya punya jatah 10 episode, kenapa tidak menuntaskan satu putaran cerita? Kenapa harus membuang-buang waktu dengan dilema dan pergumulan Ava yang memakan sekian banyak episode (terasa sia-sia)? Mungkin ini yang dinamakan strategi marketing dalam serial TV. Tidak penting kepuasan penonton terhadap ceritanya bagaimana, yang penting buat ending menggantung, supaya mereka mau menonton Season selanjutnya.

Mother Superion, My Favourite Character of this Movie.

Sebenarnya Warrior Nun memiliki potensi besar untuk membuat kita menyukai Sekte mereka yang menjunjung loyalitas dan kesetia-kawanan. Tetapi entah kenapa, aku sulit merasakan chemistry di antara para biarawati ini, meskipun karakter pendampingnya banyak yang menarik, seperti: Beatrice yang serba bisa, Mother Superion yang tegas, dll. Mungkin karena “bahaya” dalam film ini tidak terasa menyeramkan. Lalu banyak kisah yang tidak dikembangkan dan hilang, termasuk kisah Ava dengan JC (Emiliki Sakraya) yang berhenti begitu saja (sia-sia lagi..). Plot Twist yang ada juga sudah bisa ditebak siapa penjahatnya. Satu hal yang menarik adalah bagaimana penulis menggunakan ayat-ayat kitab suci menjadi judul episode dan menyelipkannya dalam setiap dialog. Bahkan di sini kita bisa melihat pandangan-pandangan orang beriman dan tidak beriman terhadap kebaikan dan kejahatan. Setidaknya dari sisi iman, film ini boleh lah usahanya.

Walaupun Parent’s Advisory Rating nya TV-MA, sebenarnya tidak ada adegan sadis yang terlalu mengerikan…. wait! memang iblis yang muncul cukup mengerikan dan bisa menusuk manusia terus kelihatan ada darahnya; tetapi menurutku tidak mengguncang jiwa, karena kita masih bisa menerimanya sebagai “Hanya Animasi”. Ada adegan percintanya, tetapi hanya sedikit dan tidak vulgar. TV-MA diberikan karena banyak adegan kekerasan yang memang tidak cocok ditonton anak-anak. Secara keseluruhan, film ini bisa menjadi hiburan jika kita suka dengan tema fantasi surga-bumi-neraka; tanpa kita perlu merasa terlalu gloomy; tetapi ya sudah.. hanya lewat begitu saja, tidak ada kesan mendalam yang ditinggalkan. Oh.. ada sih.. KESAL karena ceritanya tidak ditutup dengan baik di Season 1.

Otomatis pasti mau dong nonton Season 2?

Strategi Marketing berhasil.

Resensi Film: The Huntsman: Winter’s War (2016)

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)”

The-Huntsman-Winters-War-Billboard-Art.jpg

Hi there! It’s been a while since I wrote my last movie review. Maklum, banyak kesibukan lain yang menyita waktu. But now I’m back! Kembali bersama “The Huntsman: Winter’s War” yang merupakan sekuel dari “Snow White and the Huntsman (2012)” . Masih diperankan oleh Chris Hemsworth sebagai Eric, Sang Pemburu, kali ini fokus ceritanya bukan pada putri putih salju, melainkan flash-back cerita romansa Eric dengan Sara (Jessica Chastain), sesama pemburu. Cerita berlanjut dari flash-back menuju peristiwa pasca kalahnya Ratu Jahat, Ravenna (Charlize Theron); yaitu munculnya permasalahan baru: Cermin Ajaib ternyata mengandung kejahatan, bikin stress Snow White, dan harus diamankan ke suatu tempat bernama “Sanctuary”. Namun dalam perjalanan, cermin ajaib dicuri! Eric awalnya enggan menolong Snow White untuk menemukan Cermin tsb, tapi ketika mengetahui musuh lamanya, Queen Freya (Emily Blunt) yang membunuh istrinya akan menjadi lebih bahaya jika mendapatkan Cermin Ajaib; akhirnya Eric bersedia menerima misi menemukan cermin tsb.

“The Huntsman: Winter’s War” didukung dengan animasi, make-up, dan kostum yang indah; jadi pasti kita akan betah duduk manis dan mengagumi semuanya. Sayangnya, cerita film ini tidak ditulis dengan baik. Plot cerita yang klise, dialog yang monoton, menjadikan film ini terasa “murah”, meskipun sudah dibintangi oleh para artis mahal. Sebut saja duet Ratu: Emily Blunt & Charlize Theron yang membuat mata kita tidak bisa lepas dari mereka (flawless make-up + amazing gown!). Sebaliknya, pemeran utama, Chris Hemsworth tidak kelihatan keren sama sekali (lebih karena pembentukan karakter yang lemah). Bahkan akan membuat kita heran: kenapa The Huntsman harus menjadi tokoh utama dari cerita ini? Lebih parahnya lagi, kenapa harus ada kata “Winter’s War” di judulnya, yang ternyata sama-sekali kita tidak disuguhi adegan perang yang bagus? Intinya, merasa di-PHP (lebih tepatnya: diberi harapan palsu) oleh judul yang dipasang. Bisa dibilang, harapan kita sudah terlalu tinggi saat mendengar judul dan melihat trailernya — tapi ternyata tak seindah yang terlihat pada awalnya. LOL!

Masih masalah di karakter, antagonis film ini, yaitu Queen Freya, memiliki terlalu banyak kemiripan dengan Queen Elsa di Frozen. Meskipun memang mereka (mungkin) berasal dari dongen yang sama, hal ini sedikit mengganggu; karena ide dari film ini jadi terasa tidak terlalu orisinil. Walaupun begitu, think positively, selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari sebuah film. Di luar premise yang dikumandangkan oleh film ini sejak awal, bahwa “Cinta tidak membuatmu lemah, melainkan memberikanmu kekuatan”; ada makna yang lebih tepat: Jangan biarkan hatimu menjadi pahit — atau dalam kasus ini: dingin. Meskipun kita dikecewakan oleh seseorang atau suatu hal, jangan “generalisasi”, alias menganggap semua akan sama; karena pada akhirnya, bukannya kita akan puas karena berhasil balas dendam; malah semakin terluka. @ristiirawan

6 out of 10 stars!

 

 

Resensi Film: The Finest Hour (2016)

Resensi FIlm: The Finest Hour (2016)

The Finest Hour, film yang diangkat dari kisah nyata, mengajarkan arti ketaatan, tanggung-jawab, dan keberanian yang sesungguhnya. Filmnya disusun dengan baik, sampai-sampai dua tokoh di fim ini: Bernie Webber (Chris Pine) & Ray Sybert (Casey Affleck) terlihat sungguh keren. Sukses membangkitkan rasa kagum dari penonton.

Bernie Webber sendiri adalah seorang penjaga pantai yang bernyali kecil. Bagusnya film ini, sutradara Craig Gillespie tidak membuang waktu menceritakan sejarah Bernie mentah-mentah, tapi menyisipkannya ke dalam dialog-dialog para figuran. Penonton bisa mengira Bernie bernyali kecil, karena pernah gagal dalam menyelamatkan sebuah kapal, sehingga ia terus dihantui rasa bersalah. Bernie menemukan seorang gadis, Miriam (Holliday Granger) yang luar biasa dominan, tidak seperti wanita pada umumnya.

Ketika sebuah badai hebat menghantam mereka, ada 2 kapal tank yang terbelah menjadi dua. Namun karena beberapa faktor, seluruh bantuan terfokus pada 1 kapal saja. Kapten Daniel Cluff (Eric Bana) yang diragukan karena orang baru, memerintahkan Bernie untuk berangkat menyelamatkan kapal tank yang lain. Misi ini dinilai mustahil dilakukan, tetapi Bernie tetap patuh dan berangkat untuk menyelamatkan kapal tank tersebut, hanya bermodalkan dukungan 3 orang lain (yang sebenarnya tidak sepenuhnya mendukung).Di sisi lain, tank yang tanpa bantuan itu berusaha mengulur waktu di bawah pimpinan Sybert, yang bukan orang favorit seantero kapal. Apa boleh buat, karena mereka kehilangan kapten mereka. Lewat sosok Sybert inilah kita melihat bagaimana kerennya seorang yang “biasa saja”, bisa menjadi “luar biasa”, karena dia benar-benar mengenal bidangnya, dalam hal ini kapal yang ia cintai. Sybert berhasil mengulur waktu, dan Bernie yang awal mulanya dicap sebagai orang tak bernyali, justru membuktikan bahwa di tengah cibiran dan kemustahilan, ia tetap teguh dan menyelamatkan belasan nyawa.

Bisa dibayangkan, cukup sulit pasti membuat film yang settingnya hanya di laut dalam kegelapan badai. Tetapi The Finest Hour tampil cukup meyakinkan, meskipun tampaknya tidak ada satupun karakter di film ini yang takut tenggelam atau bisa mabuk (mungkin karena mereka pelaut?) meski sudah digoncangkan ombak sedemikian hebat. Setting tempat yang relatif sedikit ini juga mungkin sempat menimbulkan kebosanan bagi penonton yang tidak betah menyaksikan film dengan pemandangan itu-itu saja. Bagian awal filmnya juga terasa agak bertele-tele. Selain itu, ada beberapa adegan yang seharusnya bisa dibuat lebih mengharukan, tetapi momennya terlewat karena kurang diperhatikan. Pembagian durasi untuk plot ceritanya kurang merata. Nilai 7/10 @ristiirawan.

Resensi Film: Guardians of the Galaxy (2014)

Guardians of the Galaxy menjadi film Marvel yang tidak berhubungan secara langsung dengan The Avengers (setidaknya untuk saat ini), meskipun kita akan bertemu The Collector (muncul pada credit Thor). Marvel yang sedang naik daun memang berhasil menemukan formula yang membuat orang menanti-nantikan filmnya. GOTG membosankan di paruh awal film tetapi sukses membuat penonton puas di akhir film.

Cerita dimulai dari seorang anak bernama Peter Quill (Chris Pratt) yang diculik oleh Yondu (Michael Rooker) dan dibesarkan sebagai anggota The Ravagers, komplotan pencuri profesional. Situasi menjadi rumit ketika Quill — yang menyebut dirinya sendiri Star-Lord — tertangkap dan dipenjara bersama Rocket Racoon (Bradley Cooper), Groot (Vin Diesel), Gamora (Zoe Saldana), Drax (Dave Bautista). Di sisi lain ada Ronan (Lee Pace) yang berniat menghancurkan sebuah planet, dibantu oleh saudari Gamora: Nebula (Karen Gillam). Digerakkan oleh hati nurani, akhirnya mereka berusaha menghentikan Ronan. Sebutan “Guardians of the Galaxy” sendiri dilontarkan oleh Ronan sebagai ejekan.

Setting tempat GOTG adalah galaksi dengan berbagai macam planet dan berbagai macam makhluk luar angkasa. Bagi penonton baru yang tidak pernah membaca komiknya tentu akan sangat asing dengan nama-nama tokoh maupun tempat yang ada. Mungkin karena hal inilah, sutradara James Gunn menerangkan sedini dan secepat mungkin di awal film. Sayangnya hal ini membuat alur cerita di paruh awal menjadi tidak jelas dan membosankan. Rasanya seperti disuguhi potongan gambar dan disuruh menghafalkan nama, sejarah serta latar belakangnya. Untungnya cerita berubah menjadi dinamis berkat chemistry antar tokoh yang semakin menguat. Selain pilihan casting yang tepat, dialog antar guardians menjadi menarik, terutama berkat Rocket yang cerewet dan Groot dengan ciri khasnya, “I am Groot”. Sentuhan melankolis di akhir film pun terasa pas dan manis, meninggalkan penonton dengan perasaan “sayang” terhadap tokoh-tokohnya.

Secara segi cerita sebenarnya tidak ada hal yang baru karena banyak mengingatkan kita terhadap perebutan “benda ajaib” di seri iron man, thor, capt america sampai the avengers. Tetapi dengan efek visual yang mengagumkan, siapa yang tidak betah untuk duduk manis selama 2 jam? Apalagi pilihan musik yang berbeda dengan film super-hero lainnya, banyak lagu-lagu tahun 1970-80an yang mungkin asing bagi generasi muda, tetapi asyik dinikmati dan memberikan warna tersendiri untuk GOTG. Bukan film terbaik Marvel, tetapi tetap bagus untuk ditonton. Anyway, banyak adegan dan dialog di trailer yang tidak muncul di film. Nilai total 7/10. @ristiirawan

Memorable Scenes
Worst Scene: Ronan membunuh entah siapa di awal cerita (untuk apa scene ini? untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar kejam? shortcut yang klise).
Best Scene: Pertarungan Quill, Groot & Drax di dalam Dark Aster; Groot melindungi teman-temannya dan berkata, “We are Groot”.
Favourite Scene: Ketika pesawat2 dari planet X bergabung membentuk barikade untuk menghalangi dark aster (aw… it’s so cool..!)

Messages
Good messages: “looser” bisa berubah menjadi “hero” jika ada kemauan; bahwa setiap kita punya tujuan hidup yang baik jika pilihan kita tepat.
Bad messages: membunuh dan menipu itu tidak salah (Karena Quill sendiri adalah seorang penipu); serta menyebarkan kesan untuk tidak mempercayai Ayah kita (Gamora & Nebula dibentuk dan merasa diperalat oleh Ayah mereka).

Who is my favourite character?
Rocket!
He reminded me of my cat! *LOL*
I like Groot, but who doesn’t love him after this movie?

IMG_4893-0.JPG

Soekarno : Indonesia Merdeka (2013) : Film Nasionalis Berbumbu Romantisme

20131223-200915.jpg

Hal yang mengejutkan adalah ketika muncul tulisan di layar bioskop, meminta para penonton untuk berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya. Awalnya penonton ragu-ragu, tapi setelah ada 1 orang berdiri, disusul 5 orang, akhirnya semua berdiri, meski tidak semua menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Tampaknya, bangsa Indonesia perlu dibangkitkan kembali semangat nasionalisnya. Kita perlu mengingat berapa susahnya perjuangan Soekarno cs dulu, hanya agar bendera merah-putih dapat dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dapat dikumandangkan. Sutradara Indonesia yang mau mengerjakan tema nasionalis, patut diberikan penghargaan.

Membuat film biografi tentunya tidak mudah. Bagaimana memadatkan kisah hidup seseorang dalam durasi 2 jam. Pro dan kontra pasti ada. Kontroversi tidak mungkin dihindarkan, pasti ada kalangan yang tidak puas dan membenci film itu. Karena kita berbicara tentang kisah hidup manusia. Manusia yang pasti memiliki kesan yang berbeda-beda terhadap setiap orang, dan mempengaruhi penilaian pribadi. Apalagi jika manusia tersebut adalah orang nomor satu dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Bapak Soekarno.

Kusno (Aji Susanto) sakit-sakitan, sehingga diadakanlah upacara adat Jawa untuk mengubah namanya menjadi Soekarno. Beranjak remaja, Soekarno (Emir Mahira) mulai menyadari perbedaan derajat antara pribumi Indonesia dengan kaum penjajah Belanda. Ia mulai sering berlatih menumpahkan perasaannya lewat orasi, seperti yang ia pelajari dari Ayahnya. Ketika dewasa, Soekarno (Adi Bayu) selalu membakar rakyat Indonesia melalui pidatonya, sehingga Belanda memenjarakan, dan kemudian mengasingkannya ke Bengkulu karena terkena malaria. Ketika Jepang datang, Soekarno kembali ke Jawa, dan akhirnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama Hatta (Lukman Sardi).

Hanung Bramantyo, sang sutradara, memilih untuk menyoroti perjuangan diplomatis Soekarno-Hatta dengan Jepang, yang mendapat ketidaksetujuan dari kaum pemuda Indonesia, PETA. Cara penuturannya mirip dengan Lincoln, namun dengan muatan dialog yang lebih ringan. Selain sisi politik, drama romansa antara Soekarno dengan Inggit dan Fatmawati juga diulas. Adi Bayu sebagai pemeran Soekarno mampu menjelma dengan gagah dalam pidatonya yang bikin merinding. Namun sebagai Soekarno yang memikat wanita, Adi Bayu kurang mempesona. Padahal ia bersanding dengan Maudy Kusnaedi yang menunjukkan senioritasnya dalam akting sebagai wanita kuat pendamping Soekarno menuju depan gerbang mimpinya. Tika Bravia juga tidak kalah dalam membawakan sosok gadis muda nan cerdas, Fatmawati. Sayang, terlalu banyak teriakan, lempar-lempar barang, tangisan histeris, ocehan dan rayuan ala sinetron. (atau mungkin itu memang ciri khas film Indonesia). Dalam memadukan dua sisi ini, romansa dan politik, Hanung Bramantyo masih harus belajar lagi, karena Soekarno di sini terlihat lebih sering galau karena wanita daripada karena Indonesia, yang agak menurunkan wibawa tokoh dengan pencitraan yang tidak dewasa.

Setting tempat didekorasi dengan banyak properti kuno, yang kadang sangat terlihat “sengaja disorot”, namun agak monoton, karena kurang banyak alternatif setting, dan banyak benda-benda sama yang digunakan di sana-sini. Dari segi outfit, setidaknya sudah berusaha kembali ke masa silam, meskipun seragam tentara Jepang tampak terlalu buruk. Penggunaan bahasa dan ejaan lama cukup meyakinkan dalam film ini, meskipun kalau berbicara tentang naskahnya, film ini masih terasa kaku. Terutama pada bagian di Jawa, para pemerannya tampak tidak alamiah ketika bercakap-cakap dengan bahasa Jawa. Bahkan di beberapa adegan yang menggunakan banyak figuran, seperti ketika para rakyat menanggapi pidato Soekarno dengan mengangkat tangan dan berteriak “tidak tahu!” bersama-sama, mereka seperti robot yang membaca teks. Pemeran tentara Jepang juga tidak meyakinkan. Performa Ferry Salim tidak terlalu baik kali ini. Untungnya, Lukman Sardi sebagai Hatta yang serius dan Tanta Ginting sebagai Sjahrir yang berapi-api, mampu menutup kekurangan itu.

Durasi yang panjang menjadi masalah dalam film ini. Meski beberapa scene tampil membekas dengan baik, seperti : orasi Soekarno di bawah bendera Marhaen, penjarahan ketika Jepang datang, pertarungan pesantren dengan Jepang, pelacuran, dan kerja Romusha; jengkel rasanya ketika menyaksikan adegan-adegan yang tidak diperlukan (seperti adegan makan-makan, orang lewat, dsb) yang menurunkan tensi film. Bahkan beberapa adegan historis, meski sudah dikurangin dengan hanya menggunakan running-text, tampak tidak maksimal diolah. Maksud dari produser Raam Punjabi yang berkeinginan membawa film ini ke Jepang pun tampak dengan bagaimana Jepang diperlihatkan lebih berhati baik dibandingkan catatan sejarah. (My grandmother has ever told me that Japan is the cruelest colonizer).

Meskipun film ini tidak sempurna, tetapi usaha yang telah dilakukan tim produksi patut diberikan nilai lebih. Apalagi dengan musik dari Tia Subiakto Satrio yang mendukung pada bagian-bagian klimaks, meski untuk bagian non-klimaks masih harus disesuaikan lagi, karena kurang menyatu dengan film. Setidaknya film ini menggambarkan realita seorang pemimpin, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Terlebih lagi, film ini memiliki nilai sosial ketika ada beberapa adegan menyorot nasib orang keturunan Tionghoa di Indonesia, yang secara historis berbagi penderitaan yang sama dengan pribumi, karena meski tidak lahir di sini, mereka telah menganggap Indonesia sebagai tanah air, tempat mereka hidup dari berdagang. Semoga semakin banyak film yang berkualitas di kancah perfilman Indonesia. Nilai saya adalah 6/10.

20131223-200705.jpg