The Kissing Booth 2 (2020) Review

Lemme recap the 1st film for you! The Kissing Booth, film pertamanya adalah salah satu dari film teen rom-com yang membuatku merasakan euforia setelah menontonnya. Senang karena melihat para pemerannya yang enak dipandang mata. Joey King sebagai Elle yang bersahabat dengan Lee (Joel Courtney) karena lahir di tanggal yang sama dan orang tua mereka bersahabat baik. Tentu ceritanya bisa ditebak, karena Elle akhirnya jatuh hati dengan kakak Lee, Noah (Jacob Elordi) yang super HOT, idola banyak wanita. Perasaan mereka terungkap gara-gara mereka membuka “Kissing Booth” alias stan jasa ciuman untuk proyek sekolah Elle & Lee (yang tidak mungkin terjadi di Indonesia ~ dan sekarang di seluruh dunia, karena pandemi covid-19 ini!). Elle melanggar satu dari aturan persahabatannya dengan Lee; tetapi mereka akhirnya bisa berdamai, bahkan Lee menemukan pacar sendiri Rachel (Meganne Young) berkat “Kissing Booth” juga. Di akhir film, Elle melepas Noah yang berangkat kuliah ke Harvard.

Di sekuelnya, The Kissing Booth 2, Elle sedang insecure karena LDR (Long Distance Relationship) dengan Noah. Ketika Noah menawarinya untuk lanjut kuliah di Harvard, Elle senang tapi galau karena ia dan Lee punya janji sejak kecil untuk kuliah bersama di UC Berkeley. Demi mendapatkan uang tunai untuk biaya kuliah, Elle mengikuti kompetisi Dance Dance Revolution (DDR) dengan bantuan teman barunya, Marco (Taylor Zakhar Perez) yang tidak kalah ganteng dari Noah. Di sisi lain, Elle tidak menyadari bahwa ia menjadi pengganggu dalam hubungan Lee dengan Rachel.

Film pertamanya memang tidak terlalu kuat dalam segi cerita, tetapi berhasil membangkitkan rasa “gemas” karena bumbu-bumbu percintaan remaja yang disertai dengan kecorobohan mereka yang lucu (seperti Elle pakai rok kesempitan, dan Elle yang ngumpet di bawah ranjang Noah); tetapi film kedua ini justru kehilangan “greget”nya. Ceritanya sendiri memang sesuai dengan perkembangan umur karakternya, di mana Elle sedang berusaha mencari jati diri untuk menentukan kuliahnya; dan Noah yang menghadapi dunia kuliah yang tidak sama seperti SMA.

Di film kedua ini, Elle menjadi lebih “berisik” daripada film pertamanya, dan itu mengganggu. Film kedua terlalu bersusah-payah menyambung cerita dengan film pertama dan meniru kejutan-kejutan yang sama, sehingga otomatis sudah tidak seru lagi. Terlalu dipaksakan dan aneh ketika “Stan Ciuman” kembali diadakan, tetapi akhirnya juga hanya sebagai properti untuk menunjang kampanye LGBT, yang ceritanya sendiri tidak ada hubungannya dengan cerita utama! Sebut saja adegan teman Elle (yang aku sendiri sampai tidak ingat siapa namanya, karena tokohnya sebenarnya tidak penting!) yang comes up saat di Kissing Booth; adegan yang terlihat garing dan palsu.

Pemilihan DDR sebagai ajang kompetisi yang mengesampingkan “Kissing Booth” sendiri juga terasa kurang relevan dengan kondisi sekarang. Meskipun tidak dipungkiri, dance mereka sangat keren, para remaja pasti terpesona sama Taylor Z Peres. Bumbu yang baru dalam film kedua ini, tetapi membuat sutradara kehilangan fokus. Sejak kapan The Kissing Booth berubah menjadi film dance? Banyak adegan yang “nanggung” karena usaha penulis & sutradara untuk keluar dari klise tetapi malah membuat gelora film ini hilang. Durasi 131 menit juga terlalu panjang (lebih panjang 20 menit dari film sebelumnya).

Contoh Adegan yang “nanggung”.

The Kissing Booth 2 akan terasa menyenangkan ditonton jika memang kamu memiliki emotional attachment dengan para tokohnya dari prekuelnya atau suka melihat yang manis-manis. Bagaimana hati kita tidak meleleh, melihat Jacob Elordi seperti ini?

Selain eye candy ini, ada sisi positif yang bisa dipelajari dalam film ini, bahwa 1) kita harus kontrol emosi, belajar mendengarkan orang lain agar kita tidak terjebak dalam asumsi kita sendiri. 2) belum tentu yang kita anggap baik untuk orang lain, lalu kita tutupi, tidak akan membawa masalah lebih besar.

Kuberikan rating 6/10!

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?

Resensi Film: Star Wars VII: The Force Awakens (2015)

Sebagai penggemar Star Wars tentu happy banget akhirnya ada Star Wars VII. Star Wars layar lebar yang paling tua usianya, yaitu Star Wars IV diproduksi tahun 1977. Tak heran jika banyak orang yang binging, “Kapan Star Wars I-VI nya?” dan tidak tahu-menahu sejaranya.

Let me help you, buat kalian yang belum pernah menonton Star Wars sama sekali, sinopsis pendek ini bisa membantu kalian:

Jedi adalah semacam ksatria yang mendapatkan tenaga dari The Force. Mesk begitu, ada sisi gelap dari The Force yang semakin lama semakin kuat. Ada nubuat yang mengatakan akan ada 1 anak yang membawa keseimbangan pada The Force. Yang dikira nubuat itu adalah Anakin Skywalker, yang diajar oleh Obi-wan Kenobi. Ternyata, Anakin Skywalker malah berpindah ke sisi gelap, dan menjadi Darth Vader. Darth Vader berhasil menghancurkan Republik dan mendirikan Kekaisaran, serta membunuh semua Jedi yang ada. Diam-diam, Amidala (istri Anakin) punya 2 anak kembar, yaitu Leia dan Luke yang dipisah dan disembunyikan hingga dewasa. Luke Skywalker akhirnya ditemukan dan dilatih oleh Obi-Wan tua, dan Master Yoda (sebelum akhirnya mati), untuk mengalahkan Darth Vader dan gurunya, Sith. Princess Leia adalah pemimpin pemberontakan, dan bertemu dengan Han Solo, pekerja upahan yang licik dan suka menipu; tetapi baik hati. Singkat cerita, Luke berhasil menggerakkan hati nurani Darth Vader yang akhirnya membunuh Sith. Sebagai Jedi terakhir, Luke beritikad untuk membangun dan melatih kembali kaum Jedi.

Demikian sinopsis pendek agar bisa “nyambung” nonton Star Wars VI. Star Wars VI sendiri melanjutkan cerita, bahwa ternyata salah satu murid Luke berkhianat, membunuh semua Jedi. Luke yang terpukul kemudian mengasingkan diri; dan semua kubu berlomba2 menemukan Luke Skywalker.

tfa_poster_wide_header-1536x864-959818851016.jpg

Selain droid R2-D2 dan C3PO yang selalu ada dari Star Wars I-VI, ada personil lama yang masih ada dalam Star Wars VII, yaitu Han Solo (Harrison Ford), Princess/General Leia (Carrie Fisher), dan Luke Skywalker (Mark Hamill). Karakter baru yang muncul juga berhasil mencuri perhatian, Rey (Daisy Ridler) yang asal-usulnya masih menjadi pertanyaan, Finn (John Boyega), dan Poe Dameron (Oscar Isaac). Antagonis Kylo Ren (Adam Driver) meski tidak segahar Darth Vather, juga tampil berkarisma. Namun dari semuanya, justru tokoh baru yang paling memukau adalah droid baru, BB-8.

Secara segi cerita, Star Wars VII memiliki sangat banyak kemiripan dengan film pendahulunya. Silsilah keluarga yang runyam, 3 kubu yang berperang, tokoh yang berkhianat ke sisi gelap, tokoh utama yang misterius, senjata perang raksasa yang mampu menghancurkan planet,  perang angkatan udara yang penuh dengan tembakan laser, aneka alien berbagai macam rupa dalam satu bar, pemburu bayaran, dsb. Bedanya, di film terbaru ini tokoh utamanya adalah seorang gadis; dan senjata perang raksasanya bisa menghancurkan langsung lebih dari 1 planet.

Bagi beberapa orang, mungkin akan mencerca Star Wars VII karena kemiripan cerita yang terlalu banyak; tetapi who cares?! Bagi fansnya, bisa melihat Star Wars dibuat dengan teknologi masa kini, sudah merupakan kepuasan sendiri. Sementara bagi penonton baru, akan tetap menyukainya, karena tidak tahu film pendahulunya. Star Wars VII juga tetap tampil menghibur dengan humor yang spontan dan ringan. Jangan lupakan musik ilustrasi dari John Williams yang fenomenal.

Nilai: 8/10. @ristiirawan

Resensi Film: The Walk (2015)

Sederhananya, nonton orang akrobat berjalan di kawat/tali, dan orang tsb diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt; dua hal itu saja sudah menarik. Film dokumenternya “Man on Wire” menerima banyak penghargaan, dan kali ini sutradara Zemeckis kembali membuat layar lebarnya, dengan audio dan visual yang keren.

the-walk-joseph-gordon-levitt

Phillipe Petit adalah orang Prancis yang memiliki mimpi dan ambisi untuk memasang kawat di antara dua gedung raksasa World Trade Center dan berjalan di atasnya. Awalnya ia hanya terpesona dengan sirkus setempat di bawah asuhan Papa Rudy (Ben Kingsley), lalu akhirnya ia diusir dari rumah dan hidup di jalanan. Meskipun begitu, ia memiliki prinsip bukan pengemis, melainkan artis yang sangat menjunjung nilai seni. Mimpi dan ambisinya membuat orang lain terpesona dan menjadi kaki-tangannya, Annie (Charlotte Le Bon) musisi yang juga adalah kekasihnya, lalu fotografer resminya, Jean-Louis (Clement Sibony). Tak lama kemudian kaki tangannya pun bertambah, dari guru matematika Jeff (Cesar Domboy), orang Prancis yang tinggal di New York Jean-Pierre (James Badge Dale). Mereka pun membuat strategi, berikut penelitian dan penyelidikan untuk memasang kawat agar Phillipe bisa melakukan pertunjukan ilegalnya.

Selain visual yang indah (apalagi view ketika Phillipe di atas kawat), dan audio yang juga tidak kalah mendukung, kekuatan utama film ini memang terletak pada Joseph Gordon-Levitt yang sejak awal sudah membacakan narasi dengan logat Prancis dengan khas. JGL berhasil menghidupkan sosok Phillipe Petit dengan mempesona. Pesan sebagai seorang artis yang sangat mengutamakan idealisme akan segi artistik juga tersampaikan dengan baik. Orang yang mengejar impiannya tampak begitu hidup. Sayangnya, porsi bagi karakter yang lain tidak terlalu banyak, sehingga hubungan antara Phillipe dengan timnya terasa biasa saja. Bahkan adegan perselisihan antara Phillipe-Annie juga terasa datar. Seharusnya bisa lebih baik, apabila Zemeckis mau lebih mendramatisir beberapa poin hubungan antara Phillipe dengan orang sekelilingnya. Secara keseluruhan, film ini inspiratif dan indah, nilai 8/10 @ristiirawan

Are you an artist? Then go and watch this movie 🙂

“Show the world if anything is possible”

the-walk-2015-movie-poster

Review: Maze Runner: The Scorch Trials

Baru sempat tulis review dari film-film yang kutonton bulan ini. Salah satunya yang agak basi (telat reviewnya) adalah yang ini. Enjoy ^^

Maze Runner: The Scorch Trial adalah sekuel dari Maze Runner yang tayang pada tahun 2014 lalu (Lihat Review di sini: Review Maze Runner (2014)). Maze Runner cukup berhasil tampil beda dari teman-teman young adult lainnya seperti Hunger Games & Divergent karena “dark tone”nya. Dalam sekuelnya, Thomas (Dylan O’Brien) bersama teman-temannya berhasil keluar dari The Maze, dan diselamatkan oleh segerombolan orang bersenjata. Awalnya Thomas dkk lega karena berhasil lolos dari organisasi WICKED, yang mereka duga sebagai dalang dari semuanya. Tetapi perjalanan mereka tidak semulus yang mereka harapkan, sekali lagi mereka harus berjuang menyelamatkan diri, bukan lagi dari The Maze yang tertutup, tapi dari lahan terbuka — yang entah apa saja rintangannya.

** SPOILER ALERT **
NOTE: Tulisan di bawah ini mengandung spoiler.

maze-runner-2-the-scorch-trials-2015-concept-poster-wallpaper-72962

Setelah menyadari bahwa yang menolong mereka juga bagian dari WICKED, maka mereka keluar dari “zona nyaman”, dan harus berhadapan dengan zombie, badai petir, bahkan sesama manusia yang mencoba menjual mereka kembali ke WICKED. Misi mereka adalah menemukan The Right Hand, organisasi yang konon menentang WICKED dan membantu menyelamatkan anak-anak yang imun terhadap penyakit suar. Teresa (Kaya Scodelario) dikembalikan ingatannya ketika di zona nyaman, dan ternyata nantinya justru akan menjadi kunci kegagalan mereka.

Sepanjang film, penonton terus diajak menduga-duga, “apa yang akan terjadi? apalagi yang akan muncul?”. “Penasaran” adalah senjata ampuh dari film ini, terutama bagi penonton yang belum pernah membaca bukunya. Boleh diakui, memang alur cerita Maze Runner cukup membangun rasa penasaran yang tinggi. Meskipun sempat jatuh, karena munculnya penyakit suar yang mengakibatkan manusia menjadi zombie. Yahh.. masyarakat sudah mulai bosan dengan para zombie! Sempat menjadi “The Walking Dead” versi modern, untungnya sutradara Wes Ball tidak berlama-lama berfokus pada zombie, tetapi melanjutkan pada peperangan antar manusianya sendiri.

Masih dengan casting yang sama, Min Ho (Ki Hong Lee) kembali mencuri perhatian, bahkan mungkin lebih menonjol dari tokoh utamanya sendiri. Selain Min Ho, beberapa karakter lama agak tidak terekspos, demi memunculkan karakter baru seperti Brenda (Rosa Salazar) dan Aris (Jacob Lofland). Setidaknya dengan banyaknya casting lama dan baru yang bercampur, penonton bisa mengenali para tokohnya dengan mudah karena skrip dan editing yang bagus.

Dari segi cerita dan casting memang termasuk standar, tidak terlalu istimewa; namun Maze Runner: The Scorch Trials punya setting, properti, efek visual dan audio yang menakjubkan. Di beberapa adegan pun penonton sempat terlonjak kaget, khawatir siapa yang akan mati berikutnya, serta merasakan capek. Perasaan capek ini juga diakibatkan oleh tensi film yang terus-menerus tegang sejak awal hingga akhir film. Karena ceritanya bersambung, bisa dibilang sekuel berikutnya sudah pasti akan tetap laku. Secara keseluruhan, Maze Runner: The Scorch Trials tetap asyik ditonton, tidak se-pintar film pendahulunya, tetapi lebih menegangkan. Seandainya film ini muncul sebelum film zombie2 merebak, pasti kesannya bisa lebih bagus. Overall 7/10.

Resensi Film: Comic 8: Casino Kings (2015)

Comic 8 adalah salah satu film Indonesia yang saya tonton dahulu dan cukup menghibur. Sekuelnya Comic 8: Casino Kings muncul dengan trailer yang cukup menjanjikan. Rilis di bulan liburan, dipastikan film ini cukup akan laris manis bersaing dengan yang lain.

image

Comic 8: Casino Kings masih memasang banyak pemain yang sama, hanya ada 2 pemain yang tidak kembali. Cerita lanjutan dari ke-8 agen rahasia yang menyamar jadi komedian disebut “comic 8” yaitu Ernest, Arie, Fico, Bintang, Mongol, Kemal, Babe dan Ge (menggantikan Mudy). Mereka dipimpin oleh Indro & Candil. Setelah sukses merampok Bank INI, kali ini mereka harus mencari “The King” raja judi terbesar & kasinonya. Seperti kucing-kucingan, pihak berwajib (Dea Ananda, Boy William, Prisia Nasution) sedang berusaha menangkap mereka & mengungkap siapa bos mereka. Sementara itu musuh lama mereka, Panji dan asistennya Hercules & Nikita dibebaskan oleh anak buah “The King” yang sengaja membawa mereka ke sebuah casino di pulau mewah sebagai tamu. Namun comic 8 terpedaya, mereka pingsan dan ketika bangun, mereka dikelilingi buaya! Setelah beberap Hm… terinspirasindari Hunger Games?a dari mereka lolos dari buaya, mereka harus berhadapan dengan “The Hunter” yang serunya diperankan oleh artis-artis senior yang tidak biasanya main di genre komedi. Hm.. terinspirasi dari Hunger Games?

Banyak perbaikan yang bagus di Comic 8: Casino Kings ini. Efek visual & editing film jelas perlu dihargai, terutama adegan berdarah dengan para buaya yang sangat lumayan untuk ukuran film Indonesia. Setting tempat, properti, dan kostum juga tampak lebih bermutu dari yang dulu. Secara latar belakang, jelas film ini mengingatkan kita akan view hedonisme yang sering muncul di film-film Hollywood. Kerja keras tim produksi patut diberikan applause!

Sutradara Anggy Umbara tidak meninggalkan gayanya yang bermain dengan timeline & plot cerita yang melompat-lompat. Sayangnya kali ini “the missing link” yang dihidangkan justru membuat suasana jadi dingin. Bagi yang belum menonton film pendahulunya, pasti banyak hal yang tidak dipahami. Plot ceritanya menjadi agak sedikit membingungkan: Mengapa comic 8 harus mencari the king & casinonya? Apa peran yang dilakukan oleh Agus & Candil ketika mengambil petanya? Kenapa comic 8 merekrut banyak anggota baru (yang tiba-tiba sudah ikut dalam perjalanan)? Banyak hal yang tidak dijelaskan, malah yang tidak penting terlalu ditambah-tambahkan sehingga humor saja tidak cukup untuk mengalihkannya. Ya, memang para artisnya lucu, dialognya kocak. Tapi itu tidak mengherankan, karena film komedi memang harus lucu. Kalah hanya sekedar lucu & ceritanya kurang nyambung, tidak perlu dijadikan film, tonton stand-up comedy saja cukup.

Ketika menyaksikan trailer “part 2” yang disisipkan di belakang, ada perasaan bahwa mereka “save the best for the last” alias seru-serunya disimpan untuk part 2. Strategi promosi film ini cukup baik, dan memastikan part 2 tidak kekurangan penonton. Namun menyisakan rasa “garing” untuk part 1. Rasanya seperti part 1 ini adalah film berdurasi 30 menit yang dipanjang-panjangkan jadi 102 menit hanya untuk kepentingan bisnis. Sekuel yang ini tidak sebagus pendahulunya. Semoga film ke-3nya bisa lebih bagus. Oh ya, film ini mengandung humor yang jorok, jadi kurang cocok ditonton anak-anak. Overall score 6/10 @ristiirawan

Resensi Film: Cinderella (2015)

A dream is a wish your heart makes… (sambil nyanyi OST-nya)

Cinderella

Cinderella_2015_official_poster

Tim Produksi Cinderella menunjukkan bahwa dalam membuat remake suatu fairytalet tidak perlu modifikasi dan improvisasi yang berlebihan. Disney Princess yang satu ini sangat monumental. Film animasinya sendiri diproduksi Disney pada tahun 1950. Sulit rasanya melupakan kisah putri sepatu kaca ini, karena dongengnya terus-menerus diceritakan dari generasi ke generasi. Sudah pasti, mayoritas penontonnya adalah kaum wanita. Dari posternya saja, Cinderella di bawah arahan sutradara Kenneth Branagh ini sudah menyampaikan warnanya dengan jelas: simple but elegant. Dibandingkan melakukan mengubah cerita, Branagh lebih memilih pendekatan historis yang setia pada kisah aslinya.

Semua pasti sudah tahu kisahnya, Ella adalah seorang anak yang tinggal bersama Ibu Tiri & 2 saudari tiri: Drisella & Anastasia. Bukannya dianggap sebagai keluarga, Ella malah diperlakukan seperti pembantu, bahkan dijuluki “Cinderella” karena mukanya sering terkena abu jelaga. Namun Ella terus berpegang pada nasihat almarhum ibunya: have courage and be kind. Milikilah keberanian & hati yang baik. Sehingga ia tidak pernah berbuat jahat pada siapapun, bahkan ia sangat baik terhadap binatang, dari angsa sampai tikus rumah. Kebaikan hati & kecantikannya lah yang mempesona Pangeran. Dengan bantuan Ibu Peri Pelindung, Ella dapat datang di pesta dansa, bertemu Pangeran dan ketinggalan sepatu kacanya. Pangeran bersikeras menemukan gadis yang kakinya pas dengan sepatu tsb. Akhirnya… They live happily ever after.

Karena sesuai dengan kisah aslinya, bagi yang familiar dengannya tentu tidak akan memdapatkan kejutan apapun. Pemilihan casting menjadi hal yang krusial di sini. Lily James mampu menghidupkan tokoh Cinderella dengan sangat baik. Ia cantik, tampak memelas sekaligus menggemaskan, dan langsing (noted). Sang Pangeran Richard Madden dengan mata birunya juga mampu mempesona. Namun yang paling memberikan pengalaman berkesan tetaplah Cate Blanchett yang hanya dengan sekali menoleh saja sudah tampak bersahaja (“wooooow”). Duo Sophie McShera & Holliday Grainger juga berhasil tampak menyebalkan.

Jika ditimbang dari mutu cerita, Cinderella tidaklah terlalu dalam. Terlalu dangkal rasanya jika seorang pangeran bisa langsung jatuh cinta setlah bertemu dengan wanita cantik yang bersikeras menyelamatkan rusa. Tapi Branagh berhasil membuat romansa mereka menjadi sesuatu yang berarti; di mana “menerima apa adanya” menjadi issue yang lebih ditonjolkan. Penonton juga dibiarkan melihat bagaimana kebencian Ibu Tiri sejak awal terbentuk dari iri hati dengan adegan-adegan pendek yang mudah ditangkap (seperti ketika Ibu Tiri mengintip Cinderella berpelukan dengan Ayahnya).

Tidak seperti Disney Princess yang lainnya, kali ini tidak ada adegan drama musikal di dalamnya. Para pemerannya tidak bernyanyi-nyanyi ala Disney. Meskipun begitu, soundtrack dan audio film ini sungguh memanjakan telinga. Apalagi, visual film ini juga sangat menyegarkan di mata. Jangan lupakan gaun biru yang indah itu! Cinderella ini adalah suatu karya seni yang indah. Secara keseluruhan, nilai 8/10 @ristiirawan. Karena siapa yang butuh fairytale yang ruwet? Yang kita nantikan ketika menonton dongeng, hanyalah keindahannya… so they live happily ever after.

Cinderella_2015_poster

MESSAGES BEHIND THE MOVIE
Saya pribadi tidak menyukai tokoh Cinderella, karena sepertinya terlalu “lemah”. Pesannya sendiri sebenarnya ada dua sisi. Sisi positifnya adalah mengajarkan kita untuk selalu baik hati sekalipun kepada orang yang jahat, lantas pasti nanti ada “magic” atau “mujizat” yang terjadi pada kita. Sisi negatifnya adalah melemahkan daya juang, seperti mengajarkan kita untuk menerima nasib begitu saja, tanpa melakukan suatu usaha yang berarti. Berdoa saja tidak cukup bukan? Harus berusaha. Saya juga tidak suka Cinderella karena seolah-olah wanita hanya bisa bahagia jika bertemu dengan Prince Charming, dan untuk bisa membuat Pangeran jatuh cinta, kita harus cantik, cinta binatang, pintar bersih-bersih, dan punya sepatu kaca? (LOL). Yang benar saja.. Ha ha.

Resensi Film: Godzilla (2014) – spoiler alert!

Don’t hate me if I give 6/10 score to Godzilla! Bagi beberapa orang, mungkin akan memberikan rating tinggi buat Raja Monster dari Jepang ini. Tetapi bagiku, butuh usaha keras untuk mencerna plot cerita Godzilla yang memang dibuat keluar dari jalur “mainstream” oleh Gareth Edwards. Bukan masalah “keluar dari jalur” yang membuatku susah untuk memberikan rating tinggi, tetapi beberapa hal yang memang sulit untuk diterima akal sehat.

Review di bawah ini mengandung SPOILER, jangan dibaca kalau kalian belum menontonnya!

Godzilla 1

Moster kelelawar raksasa yang bisa mengeluarkan serangan gelombang elektromagnet yang luar biasa? Tidak mengagetkan. Tetapi ketika monster purba ini hanya memakan nuklir atau radiasi, hal ini sangat mengganggu! Sejak kapan suatu hewan purba dapat hidup hanya dengan makan suatu radiasi atau nuklir? Mungkin aku memang bukan ilmuwan, tetap setidaknya penulis Dave Callaham & Max Borenstein harus bisa membuat penonton awam sepertiku untuk menerima hal itu sebagai sesuatu yang logis. Beberapa adegan yang muncul, ketika Muto — nama monster ini — lebih memilih untuk memakan tangki kereta/rudal dibanding menyerang manusia yang berdarah-daging, cukup mengganggu. Bisa jadi karena aku dibesarkan dengan film-film monster yang saling memakan satu sama lain dengan makhluk hidup lainnya. Ditambah lagi, ketika Muto ini ternyata saling memanggil untuk kawin dan tiba-tiba sudah bertelur ribuan/ratusan dalam waktu singkat, Oh.. C’mon!! Yang benar saja? Cukup menggelikan dan aneh ketika melihat sepasang muto ini menggali sarang di tengah kota. Kenapa mereka harus menggali sarang di tengah kota? Kenapa juga mereka harus kawin dan bertelur secepat itu? Atau kita harus kembali ke pertanyaan awal: mengapa Muto yang seharusnya sudah punah/membeku jadi fosil tetapi masih bisa hidup? Bahkan kenapa mereka — terutama yang betina — bisa bertambah dewasa hingga sebesar itu tanpa diketahui manusia sebelumnya?

NewGTV02_zps886ad11b
Muto yang berusaha lepas dari “kandang”nya

Selain dua monster ini, masih ada si tokoh utama, yaitu Godzilla, yang diceritakan bangkit karena mendengar suara Muto. Baiklah, memang cukup masuk di akal, ketika predator ada karena mangsanya ada. Hukum Alam, ya, OK, baiklah. Tetapi kalau memang Godzilla ada pemangsa Alfa, yang utama dalam rantai makanan, mengapa tidak diperlihatkan bahwa alasan ia menyerang muto adalah karena mereka mangsanya? Justru Godzilla malah tampak sebagai Dewa Penyelamat Manusia. Ya, memang di Jepang, Godzilla adalah cerita sakral, dan mungkin Gareth Edwards ingin menghormati kepercayaan itu sehingga membuat Godzilla di film ini muncul sebagai penyelamat kaum manusia, yang menghancurkan muto hanya karena ingin melindungi manusia. Nah.. karena ini jugalah akal sehatku berteriak-teriak bingung.

Punggung Godzilla
Punggung Godzilla

Selain 2 alasan di atas, dari segi akting para tokohnya terlalu biasa-biasa saja. Aaron Taylor-Johnson  tidak kuatsebagai tokoh utama, tidak terlalu menarik simpati. Tetapi Bryan Cranston yang hanya muncul singkat malah mampu menampilkan tokoh profesor freak yang tidak rela melepas kematian istrinya begitu saja, karena dia yakin ada sesuatu hal yang tidak biasa sebagai penyebabnya. Elizabeth Olson sebagai Elle Brody juga tidak terlalu memegang peranan penting, dan masih kurang ekspresif untuk membuat penonton terharu. Aktor yang paling meyakinkan dalam film ini boleh dibilang adalah Ken Watanabe yang sepertinya sangat mampu mewakili bangsa Jepang menggambarkan ketakutan sekaligus kekaguman terhadap sosok Godzilla.

Ken Watanabe as Dr. Sherizawa
Ken Watanabe as Dr. Sherizawa

Tetapi untuk visual dan cinematography dari film ini, boleh diakui, Gareth Edwards memang patut diberikan applause. Banyak adegan kemunculan Godzilla yang membuat kita akan berseru, “OW MAI GOOOOOTTT!!” karena memang tampak mengagumkan. Bahkan kehancuran gedung-gedung, perkelahian antara Godzilla vs Muto tampak nyata tanpa menghilangkan hal-hal yang pasti dicari atau dirindukan para penggemar monster raksasa. Selain itu efek suara yang ada di film ini juga patut diacungi jempol, karena berhasil mendukung penampilan para monster dengan cukup “WOW”. 6/10. @ristiirawan

Godzilla Movie

Movie Review : Iron Man 3 (3D) – SPOILER ALERT!

Image

Great trailer will lead great audience to a movie.

Trailer Iron Man 3 bisa dibilang sukses membuat penonton penasaran. Menunjukkan Tony Stark sedang menyeret kostum Iron Man yang rusak, serta Pepper Potts yang memegang topeng iron man sambil menangis, kontan membuat fansnya tidak sabar menonton musuh atau masalah apa yang membuat super hero kaya raya tsb kewalahan (karena tetap tidak mungkin super hero mati kan?).

Adanya Iron Man membuat pemilik bioskop tentunya tersenyum lebar, karena ada gelombang massa yang rela antri berderet-deret! Dan beberapa produser film lainnya pun (rela) menyingkir dari layar supaya terhindar dari “serangan laser”.

Bagian awal dibuka dengan baik, yaitu tagline yang menyatakan bahwa musuh terberat adalah musuh yang diciptakan sendiri oleh kita. Bahkan penonton pun mau tak mau diajak untuk “memaklumi” bahwa siapapun pasti akan jahat setelah diperlakukan semena-mena oleh si milyarder Tony Stark.

Fokus pada film ketiga ini terletak pada bagaimana seorang super hero berjuang melawan traumatis, berupa serangan rasa panik pasca tersedot (dan jatuh) dari Black Hole di film The Avengers yang lalu. Tony Stark mengalihkan rasa paniknya dengan hobi utak-utiknya yang semakin menjadi-jadi, sehingga kostum yang melindunginya sering kali justru menjadi penghalang hubungan cintanya dengan Miss Potts!

Pada film ini penonton diajak memahami bahwa Iron Man bukanlah kostum tersebut, melainkan Tony Stark itu sendiri. No Tony Stark, No Iron Man. I am Iron Man! Digambarkan bahwa kelebihan si super hero yang eksentrik tsb bukan teknologi semata, melainkan loyalitasnya kepada kebenaran, prioritas demi orang-orang yang dikasihinya, serta kepandaian dalam mekanik.

Meski sempat terjadi antiklimaks saat penonton bersama Iron Man sendiri juga terbodohi dengan siapa sejatinya The Mandarin itu, humor yang membungkus adegan tersebut mampu mengalihkan penonton. Banyak adegan-adegan komedi yang secara nyata akan membuat kita seperti sedang menyaksikan parodi. Yang menjadikan komedi ini tidak terlalu “konyol” adalah kesuksesan akting Robert Downey Jr itu sendiri.

Pertanyaan yang kontroversial juga muncul ketika tiba-tiba beberapa puluh armor Iron Man bermunculan dari bawah tanah. Remind me, where are they, when helicopters trying to destroy stark’s house?? Ataukah pada saat itu Stark sudah yakin bahwa dia akan selamat, sehingga belum saatnya mengeluarkan puluhan armor tsb?

Versi “happy ending” di sini juga agak meresahkan, di mana tiba-tiba Potts yang prosesi DNA’nya belum 100% installed dan terjatuh, namun kemudian eng ing eng.. dia muncul sebagai bantuan yang berhasil mematikan musuh dengan rambut bagaikan iklan shampoo. Belum selesai ramuan untuk “happy ending”nya, diceritakan pula bahwa Tony Stark sudah tidak memerlukan “lingkaran terang di dada”nya untuk menahan serpihan besi yang dapat membunuhnya. Sisi romantisnya, Stark membuktikan cintanya kepada Potts dengan meledakkan puluhan armor yang pastinya telah dia buat dengan susah-payah menjadi fireworks.

Terlepas dari kekurangan (fatal) tentang hal itu. Tentunya Iron Man 3 tetap menjadi film no.1 pilihan publik dunia, menyambung kesuksesan mega proyek The Avengers. Kredit yang paling besar patut disematkan pada Robert Downey Jr., He is definitely Iron Man! My score is 7.5/10