Review: The Old Guard (2020)

Netflix sering memberikan kesempatan menyutradarai film layar lebar untuk pertama-kalinya kepada sutradara-sutradara berbakat. The Old Guard adalah film layar lebar Gina Prince-Bythewood yang pertama. Hasilnya diterima dengan baik oleh khalayak ramai. Awalnya aku ragu apakah film action berdurasi 2 jam ini bisa mempertahankan daya tariknya sepanjang film.

Charlize Theron sebagai Andromache of Scythia

Charlize Theron jelas adalah magnet dari The Old Guard. Penampilan fisiknya cocok dan aksinya KEREN BANGET! (Umurnya 45 tahun lho..) Ia berperan sebagai Andy, seorang pemimpin tim berisi orang-orang yang berhenti bertambah tua, bisa menyembuhkan diri sendiri (seperti Deadpool), dan otomatis hidup abadi. Selain hidup abadi, tim yang hanya terdiri dari 4 orang ini sangat terampil di lapangan. Tentu saja, karena mereka punya ratusan atau ribuan tahun untuk menimba pengalaman. Suatu saat, mereka dijebak oleh pihak yang ingin menjadikan mereka sebagai bahan percobaan di Laboratorium. Ketika mereka sibuk melarikan diri, malahan muncul satu orang abadi lagi yang harus mereka rekrut.

Gina Prince-Bythewood memberikan sentuhan yang bagus bagi film yang disadur dari komik karya Greg Rucka ini. Banyaknya film tentang manusia berkekuatan super pada dekade ini telah membuat masyarakat tidak mudah terkagum-kagum lagi dengan Superhero. Sang Sutradara tidak sekedar memamerkan kekuatan super para tokohnya dengan adegan aksi yang memukau, tetapi juga memberikan banyak porsi untuk para pemeran bisa menunjukkan akting emosi mereka. Kisah hidup tiap karakternya disisipkan dalam dialog-dialog yang ditata dengan rapi dari awal-akhir film untuk membuat penonton mengenal “penderitaan” mereka sebagai manusia abadi. Sisi emosional ini lah yang membuat The Old Guard bernilai lebih sebagai film aksi.

Sayangnya karakter antagonisnya terlalu jelas “jahatnya”, kurang meninggalkan kesan yang dalam; sangat kontras dengan para jagoan kita. Alur ceritanya juga mudah ditebak, pasti happy ending, sehingga intensitas atau ketegangan film tidak terlalu terasa. Walaupun banyak adegan aksi yang bagus, tetap saja tidak terasa “ngeri”, karena yah… kita sudah tahu bahwa mereka tidak bisa mati. Tambahan yang menarik justru ada di kredit ketika kita menyaksikan kolase foto orang-orang yang pernah mereka selamatkan… ternyata membawa perubahan baik bagi umat manusia. The Old Guard memang berpotensi menjadi franchise dan sekuelnya akan dinantikan banyak orang, karena memang kisah mereka masih ada banyak sekali yang belum tergali; terutama tentang Quynh; yang kisahnya paling membekas dalam ingatanku (tragis soalnya..)

The Old Guard memang pantas diberikan rating “R” oleh MPAA karena banyak kekerasan dan bahasa kasar di dalamnya. Berhubung tokohnya immortal, jadi banyak ditunjukan luka tersayat sampai isi perut yang berantakan. Banyak juga orang yang mati dalam film ini. Namun jika kita sudah terbiasa menonton film “gore” ala Superhero seperti Kick-Ass dan Deadpool, apa yang disajikan The Old Guard masih bisa kita tonton sambil makan.

Warrior Nun (2020)

Bumi, Surga & Neraka memang tidak ada habisnya untuk dikembangkan secara imajinatif menjadi kisah fantasi; karena pada dasarnya manusia selalu tertarik tentang after-life dan semacamnya. Biasanya cerita akan mencocokkan dengan suatu kepercayaan atau mitos tertentu. Warrior Nun memilih agama Katolik sebagai landasan ilmu “cocoklogi” (semuanya serba dicocokkan sehingga terasa masuk akal) film ini. Kenapa aku tertarik jenis film seperti ini? Karena aku pengen tahu penulis ceritanya punya gagasan apalagi yang baru tentang konsep surga-bumi-neraka dan bagaimana mereka menggunakan alkitab sebagai bahan imajinasi mereka. Terkadang imajinasi atau teori (kalau yang lebih pintar) mereka cukup memukau. Sebut saja Davinci Code yang booming sampai disebut sesat dan dilarang di berbagai gereja (please ini cuma review film, jangan debat masalah sesat atau nggak ya!) karena high-skilled cucoklogi.

Warrior Nun ini tetapi jauh dari Davinci Code, malah lebih mirip Shadowhunters: The Mortal Instruments yang juga ada di Netflix. Sayangnya, meski bukunya populer, film dan serialnya tidak sepopuler itu. Filmnya flop di pasaran. Serialnya…. aku sendiri tidak tahan menonton karena akting dan naskahnya yang kaku kaya kanebo kering. Warrior Nun diangkat dari webcomic “Warrior Nun Areala” karya Ben Dunn ini dikembangkan oleh Simon Barry untuk Netflix, menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Ava (Alba Baptista) yang telah meninggal dunia, tetapi hidup kembali karena “The Halo” lalu mendapatkan kekuatan super, seperti: menyembuhkan diri dan menembus dinding. “Halo” yang sering kita kenal sebagai lingkaran malaikat itu, ternyata adalah barang berharga yang dilindungi oleh Sekte rahasia dari Gereja Katolik secara turun-temurun selama berabad-abad. Sekte tersebut terdiri dari biarawati yang setia, berdedikasi, dan terlatih untuk melawan roh jahat dan iblis di Bumi.

Halo yang malah mengingatkanku akan “sundel bolong”, gimana dong? haha.

“Halo” biasanya dimasukkan dalam punggung seorang biarawati terpilih yang telah dilatih khusus, disebut: “The Warrior Nun”. Tetapi Ava mendapatkan “Halo” tersebut karena suatu kecelakaan, tidak biasanya peristiwa tersebut terjadi. Ava adalah yatim-piatu yang lumpuh tangan & kakinya, sehingga ketika ia hidup kembali, semua hal yang ia rasakan adalah sesuatu hal yang baru. Ava yang tidak memiliki iman yang sama dengan para biarawati, berusaha kabur dari tugasnya. Sementara Sekte sedang menghadapi konflik internal yang berbahaya, termasuk kehadiran Iblis mematikan yang memburu “Halo”.

Warrior Nun cukup membuat penasaran pada awalnya, tetapi lama-lama aku merasa bosan karena jalan ceritanya bertele-tele. Selain itu, karakter tokoh utamanya, Ava, bukan tipe yang menarik simpatik. Sulit untuk menyukai suatu serial, jika kita tidak suka dengan tokoh utamanya. Sampai hampir Season 1 berakhir, Ava ditunjukkan sebagai sosok yang sangat egois dan tidak memiliki kelebihan apapun, selain jago membuat lelucon yang menyebalkan. Bahkan sampai suatu adegan yang seharusnya membuat ia mengambil keputusan bijak, Ava tetap lari dari “panggilan”nya. Dalam hal ini, mungkin pencipta dan penulis serial ingin menyajikan cerita yang bukan klise, yang lebih relevan dengan kondisi manusia pada umumnya: kabur jika ada hal yang menakutkan. Lalu seolah tersadar, tanpa suatu alasan yang jelas, tiba-tiba Ava bersedia masuk ke dalam Sekte dan membantu rencana mereka (ya elah kenapa gak dari awal sih, ribet amat ini ceritanya). Lebih parahnya lagi, belum selesai ceritanya bagaimana, sudah ENDING SEASON 1. Are you kidding me?! Kalau memang hanya punya jatah 10 episode, kenapa tidak menuntaskan satu putaran cerita? Kenapa harus membuang-buang waktu dengan dilema dan pergumulan Ava yang memakan sekian banyak episode (terasa sia-sia)? Mungkin ini yang dinamakan strategi marketing dalam serial TV. Tidak penting kepuasan penonton terhadap ceritanya bagaimana, yang penting buat ending menggantung, supaya mereka mau menonton Season selanjutnya.

Mother Superion, My Favourite Character of this Movie.

Sebenarnya Warrior Nun memiliki potensi besar untuk membuat kita menyukai Sekte mereka yang menjunjung loyalitas dan kesetia-kawanan. Tetapi entah kenapa, aku sulit merasakan chemistry di antara para biarawati ini, meskipun karakter pendampingnya banyak yang menarik, seperti: Beatrice yang serba bisa, Mother Superion yang tegas, dll. Mungkin karena “bahaya” dalam film ini tidak terasa menyeramkan. Lalu banyak kisah yang tidak dikembangkan dan hilang, termasuk kisah Ava dengan JC (Emiliki Sakraya) yang berhenti begitu saja (sia-sia lagi..). Plot Twist yang ada juga sudah bisa ditebak siapa penjahatnya. Satu hal yang menarik adalah bagaimana penulis menggunakan ayat-ayat kitab suci menjadi judul episode dan menyelipkannya dalam setiap dialog. Bahkan di sini kita bisa melihat pandangan-pandangan orang beriman dan tidak beriman terhadap kebaikan dan kejahatan. Setidaknya dari sisi iman, film ini boleh lah usahanya.

Walaupun Parent’s Advisory Rating nya TV-MA, sebenarnya tidak ada adegan sadis yang terlalu mengerikan…. wait! memang iblis yang muncul cukup mengerikan dan bisa menusuk manusia terus kelihatan ada darahnya; tetapi menurutku tidak mengguncang jiwa, karena kita masih bisa menerimanya sebagai “Hanya Animasi”. Ada adegan percintanya, tetapi hanya sedikit dan tidak vulgar. TV-MA diberikan karena banyak adegan kekerasan yang memang tidak cocok ditonton anak-anak. Secara keseluruhan, film ini bisa menjadi hiburan jika kita suka dengan tema fantasi surga-bumi-neraka; tanpa kita perlu merasa terlalu gloomy; tetapi ya sudah.. hanya lewat begitu saja, tidak ada kesan mendalam yang ditinggalkan. Oh.. ada sih.. KESAL karena ceritanya tidak ditutup dengan baik di Season 1.

Otomatis pasti mau dong nonton Season 2?

Strategi Marketing berhasil.

Hospital Playlist Review

Hospital Playlist dikerjakan oleh sutradara dan penulis Reply Series (Reply 1997, Reply 1994, Reply 1988). Namun karena aku belum pernah menonton semuanya, jadi aku tidak terlalu familiar dengan karya mereka. Ini pengalaman pertamaku mengikuti serial drama yang modelnya seperti ini: multi-stories tapi mengalir alami seolah tidak ada cerita utamanya. Walau tidak ada klimaksnya, serial ini jauh dari monoton. Awalnya memang aku kebingungan dengan banyaknya karakter (susah tau, ngafalin nama korea!). Tokoh utamanya ada 5 orang; belum lagi para pemeran pembantu yang berada di sekitar mereka yang memiliki porsi adegan sendiri; jadi jumlah karakternya benar-benar BANYAK. Seni yang luar biasa dari penulis & sutradaranya untuk bisa membuat serial drama dengan pemeran sebanyak itu (seperti di dunia nyata) tapi tetap berhasil membuat penonton terkesan dengan semua karakternya.

Meskipun awalnya sempat bingung dengan banyaknya tokoh, tetapi semakin ke belakang, aku semakin terhanyut dengan kehidupan 5 tokoh cerita, yaitu:

  1. Lee Ik-Joon (Cho Jung-Seok): tipikal orang supel yang bisa bergaul dengan siapa aja, selalu membuat suasana hidup dengan kekonyolannya
  2. Ahn Jeong-Won (Yoo Yeon-Sook): dokter berhati malaikat
  3. Kim Jun-Wan (Jung Kyoung-Ho): favorit aku!!! Kata-katanya selalu tajam (tapi benar). Namun di balik itu dia punya kepedulian tinggi, hanya tidak menunjukkannya.
  4. Yang Seok-Hyeong (Kim Dae-Myung): introvert tapi yang mempersatukan teman-temannya
  5. Chae Song-Hwa (Jeon Mi-Do): satu-satunya wanita di kelompok ini dan almost perfect
Kim Jun-Wan yang selalu pakai pakain forma dari antara mereka berlima!

Pemilihan latar belakang dunia kedokteran memang daya tarik. Kita jadi tambah pengetahuan di bidang kedokteran (sayangnya footnote tulisan korea di layar tidak diterjemahkan, jadi aku pakai acara googling segala!). Apalagi para dokter ini punya hobi nge-band dan setiap latihan mereka selalu membawakan lagu yang asyik-asyik. [trus Kim Jun-Wan keren banget main gitarnya]. Cari di mana:  kumpulan dokter spesialis, masih muda, cakep-cakep, pintar main musik pula?!  

Apalagi kalau Kim Jun-Wan lagi main gitar… *_*

Lagu yang aku suka dalam film ini adalah: I Knew I Love (Jeon Mi Do), Aloha (Cho Jung Seok), Me to You, You To Me (Mido and Falasol). Pastikan kalian mendengarkan lagu-lagu ini ya, bagus! Sungguh mengapresiasi para pemain dan pembuat filmnya yang mau repot-repot menyajikan latihan band mereka sampai terasa asli (bahkan ada view seperti dari camera handphone/ gopro).

Film ini memang bukan jenis yang bisa diterima oleh semua orang dengan gembira, selain karena durasi 1,5 jam/ episode yang (mungkin) terlalu panjang; juga karena banyak penonton serial Korean Drama lebih suka drama romantis; sementara film ini ceritanya lebih ke kehidupan sehari-hari. Tidak ada adegan yang membuat berdebar-debar, terlalu menegangkan, atau sangat-amat menyedihkan. Intinya tidak ada dramatisir keadaan.

Hal yang membuatku sangat menyukai film ini adalah atmosfer yang menyenangkan! Senang rasanya melihat persahabatan mereka berlima yang terasa hangat dan terkadang lucu (beneran bikin ketawa terbahak-bahak!); serta perjuangan para dokter dengan para pasien yang menyentuh hati. Kisah cinta yang ada di film ini mungkin mudah ditebak, tetapi kesabaran penulis dan sutradara untuk menahan kisahnya sampai akhir bisa dibilang strategi bagus. Adegan flash-back ditampilkan di momen yang tepat dan masuk akal. Setelah menyelesaikan episode 12, aku juga langsung memutar kembali episode 1; dan semuanya tetap terasa menyegarkan karena banyak detail yang sebelumnya tidak aku pahami.

Hospital Playlist sukses menduduki peringkat ke-9 film terpopuler dalam sejarah TV Kabel di Korea. Season 2 katanya akan disiarkan tahun 2021. Semoga segera rilis ya! Masih banyak cerita yang menggantung, nih.

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?