The Kissing Booth 2 (2020) Review

Lemme recap the 1st film for you! The Kissing Booth, film pertamanya adalah salah satu dari film teen rom-com yang membuatku merasakan euforia setelah menontonnya. Senang karena melihat para pemerannya yang enak dipandang mata. Joey King sebagai Elle yang bersahabat dengan Lee (Joel Courtney) karena lahir di tanggal yang sama dan orang tua mereka bersahabat baik. Tentu ceritanya bisa ditebak, karena Elle akhirnya jatuh hati dengan kakak Lee, Noah (Jacob Elordi) yang super HOT, idola banyak wanita. Perasaan mereka terungkap gara-gara mereka membuka “Kissing Booth” alias stan jasa ciuman untuk proyek sekolah Elle & Lee (yang tidak mungkin terjadi di Indonesia ~ dan sekarang di seluruh dunia, karena pandemi covid-19 ini!). Elle melanggar satu dari aturan persahabatannya dengan Lee; tetapi mereka akhirnya bisa berdamai, bahkan Lee menemukan pacar sendiri Rachel (Meganne Young) berkat “Kissing Booth” juga. Di akhir film, Elle melepas Noah yang berangkat kuliah ke Harvard.

Di sekuelnya, The Kissing Booth 2, Elle sedang insecure karena LDR (Long Distance Relationship) dengan Noah. Ketika Noah menawarinya untuk lanjut kuliah di Harvard, Elle senang tapi galau karena ia dan Lee punya janji sejak kecil untuk kuliah bersama di UC Berkeley. Demi mendapatkan uang tunai untuk biaya kuliah, Elle mengikuti kompetisi Dance Dance Revolution (DDR) dengan bantuan teman barunya, Marco (Taylor Zakhar Perez) yang tidak kalah ganteng dari Noah. Di sisi lain, Elle tidak menyadari bahwa ia menjadi pengganggu dalam hubungan Lee dengan Rachel.

Film pertamanya memang tidak terlalu kuat dalam segi cerita, tetapi berhasil membangkitkan rasa “gemas” karena bumbu-bumbu percintaan remaja yang disertai dengan kecorobohan mereka yang lucu (seperti Elle pakai rok kesempitan, dan Elle yang ngumpet di bawah ranjang Noah); tetapi film kedua ini justru kehilangan “greget”nya. Ceritanya sendiri memang sesuai dengan perkembangan umur karakternya, di mana Elle sedang berusaha mencari jati diri untuk menentukan kuliahnya; dan Noah yang menghadapi dunia kuliah yang tidak sama seperti SMA.

Di film kedua ini, Elle menjadi lebih “berisik” daripada film pertamanya, dan itu mengganggu. Film kedua terlalu bersusah-payah menyambung cerita dengan film pertama dan meniru kejutan-kejutan yang sama, sehingga otomatis sudah tidak seru lagi. Terlalu dipaksakan dan aneh ketika “Stan Ciuman” kembali diadakan, tetapi akhirnya juga hanya sebagai properti untuk menunjang kampanye LGBT, yang ceritanya sendiri tidak ada hubungannya dengan cerita utama! Sebut saja adegan teman Elle (yang aku sendiri sampai tidak ingat siapa namanya, karena tokohnya sebenarnya tidak penting!) yang comes up saat di Kissing Booth; adegan yang terlihat garing dan palsu.

Pemilihan DDR sebagai ajang kompetisi yang mengesampingkan “Kissing Booth” sendiri juga terasa kurang relevan dengan kondisi sekarang. Meskipun tidak dipungkiri, dance mereka sangat keren, para remaja pasti terpesona sama Taylor Z Peres. Bumbu yang baru dalam film kedua ini, tetapi membuat sutradara kehilangan fokus. Sejak kapan The Kissing Booth berubah menjadi film dance? Banyak adegan yang “nanggung” karena usaha penulis & sutradara untuk keluar dari klise tetapi malah membuat gelora film ini hilang. Durasi 131 menit juga terlalu panjang (lebih panjang 20 menit dari film sebelumnya).

Contoh Adegan yang “nanggung”.

The Kissing Booth 2 akan terasa menyenangkan ditonton jika memang kamu memiliki emotional attachment dengan para tokohnya dari prekuelnya atau suka melihat yang manis-manis. Bagaimana hati kita tidak meleleh, melihat Jacob Elordi seperti ini?

Selain eye candy ini, ada sisi positif yang bisa dipelajari dalam film ini, bahwa 1) kita harus kontrol emosi, belajar mendengarkan orang lain agar kita tidak terjebak dalam asumsi kita sendiri. 2) belum tentu yang kita anggap baik untuk orang lain, lalu kita tutupi, tidak akan membawa masalah lebih besar.

Kuberikan rating 6/10!

My thoughts about “The Half of It” (2020)

thoi-poster-pride“The Half of It” adalah film drama dengan sedikit komedi yang mengisahkan momen anak remaja yang beranjak dewasa, hendak lulus SMA. Narasinya bagus dengan banyak kutipan sastra bermutu, banyak quotes yang memorable juga. Akting para pemerannya juga bagus, terutama Leah Lewis sebagai Ellie Chu. Jika kalian bisa bersabar dengan alur cerita yang  monoton di tengah, kalian akan terhanyut dengan tokoh-tokohnya karena kalian menyadari bahwa ada pemikiran yang lebih mendalam dari apa yang terlihat.

“The Half of It” adalah film idealis dari sutradaranya, Alice Wu, berisi isu tentang LGBT.  Mau berbicara A-Z, Indonesia dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, akan sulit untuk menerima paham ini dibandingkan negara liberal. Apalagi bagi umat beragama seperti kita, kodrat pria & wanita sudah ditanamkan di otak kita sejak dari lahir dan akan sulit berubah meski ada pergeseran nilai budaya di masyarakat. 

Menurutku, seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan. Contohnya seperti dalam film ini, Ellie Chu bisa menjadi lesbian karena ia tumbuh besar bersama seorang Ayah—yang tidak hanya gagal berfungsi sebagai Ayah, tapi juga tidak punya kehidupan layaknya manusia normal. Tentunya ini adalah salah satu faktor utama mengapa Ellie Chu kehilangan proses mengenal jati dirinya (bahwa ia adalah wanita seutuhnya) dan kehilangan minat dengan pria. Selanjutnya Ellie Chu mungkin “mengidolakan” seorang wanita cantik: Aster Flores (Alexxis Lemire). Anak perempuan cenderung memiliki 1 sahabat yang ia sukai dan biasanya akan “nempel” terus. Sering kita jumpai anak perempuan memiliki ikatan persahabatan yang erat sekali dengan teman perempuannya. Fase ini adalah fase yang wajar dialami semua anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, fase tersebut akan berlanjut di mana anak akan mengidolakan Ibunya. Ia akan mengidentifikasi dirinya adalah wanita, seperti Ibunya yang menikah dengan Ayahnya. Ellie Chu tidak mengalami fase itu, ditambah lagi karakternya yang anti-sosial sekaligus cerdas, membuatnya sulit menemukan seseorang untuk berbagi cerita, yang bisa “nyambung”. Teman “yang nyambung” itu akhirnya hadir dalam bentuk perempuan yang ia idolakan. Kompleksitas ini membuat Ellie Chu menetapkan dirinya sebagai lesbian.

Ellie Chu (atau sang sutradara) diceritakan beragama katolik dan setiap minggunya bertugas sebagai organist di gereja. Namun ia tidak percaya Tuhan dan justru menggantikan ayat alkitab “Love is patient…” dengan “Love is selfish” menurut pendapatnya sendiri. Apa yang ia jalani setiap minggu bersama warga kota hanyalah rutinitas, bukan ibadah yang sebenarnya. Demikian juga Aster yang tidak pernah menghidupi apa yang dikotbahkan Ayahnya, karena mungkin nilai-nilai agama nasrani baginya hanyalah peraturan yang harus ia jalankan dengan setengah hati sambil berpura-pura; bukan apa yang benar-benar ia percayai. Sebagai wanita yang cantik, Aster kesulitan untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Ia terus menyimpan perasaannya yang menumpuk, lalu akhirnya menghasilkan bibit pemberontakan. Tinggal menunggu waktu kapan bibit ini bertumbuh dan berbuah.

Munsky (Daniel Diemer) adalah tokoh paling klise dalam film ini. Awalnya ia adalah pemuda yang biasa saja, tidak punya keahlian khusus, dan tidak pandai berkata-kata. Ia membayar Ellie Chu untuk menulis surat pada gadis yang ia sukai, Aster. Selain Munsky jadi bisa kencan dengan Aster, ia juga dapat keuntungan sampingan yaitu larinya tambah kuat dan cepat karena terbiasa mengejar Ellie di jalan menanjak. Seperti yang sudah bisa ditebak, lambat laun, Munsky justru jatuh hati pada Ellie. Munsky juga memegang norma standard, di mana dia berkata pada Ellie, “Itu adalah dosa, kamu akan masuk neraka”. Ia juga manis karena ia berpendapat cinta adalah seberapa banyak usaha yang kamu lakukan demi mendapatkan orang tsb. Pada akhirnya ia juga orang yang paling banyak berkorban dengan tetap menerima dan menyayangi Ellie sebagaimana adanya.

“A Different kind of Love Story” adalah tagline dari film ini, dan memang betul, karena “The Half of It” menceritakan kisah cinta segitiga dari sisi kaum gay. “The Half of It” adalah sebuah film yang bisa menanamkan pemikiran ttg LGBTQIA+ bagi anak-anak dan remaja, karena film ini menceritakan sudut pandang para tokohnya dengan sangat pengertian. In my opinon, jangan jadikan hidup lebih susah daripada seharusnya. Mengapa harus  memilih jalan yang sulit, dan membela sesuatu yang dari kondisi biologis saja sudah kelihatan bahwa itu bukan pasangannya?